Senin, 23 Maret 2015

Senja di Pantai Boom Banyuwangi

Fotografi

Wajah Asih




Oleh: Thoni Mukarrom
Ia tak pulang-pulang. Padahal malam akan menelan pagi. Lelaki itu tak mau pulang. Sudah dari jam tujuh tadi. Tubuhnya tegap, kumis tipis dengan rambut cepak. Umurnya kira-kira 22 tahun lebih. Aku tak tahu namanya. Lelaki itu sungguh menyebalkan. Karena ia, aku tak dapat tamu malam ini. Ia menungguku terus, merayuku. Aku katakan, aku hanyalah perempuan murahan. Ia tak peduli.
“Hai Sih!, siapa dia?” bentak salah seorang di sampingku.
“Aku tak tau.”
Ia tetap saja tak mau pergi. Padahal sudah kuceritakan darimana asal-usulku. Seperti apa pekerjaanku dan semua kejelekanku. Ia tetap saja tidak mau pergi. Lelaki itu sudah dari kemarin kulihat duduk di sekitar bangku teras. Kalau terus seperti ini, pelangganku akan lari. Kemana aku harus cari makan esok hari. Lelaki kurang kerjaan itu sungguh menyebalkan. Ia mencuri jatah makanku malam ini. Dari tadi kulihat lima pelangganku enggan masuk.
“He kamu, pergi sana! Ngapain menungguku di sini?”
 Sekali lagi kusuruh ia pergi, hasilnya sama, ia tetap berdiri di depan pintu. Ya Tuhan, makhluk apakah ia? Apakah ia tak punya telinga. Ataukah ia memang makhluk tak bertelinga. Suaraku dari tadi tidak dipedulikannya. Kucoba panggil petugas keamanan. Malah petugas itu tak ada di tempat, mungkin sibuk melerai orang bertengkar. Teman sampingku juga diam saja. Ia terlihat gembira karena pelangganku lari padanya.
Pagi sudah mengintip malu di ujung sofa. Udara dingin merasuk perlahan menusuk tubuh. Lelaki itu tetap menatap mataku, tanpa peduli pagi siap menjelang. Kutanya apa maunya, ia tak menjawab. Kutanya darimana ia datang, ia tetap diam. Ah, aku tak peduli. Kulangkahkah saja kakiku keluar. Ia mengikuti. Biar, mungkin ia tak percaya dengan semua ceritaku tadi.
Senja datang lagi. Sinar keemasannya membawa angin, membelaiku mesra. Kupu-kupu mulai datang berdandan. Sinar remang menyelimuti penjuru kompleks. Bintang agak malu-malu menampakkan diri. Sejak mahgrib tadi, aku telah menghias wajahku dengan berbagai merk make up.
Jarak kostku dengan kompleks tak begitu jauh, sepuluh menit jalan kaki. Tapi itu terasa sangat jauh. Malam nanti akan kulalui— seperti mendaki gunung tanpa peta dan bekal. Aku tak tahu ada apakah di atas sana. Mungkin angin akan menghempaskanku, atau ada binatang liar menerkam dan memakanku. Kalau nasibku sedang sedikit baik, aku akan menemukan buah-buahan—setelah itu menunggu pertolongan dan kalau tidak ada, tinggal menunggu ajal. Banyak orang berkata hidup adalah pilihan, tapi itu tak berlaku bagiku. Aku tak punya pilihan. Sajak kecil aku sudah seperti ini. Melihat hitamnya malam dengan cahaya warna-warni, padahal malam tetap hitam. Hmm, jika mengingat itu aku tak mampu menangis lagi. Airmata telah habis kuperas setiap malam. Tapi, selalu saja  ada sisa airmata yang harus kuperas. Hidup memang tak ada pilihan. Tak seperti banyak orang katakan— itu tak berlaku bagiku.
