Sabtu, 02 Juli 2011
Senin, 07 Februari 2011
BUNGA SETENGAH JALAN
Pacar pertamaku adalah lelaki yang mencoba meregut keperawananku. Dia tidak peduli apakah aku setuju atau tidak. Wajahnya tidak terlalu tampan dan putih, dia beruntung sekali punya pacar sepertiku. Karena aku bunga desa yang banyak kumbang-kumbang tanpa sayap datang berebut akan menghisap maduku. Aku tak perlu berpikir panjang untuk segera memutuskannya.
Pacar keduaku adalah teman sekelas. Dia lain dari banyak teman lelakiku yang ku kenal, wajahnya putih, hidungnya mancung, seperti kebanyakan hidung orang arab. Tapi sayangnya dia sedikit kemayu. Kupikir dia tidak doyan lagi sama perempuan. Ternyata sama, dia juga seperti pacar pertamaku yang berusaha menghisap manisnya madu yang telah lama kusimpan.
Aku pikir dua lelaki sudah cukup untuk membuktikan bahwa semua lelaki itu sama. Cuma mau enaknya saja, tidak mau merasakan pahit dari sisa manis yang terselip dari madu yang dihisapnya. Bayangkan! berapa banyak gadis menjadi korban keberingasan itu. Awalnya memberi rayuan dengan beribu bait-bait indah puisi, kemudian setelah aku terbius, aku dibawanya terbang, terbang menyusuri keindahan awan. Tapi sayang setelah aku menikmatinya, aku dipaksa memberikan imbalan, berupa kantung madu yang kusimpan di perutku, kantung yang setiap waktu bisa menjadi besar, menjelma bak balon udara. Aku bukan gadis murahan, meskipun aku pacarnya, aku tidak sebegitu mudah memberikan kantung madu ini. Biarkan dia memuntahkan bait busuknya, karena itu sebenarnya yang ada. Aku toh bisa dengan mudah memutuskan hubungan ini.
***
Sering juga kudengar beberapa tetangga sekitar rumah, menggosipkanku bahwa aku seperti gadis murahan lain di desaku.
“Lihat itu Melati jam segini baru pulang sekolah, pasti dia habis keluar sama pacarnya, biasanya sih ke pantai. “ kata salah stau tetanggaku.
“Lihat saja, pasti bulan depan ada yang muntah-muntah dan minta diperiksakan di bidan” sahut yang lain.
Bunyi sumbang dari tetanggaku itu, sudah tak ku hiraukan lagi. Anjing menggonggong kafilah berlalu. Dari pada kupedulikan dan menimbulkan pertengkaran, lebih baik aku diam saja. Kalau sudah lapar, pasti akan diam sendiri.
Tidak hanya tetanggaku saja, teman sekelasku sendiri juga sering membuat gosip menyengat seperti itu. Terutama teman yang kalah saingan denganku, tentu saja yang kalah saingan untuk mendapatkan cowok terfaforit di sekolahan. Mereka tidak jarang menerbitkan gosip tidak sedap kepadaku. Ada yang bilang bunting kek, telat tiga bulan kek, juga ada yang bilang cewek panggilan. Uh.. kalau aku meladeni semua omongan mereka, pasti mereka semakin menjadi-jadi. Aku terpaksa puasa bicara, demi kedamaian dan kelancaran belajarku.
Sekolahku berada di kota, berjarak kira-kira 25 kilo meter dari tempat tinggalku. Aku berangkat ke sekolah naik angkutan umum. Berangkat jam enam pagi pulang jam 3 sore, sudah menjadi rutinitas setiap hari. Cuma hari jum’at saja aku bisa pulang agak pagi. Di mobil angkutan umum ini, sering kujumpai kumbang-kumbang berkeliaran, terkadang mereka menyamar menjadi guru, sopir, karyawan, pengangguran, pengamen, kernet dan juga sopir. Toh mereka juga sama, sama-sama kumbang yang harus selalu kuwaspadai.
Belum lagi sewaktu berjalan menuju sekolahan. Jarak sekolahku dengan jalan raya kira-kira berjarak tiga ratus meter, masuk ke gang. Sama, di sini juga ada kumbang menyamar menjadi pemuda bergitar tapi bukan penyanyi.
“Pagi...” sambil unjuk gigi.
“Bau! minggir jangan ganggu aku, aku sudah hampir terlambat.”
“Galaknya, senyum dikit dong..”
“Senyumku terlalu indah untukmu, cepet minggir!”
“Ya udah kalau ngak mau senyum, wajahmu sudah cukup manis kok”
“Dasar orang gila!!” bentakku.
Gawat! sekarang hari senin, sudah hampir jam tujuh. Bisa-bisa tidak boleh masuk. Gerbang sekolah hampir ditutup, upacara telah dimulai. Aku terpaksa menempati barisan tersendiri bersama teman-teman lain yang juga terlambat. Baru kali ini aku menempati barisan memalukan ini. Aku harus siap dihukum setelah upacara selesai nanti. Pasti, pasti setiap upacara ada siswa datang terlambat. Sudah membudaya. Ada saja alasan yang keluar secara spontan dari anak-anak ini. Ada yang terlambat membantu ibu, ada yang sepatunya belum kering, menyetrika baju, telat bangun karena habis nonton sepakbola. Beragam seklai alasan itu muncul, seperti juga beragam budaya yang dimiliki bangsa ini. Lalu, aku mau memberi alasan apa, aku baru kali ini terlambat. Mulutku tak terbiasa mengatakan mantra untuk terbebas dari hukuman. Pasrah. Upacara telah selesai, bapak guru memanggil satu persatu muridnya, beberapa saat kemudian terlihat murid berlari lapangan sepuluh kali, ada yang lima belas kali, tergantung dari jam keterlambatannya. Tiba giliranku, aku tak mampu berkata atau membuat pembelaan. Sesaat kemudian lari lima kali memutari lapangan. Aku cuma lari lima kali, karena memang aku terlambat cuma lima menit.
Kalau aku bertemu lagi dengan orang jelek itu, pasti akan aku tampar mulut nyongornya. Akan ku jadikan pecel, biar kapok. Hukuman ini membuatku diejek teman-teman. Reputasiku sebagi murid teladan bisa-bisa hancur, cuma gara-gara meladeni orang yang ngak penting itu.
Akhirnya jam menunjukkan angka dua, saatnya pulang. Tidak kusangka orang yang membuatku terlambat datang lagi. Punya nyali juga orang ini, siapkan pipimu untuk merasakan panasnya tamparanku.
“Hai, ketemu lagi..” dengan penuh percaya diri.
“Plakk..” tanganku mendarat tepat di pipinya.
“Aduhh.. apa-apan ini.”
“Diam, kau tadi telah membuatku terlambat, jadi rasakan buah kelakuanmu itu”
“Oh ternyata tadi kamu terlambat ya? Ku minta maaf ya..”
“Ngak..” daripada meladeni orang tidak penting ini, lebih baik aku pergi saja. Mungkin saja orang ini baru diputusin pacarnya dan stres.
Aku tidak tahu ketika ia menyelipkan suatu kertas di tasku. Setelah pulang, baru aku tahu kalau dia menuliskan puisi di dalamnya. Kata-katanya romantis juga. Aku hampir terbuai oleh kata-katanya. Dia menyatakan telah lama mencintaiku, mengagumi kecantikanku dan ingin menjadi pacarku. Apa! menjadi pacarku, apa aku tidak salah dengar, pemuda setengah gila itu mau menjadi pacarku.
Sejak saat itu, setiap aku berangkat sekolah pasti dia ada disitu. Seperti menungguku. Tidak usah diurusin nanti aku malah ikut stres dan gila. Dunia memang seperti ini, banyak hal-hal aneh muncul dari ketidak-anehan yang tak kusadari. Keanehan itu ku temui setiap hari dari mulai ku berangkat sekolah sampai pulang.
***
Tidak terasa sudah tiga tahun aku menjalani pendidikan di sekolah ini, besok adalah hari pengumuman kelulusan. Seperti banyak pelajar di negeri ini, kalau sedang musim lulus mereka selalu lupa dengan tujuan utamanya, mereka meluapkan perayaan kelulusan dengan minum-minum alkohol, mencoret-coret baju, berkonvoi di jalan raya dengan sepeda motor yang knalpotnya blong alias tidak ada peredamnya. Meski aku cewek, aku juga tak mau kalah merayakan kelulusan ini. Aku ikut corat-coret baju, rambut dan tempat lain yang bisa dicoret. Ini budaya, budaya pelajar di negeri yang memang sudah punya banyak budaya, sampai banyaknya budaya itu, sering terjadi kasus pengakuan budaya oleh negeri tetangga. Aku tidak peduli dengan semua itu, yang penting aku happy dengan nilai ujianku ini dan merayakannya dengan suka cita. Meski kadang-kadang ku terlalu berlebihan dengan kegembiraanku ini, sampai lupa segalanya.