Sejak kecil ibu telah membiarkanku di tempat ini. Tempat penuh kebahagiaan semu. Terkadang kuberpikir memang lebih enak bekerja seperti ini. Tidak bersusah payah seperti orang lain. Enak kan, kerja cuma begitu saja sudah bisa dapat uang banyak. Zaman sekarang sulit cari kerja, apalagi hanya berbekal ijasah SMP sepertiku. Lagi pula Ibu telah meninggalkan sejak 5 tahun lalu, saatku berumur 15 tahun. Setelah pergi sampai sekarang, ibu tak pernah memberi kabar padaku. Ya, beginilah hidupku, hidup tanpa pilihan. Tanpa tahu ayah dan ditinggalkan ibu.
Ibu meninggalkanku saat aku belum mengerti tentang kehidupan. Seingatku, ibu menitipkanku di tempat ini. Tempat penuh warna hitam yang dinyalakan dengan warna-warni kehidupan. Hidup menyelusuri hitam tanpa tahu jalan keluar. Masih adakah cahaya di seberang lorong sana. Sedang tubuhku telah beradaptasi dengan berjuta warna hitam. Warna yang terlihat sebagian orang sebagai warna penghuni neraka paling bawah. Sebagian lagi menganggap warna kenikmatan— yang tak pernah dirasakan oleh orang yang menyebut dirinya penghuni surga. Terkadang kuberpikir sebenarnya surga dan neraka diciptakan untuk siapa? Biarlah, Tuhan sendiri yang menentukannya. Aku tak pantas mencampuri urusan tersebut.
Ini kehidupanku, aku harus menjalaninya sekuat hati. Tapi inilah hidupku, hidup tanpa pilihan. Aku tidak tahu, di jalan apa sekarang. Kuharap Tuhan masih bisa mendengar dan melihatku. Aku hanya mengais rizki, meskipun rizki yang kudapat, mereka menyebutnya dosa.
Derap kakiku disambut dentuman musik disko. Tiba-tiba lelaki brengsek itu datang lagi. Ia membawa sebuah senyum. Aku berusaha tak melihatnya. Ia melirik. Aku langsung masuk kompleks. Tanpa kuketahui ia telah di depan pintu kamarku. Ia seperti hantu, ia datang dengan begitu cepat tanpa sepengetahuanku.
“Kenapa sih elo ngikutin gue mulu?”
“?”
“Kenapa diam saja? Punya telinga nggak sih!!”
Lelaki itu sungguh brengsek. Benar-benar brengsek dari semua tamu yang pernah kulayani.
***
Ia diam saja melihatku. Padahal dari tadi aku ingin ngomong sesuatu padanya. Wanita muda itu, sungguh— ia mirip pacarku. Umurnya kira-kia 20 tahun. Sudah setahun aku mencari keberadaannya. Di kota besar seperti ini, tak mudah mencari seorang manusia. Aku sudah berpikir, mungkin ia telah diculik. Dikirim ke luar negeri. Dijadikan pembantu rumah tangga tanpa bayaran, itu kalau nasibnya sedikit mujur. Kalau nasibnya sial, ia mungkin dijadikan budak nafsu, atau paling tidak diperkosa  oleh penculiknya. Ditinggal begitu saja.
 Tidak! Semua itu salah. Malam ini aku menemukan lagi pacarku yang menghilang setahun lalu. Mungkin ia kaget dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Mungkin juga ia malu dengan melihatku datang. Tapi aku tak peduli semua itu. Meskipun ia telah menjadi—apapun itu. Aku tak peduli.
Aku tetap saja berdiri di depan pintu kamarnya. Aku tak peduli dengan lelaki yang datang silih berganti. Aku tak peduli teriakkannya ketika menyuruhku pergi.
“Asih, ini mas. Ayo ikut mas pulang. Emak mencarimu. Apa kamu nggak kasihan melihat Emak sakit karena memikirkanmu? Ayo ikut mas pulang..”
“Aku bukan Asih!!”
“Nggak usah malu, sih. Nanti aku akan menjelaskan semuanya ke Emak. Kujamin Emak nggak akan marah.”
“Benar, aku bukan Asih. Sekarang cepat pergi, nanti tamu-tamuku akan lari.”
“Sih...ini mas... mas sudah mencari kamu selama 6 bulan lalu. Mas sudah menanyakan ke berbagai orang di kota ini, tapi mereka semua menjawab tidak tahu. Lalu kuputuskan untuk pergi kesini, siapa tahu ada kamu. Ternyata benar, kamu ada di sini.”
“Aku tak peduli dengan ceritamu. Yang penting aku bukan Asih yang kamu cari, titik!
Aku tetap menunggunya. Siapa tahu nanti malam dia mau mengaku saat sepi orang.
***
Orang ini benar-benar brengsek. Kemarin ia sudah kumaafkan. Sekarang malah datang lagi. Aku harus bertindak tegas. Kusewa preman yang biasa mangkal di depan. Kusuruh mengusirnya, kalau tetap tidak mau, biar ia rasakan bogem mentah. Haha, sekali-kali aku harus sedikit keras. Kalau tidak begini, bisa-bisa aku tak dapat uang lagi. Bolehlah melakukan sedikit kejahatan asalkan demi kebaikan, bukan begitu?
Sebenarnya aku kasihan melihat lelaki kurus itu diseret dan dipukuli preman. Biarlah, semua demi kebaikanku. Kudengar ia memanggil— yang menurutnya namaku, aku tak peduli. Yang penting sekarang pengganggu itu sudah pergi.
Pelangganku sudah banyak mengantri. Malam ini akan sangat melelahkan.
***
Aku rela. Aku sungguh rela. Demi dapat menyenangkan hatinya. Mungkin ini sambutan yang bisa ia berikan padaku saat ini. Tubuhku tergeletak lemah di ujung jalan. Meski banyak orang lewat, mereka tak peduli denganku. Aku dianggap bangkai tikus.
Mengapa ia begitu tega padaku. Ataukah ia lupa denganku. Mungkin saja ia habis tertabrak sepeda motor dan itu menimbulkan amnesia. Biarlah, mungkin ia shock melihat kadatangnku. Padahal aku tak akan menceritakan apapun yang terjadi di sini kepada keluarganya. Tentang pekerjaanya. Tentang dandanannya. Tentang perlakuannya padaku.
Apakah ia ingin balas dendam padaku. Dulu memang pernah kutinggalkannya. Padahal saat itu aku hanya ingin pergi sementara— mencari pekerjaan. Setelah lulus SMA aku langsung pergi ke luar pulau. Menjadi kuli bangunan. Setelah dua tahun berlalu, aku kembali ke kampung halaman. Aku kaget setelah mendengar cerita dari Emaknya, bahwa Asih ingin pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Beliau sudah melarangnya, tapi Asih tetap bersikeras. Akhirnya beliau melepasnya dengan derai airmata.
“Nak, lekas temukan Asih. Begitulah pesan terakhir emaknya saat kuberpamitan mencarinya.
***
“Ayo, Sih, ikut mas pulang... Emak sakit lo...di rumah tak ada siapa-siapa.” Ajaknya, sambil sangat memelas.
“Aku bukan Asih.”
“Kamu tak usah begitu, aku tak akan menceritakan pada emak kamu, beneran..,”
“Sekali lagi ya! aku BUKAN ASIH!!!”
Mengapa lelaki itu begitu menginginkanku. Padahal aku bukan orang yang dicarinya. Mungkin, ia frustasi, atau gila karena ditinggal pacarnya yang kebetulan mirip wajahku. Dasar, dunia memang sudah lebih gila dari yang kuduga.
***
Malam semakin kelam. Lelaki-perempuan pengunjung pesta mulai pulang. Tinggal seorang pemuda dan seorang wanita muda. Mereka adu mulut hebat sekali. Petugas keamanan tak peduli. Waktu sudah mendekati jam dua pagi. Mereka terlihat menyembunyikan sesuatu. Lelaki muda dan wanita muda itu akhirnya pulang dengan jalan masing-masing. Tak ada salam, tak ada kata- kata terakhir.