Perayaan kelulusan sudah berakhir, kini saatnya aku untuk mengemas masa depanku, menentukan kuliah atau kerja. Aku masih bingung. Entah apa yang selalu menghantui pikiranku. Apa karena bait puisi yang selalu dikirimkan orang gila di gang sekolahan itu. Dia terlalu buruk untuk merusak pikiranku. Tapi harus kusadari, dia memang selalu memberi kata-kata indah lewat ukiran puisinya. Aneh juga, orang yang kuanggap gila itu ternyata punya selera sastra cukup tinggi. Itu terlihat setiap barisan kata yang tertulis dalam puisinya. Kuanggap dia hanya menggodaku, ternyata di balik puisinya tersirat bahwa dia mencintaiku. Aku tak habis pikir dengannya, aku hargai cita-citanya untuk mendapatkan cintaku. Tapi ia hanya seorang yang tak tentu status sosialnya. Kenapa aku harus pusing-pusing memikirkannya, menghabiskan waktu saja. Dia kan bukan siapa-siapa.
Aku diterima di perguruan tinggi negeri di kota besar. Aku masuk dengan hasil tes yang memuaskan. Setelah menyelesaikan dua semester aku dapat beasiswa, lumayan bisa bantu orang tua untuk mencukupi kebutuhan hidup di kota besar. Aku juga mempunyai pacar dia anak pegawai daerah di kota ini. Anaknya tampan, hidungnya mancung, kulitnya putih, sifatnya manja, dia anak tunggal. Aku sangat beruntung menjadi pacarnya, karena setiap hari dia menjemputku dari tempat kos-kosanku. Jadi aku tak lagi menghirup udara kota yang sudah tak lagi perawan itu, sudah terkontaminasi oleh ribuan asap kendaran. kulitku juga tak lagi merasa sengatan sinar matahari yang setiap hari marah-marah. Kulitku menjadi putih kembali, karena memang pacarku selalu rajin membawaku masuk salon, membelikan pemutih tubuh. Katanya sih biar dia tidak bosan melihatku lama-lama.
Hujan deras pada bulan juli. Seharusnya inikan sudah musim kemarau, kenapa masih saja hujan. Apa awan di langit itu sudah terlalu tua dan pikun sehingga tak ingat lagi, kapan harus menumpahkan airnya. Atau memang ada hal lain yang membuatnya begitu, mungkin itu air matanya yang menetes karena melihat keanehan-keanehan di bumi. Tapi ini sungguh menyebalkan, apalagi pas ada tugas kuliah yang sampai malam baru selesai. Apa aku harus menerjang air itu. Ah, biarlah daripada aku kemalaman di kampus.
“Hachiim....” sudah kuduga, aku paling tidak bisa kompromi dengan air hujan. Akhirnya virus influenza menyerangku, badan mengigil, otak pusing, lidah hanya bisa meraskan satu rasa saja, yaiu pahit. Aku jatuh sakit.
pacarku datang menjengukku di kos.
“Sayang.. lagi sakit apa? Kok dari kemarin ngak kuliah?”
“Ah, ngak kok yang, aku cuma pengen istirahat aja, kan kemaren capek banget.”
“Ow ya udah, ini kubawakan makanan kesukaanmu” sambil menyodorkan mie ayam spesial.
Seperti pemburu menemukan buruannya, aku langsung memakan mie ayam itu hingga habis tak tersisa. Enak sekali. Di kos-anku hanya ada aku dan pacarku saja karena memang semua temanku sudah berangkat kuliah semua.
“Yang.. aku boleh ngomong ngak?”
“Mau ngomong apa sih, kelihatannya kok serius banget.”
“Selama kita pacaran kan, kita belum pernah ciuman, aku pengen sekali mencium kamu, ini sebagai bukti cintaku pada sayang..”
Aku kaget mendengar kata “ciuman” dari mulutnya. Disamping itu juga, kehidupan di kota besar yang penuh kebebasan banyak mempengaruhiku. Jadi kuanggap ciuman itu, sudah biasa dilakukan pasangan yang statusnya masih pacaran. Dia merayuku dengan kata-kata indahnya. Apa boleh buat, dia kan selama ini sangat baik padaku, apa salahnya aku memberi kebahagiaan juga padanya. Dia mulai menciumku, aku dibawanya terbang ke angkasa, menembus garis pembatas antara bumi dan langit. Aku merasakan kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Tiba-tiba aku dijatuhkannya dari ketinggian. Aku langsung tersadar. Pagi itu aku melakukan hubungan yang seharusnya tidak pantas dilakukan. Aku terpedaya dengan kenikmatan sesaat.