Tuban, 08-09 04 2011


 Pernah dimuat Majalah Akbar

Ketika Cinta Memilih




Oleh: Thoni Mukarrom

Masa-masa indah jalinan cinta begitu indah, keindahan itu lebih dari keindahan yang kubayangkan sebelumnya. Aku seakan melihat dunia hanya sebagian kecil dari cinta itu sendiri. Melihat ayam-ayam yang setiap hari kerjaannya hanya memberikan kotorannya di teras rumahku, seperti melihat gumpalan “emas” yang tak ternilai harganya. Apalagi emas itu berada tepat di depan pintu kamar tidurku. Bahkan aku mendengar omelan-omelan Ibuku seperti suara nyanyian yang sangat merdu. Kalau boleh kukatakan suara itu seperti Celine Dion sewaktu menyanyikan lagu “My heart will go on”. Sangat romantis.
Hari ini adalah hari minggu hari yang aku tunggu-tunggu dalam seminggu. Hari yang dinantikan para remaja di kotaku untuk pergi bersama kekasihnya. Melepas penat.
Tuban, kota yang berada di pesisir pantai utara pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Persis di utara alun-alun kota terdapat bekas pelabuhan yang jaman kerajaan dulu dipakai pusat perdagangan penting. Tapi sekarang beralih fungsi menjadi tempat rekreasi para remaja. Terkenal dengan sebutan pantai “Boom” Tuban. Di sebelah barat ada bangunan masjid, kalau dilihat sekilas seperti istana di negeri dongeng. Di pelataran masjid terdapat banyak sekali orang-orang peminta sedekah. Mulai dari anak kecil sampai orang tua. Terkadang aku kasihan melihat mereka, seakan airmatanya sudah habis. Tapi tetap saja orang yang lewat di depannya tak memberi perhatian. Barangkali sudah suatu kebiasaan jadi tak perlu diperhatikan.
Banyak yang menyebut Kabupaten Tuban dengan julukan kota “Tuak”. Walaupun memang benar di sini banyak sekali ditemui orang-orang—hampir setiap hari “Tahlilan” di pinggir jalan sambil memegangang centak. Libur-libur kalau ada penertiban Satpol PP. Tapi setelah itu mereka kembali lagi seperti biasa. Aku lebih setuju kalau kotaku dijuluki sebagai kota Wali atau paling tidak kota Santri. Ini bukan tanpa alasan, sebab di sini terdapat banyak sekali makam-makam wali yang tersebar mulai dari pusat kota sampai pelosok desa. Termasuk juga makam salah satu wali Songo, yaitu makam sunan Bonang. Julukan ini mungkin juga bisa membuat para penduduknya lebih sadar dan tidak sering-sering berbuat maksiat.
Sejak Sabtu kemarin aku sudah membuat janji dengan pacarku untuk pergi jalan-jalan di pantai Boom, kata pacarku sih kalau jalan-jalan di pantai Boom itu enaknya waktu sore sambil melihat matahari terbenam. Aku menurut saja apa yang dia katakan.. Aku semakin tidak sabar menunggu sore tiba, ingin cepat-cepat kuputar jarum jam itu yang kelihatannya mulai malas bergerak.
Akhirnya senja tiba juga. Aku kaget ketika melihat pacarku berdandan tidak seperti biasanya, dia memakai pakaian serba hitam lebih tepatnya mamakai sandal hitam, celana pensil hitam, kemeja hitam dan kerudungnya juga hitam.
“Eh kamu habis melayat siapa? Siapa to yang meninggal dunia?” Tanyaku mengintrogasinya.
“Tidak kok Mas, aku pengen ae pake pakaian begini, apa aku tidak cantik lagi ya kalau pake baju seperti ini?” Sambil tersenyum malu.
“Tidak kok dek, kamu malah semakin manis kok kalau pake baju seperti itu, lihat aja tu banyak semut sudah mengantri mau ngerubutin kamu. He..he..he… O ya, tadi katanya mau ngomong sesuatu, mau ngomong apa sih? kelihatannya kok serius banget.” Kataku sambil menatap mata indahnya.
“Oh.. aku cuma mau pamit aja mas, kalau sebulan kedepan aku mau pergi ke Malang di rumah mbahku, aku diajak liburan sama mak’e kesana.”
“Lho kok nggak ngajak-ngajak aku to dek?” Jawabku menggoda.
“Nggak mas, aku cuma sama mak’e thok, bapak sama adek aja nggak diajak.”
“Kok lama banget sih?” Tanyaku lagi.
“Nggak tahu mas, aku cuma nurutin perintah mak’e.”
“Yo weslah kalo gitu, aku nggak bisa nglarang kamu.”
“Mas marah ya..”
“Nggak kok aku nggak marah, beneran.” Sambil kusedot batang terakhir kretekku. Aku menatap matanya, mata yang sangat indah seperti kilau permata.
Senja perlahan menutup siang menjadi malam, menutup terang menjadi gelap. Barisan burung Kuntul beriringan menambah indahnya senja sore ini. Lampu-lampu di pinggir pantai Boom mulai dinyalakan. Sinar matahari berganti lampu-lampu oranye di pinggir jalan. Tak terasa malam telah tiba, kami bergegas pulang.
Waktu aku jalan-jalan bersamanya di pantai Boom, tak kulihat dia memberikan tanda-tanda kegelisahan, atau kegundahan hati yang dipaksa disembunyikan. Dia hanya tersenyum meskipun terkadang kulihat senyuman itu dipaksa-paksakan. Entah apa yang telah terjadi pada dirinya, aku sama sekali tak tahu.
Setelah itu, ku selalu terpikirkan wajahnya dalam setiap malam, di saat mata tak mampu lagi menahan kelopaknya yang semakin berat, di saat mahkluk kecil penghisap darah yang selalu setia menemani tidur datang mengerubuti tubuhku. Wajah yang indah itu selalu menempel lekat-lekat di mataku, tak bisa kuhapus dengan memejamkannya apalagi hanya mengedipkannya. Sungguh tak bisa. Entah apa yang kurasakan ini? Inikah cinta yang kata orang-orang sungguh indah dan serasa dunia milik berdua. Tapi apa. Semua itu tak lagi kurasakan.
Sungguh kutak berdaya dibuatnya. Hari-hari berlalu begitu saja tanpa ada rasa bahagia, hanya rasa sedih yang selalu hadir menemani. Tatapan mataku selalu kosong, otak juga tak mampu bekerja maksimal, yang ada hanya lamunan.
*
Sebulan sudah virus cinta ini melumpuhkanku, mengunci kaki, menutup mata dan yang terakhir hampir membunuhku. Sampai saat ini akupun tidak tahu mengapa dia meninggalkanku tanpa memberi alasan yang bisa membuat hati rela melepasnya. Kuhubungi nomer HP-nya tidak pernah aktif, kudatangi rumahnya juga tidak pernah ada. Saat kutanya orangtuanya, beliau tak pernah memberi jawaban yang memuaskan. Dan seakan-akan mencari-cari alas an.
Siang yang panas ini serasa ada petir menyambar tepat di depan rumahku. Dan memunculkan seorang gadis, gadis yang datang dengan membawa secarik kertas bewarna merah dibungkus plastik murahan. Seorang gadis yang pernah kulihat sebelumnya. Benar sekali, dia adalah wanita yang selama ini menganggu tidurku, merusak mimpiku, menghancurkan semangatku. Kucoba menguatkan hati di depan matanya, kutarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan. 
 “Assalamu`alaikum…” Suaranya yang lembut tiba-tiba menghapus rasa rinduku selama ini.
”Wa`alaikumsalam…, kemarin-kemarin kemana aja, kok nggak pernah ada kabarnya?” Tanyaku penasaran.
 “Mau maen aja kok, sekalian mau ngasih ini.” Sambil menyodorkan kertas yang ada di genggaman tangannya.  
Ku langsung menyambarnya, seperti burung Elang menyambar anak ayam yang sedang jalan-jalan sendirian. Ku buka pelan-pelan, ternyata ada listrik 1000 watt masuk melalui jari-jari tanganku langsung melesat memporak-porandakan semua isi di dalam hati, lalu naik ke otak mengagetkan sel-sel otak yang dari kemarin tidak bekerja.