Setelah kejadian itu, pacarku tak seperti biasanya. Dia selalu saja alasan kalau tidak bisa mengantarkanku ke kampus. Katanya ada tugas kek, ada pekerjaan kek, yang intinya selalu menolak ajakanku. Apalagi kalau setelah ia mendengar kabar kalau aku hamil. Dia malah memberi beberapa uang untuk menggugurkan kandunganku. Aku bereaksi keras, aku tidak mau berbuat dosa lebih banyak lagi. Aku sangat menyesal dengan kejadian ini, kalau kutahu akan seperti ini mending aku tak pernah lagi bertemu dengan lelaki. Karena memang semua lelaki itu brengsek, semuaya tak mengerti perasaan perempuan. Menganggap perempuan sebagai barang, selalu dibuang jika sudah usang. Apa yang akan kukatakan pada bapak dan ibu di kampung, kalau aku kuliah hanya mendapatkan anak bukan ilmu untuk masa depanku kelak. Stres akhirnya menyetubuhiku, ketika pacarku sudah tak lagi bisa kuhubungi. Dia hanya meninggalkan janin dan beberapa juta uang untuk menggugurkan janin di perutku serta uang “kasihan” kepadaku. Lelaki bangsat, mau enaknya saja. Dia meninggalkanku tanpa jejak sedikitpun, ku dengar-dengar ayahnya di pindah tugaskan di luar pulau.
Apa yang harus kulakukan sekarang. Aku memutuskan untuk berhanti kuliah, aku memilih kerja sambil mengurus anak tak berdosa ini. Di kota besar seperti di sini, tak sulit mencari kerja bagi perempuan berwajah cantik sepertiku. Aku diterima bekerja di kafe yang hanya beroprasi pada malam hari. Mengandalkan tubuh seksi dan suara pas-pasan, aku menghibur pengunjung kafe. Tak perlu suara bagus untuk menjadi penyanyi kafe, yang penting hanyalah tubuh seksi, wajah cantik, sudah cukup membuat penghuni kafe betah berlama-lama melihatku. Sampai pada akhirnya aku bertemu dengan orang yang membuat hidupku semakin menderita. Dia menawariku pekerjaan menjadi penyanyi terkenal, katanya dia adalah seorang produser, sudah biasa mengorbitkan artis-artis muda. Sekali lagi aku termakan rayuan lelaki. Dia memberiku uang 10 juta sebagai tanda sepakat, akupun setuju. Aku dibawa ke sebuah tempat yang banyak di huni perempuan muda sepertiku. Mereka heran melihatku, entah kenapa. Banyak juga lelaki muda sampai yang tua di tempat ini. Lampu kelap-kelip di pasang pada setiap pintu masuk. Aku bertanya-tanya dalam hati, tempat apa ini. Aku diperkenalkan pada wanita setengah baya, dia memakai lipstik overload, parfumnya menyengat hidung. Ternyata aku sedang dalam mulut buaya setelah keluar dari mulut harimau. Aku berada di lokaalisasi, di sini banyak daging di jual hidup-hidup, katanya daging itu bisa membawa kenikmatan yang luar biasa. Membuat orang lupa dengan keluarga serta agamanya. Celakanya aku salah satu daging yang berjejer di sini. Mungkin Tuhan telah memaafkaku dengan memberi penyakit HIV/AIDS. Penyakit ini tak kuanggap sebagai penyakit pada umumnya, karena bisa kupakai sebagai senjata kepada lelaki yang telah membuatku seperti ini.
Aku teringat kembali akan kata-kata lelaki yang dulu telah ku anggap gila itu. Dia mengatakan lewat penggalan sajaknya “janganlah menjadi bunga setengah jalan, teruskan jalanmu sampai akhirnya kau dipetik pangeran, meskipun itu pangeran kodok sepertiku, teruskan langkah meski kerikil tajam menusuk kakimu, itu akan menjadikan kebal kakimu. Teruskan jangan menjadi bunga setengah jalan”
Kumeneteskan air mata bayangan, setelah ku ingat lagi barisan kata-kata itu. Aku telah kehilangan semuanya, hidupku, harga diriku, keluargaku, teman-temnku. aku berpikir apakah pangeran kodok mau memetikku, setelah ia melihat rupaku sekarang. Jangankan kodok, tikus pun sudah jijik melihat apalagi mencium bauku.
Langganan:
Postingan (Atom)