 “Undangan pernikahan?” Kucoba menguatkan hati, agar airmataku tidak meledak tepat di depan matanya.
 “I, i, iya Mas, itu surat undangan pernikahanku. Maaf ya, kalau selama ini aku tidak jujur padamu, kutakut Mas, kalau aku langsung berterus-terang itu akan lebih menyakitimu. Maaf ya Mas…” Bicaranya seperti ibu yang akan melepas anaknya kerja ke luar negeri. “Terima kasih atas kebaikan Mas selama ini. Sebenarnya aku sendiri tidak menginginkan pernikahan ini, tapi apa dayaku, aku tak bisa berbuat apa-apa, orangtuaku menjodohkanku. Dan aku sadar selama ini aku tak pernah membahagiakannya, mungkin dengan ini mereka bisa bahagia walaupun aku tersiksa. Kuharap Mas bisa memahami posisiku sekarang ini.” Sambil mengusap airmata yang dari tadi sudah tidak sabar mau keluar.
Aku akan menerima kenyataan ini, menerima dengan seikhlas-ikhlasnya. Meskipun sebenarnya aku tak rela dengan takdirku seperti ini. Tapi apa mau dikata, Tuhan telah berkehendak lain, Tuhan sedang menjalankan takdirnya—takdir yang tak bisa dirubah hambanya—takdir yang pasti dan aku harus menjalaninya.
 “Aku tahu, kamu di posisi yang sangat sulit saat ini, dan aku juga bisa merasakannya bila aku di posisimu sekarang, tapi inilah kenyataan yang harus kita jalani. Dan kita harus ikhlas menerima semua kenyataan ini. Sebelum kamu pergi, apa aku boleh meminta satu permintaan padamu?.
 “Apa itu Mas.. Kalau aku bisa melakukannya pasti akan ku lakukan.?” Suaranya lembut sekali.
“Aku hanya minta kepadamu agar kamu bisa mencintai dengan setulus cinta sejati kepada orang yang akan kamu nikahi, jangan sekali-kali kamu mengkhianatinya. Karena cinta yang sesungguhnya adalah di saat kamu bersumpah sehidup semati ketika akad nikah nanti. Apakah kamu bisa melakukan itu?” Kucoba setegar-tegarnya mengucapkan kata-kata ajaib itu, dan aku sendiri tak yakin bisa melaksanakan apa yang baru ku ucapkan.
 “Ya Mas, doakan saja aku bisa melewati bahtera rumah tangga nanti dengan selamat dan bisa menjadi keluarga sakinah, mawadah dan warohmah. Ya sudah Mas, kalau gitu aku pamit pulang dulu ya.., itu sudah ditunggu pamanku dari tadi.” Sambil mengusap pipinya yang basah dengan tisu
 “Jangan lupa datang ya Mas, di pesta pernikahanku nanti.” Sambil melambaikan tangan. Suaranya terasa lembut membelai telingaku.                                                                     
 “Iya.., Hati-hati ya.” Jawabku sekenanya.
Itulah kata-kata terakhir yang diucapkannya kepadaku sebelum kumelihatnya bersanding di pelaminan. Kata-kata itu seperti bunga mawar. Sampai-sampai aku tidak tahu di balik keindahannya itu terdapat duri-duri yang siap kapan saja menusuk-nusuk hati dan perasaanku.
Sambil menaiki sepedamotor dia melambaikan tangannya dengan tersenyum manis. Manis sekali senyumnya, baru kali ini aku melihat senyuman yang begitu manis yang terasa sampai ke dalam hati. Semoga kamu bahagia bersama pilihanmu sekarang.
Sebenarnya hatiku tidak bisa menerima semua kenyataan ini, tapi apa yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa menatapnya bahagia di atas remuknya hatiku, biarlah semua kisah ini berakhir seperti ini, aku akan ihklas menerimanya. Dan kuyakin suatu saat nanti akan ada seorang bidadari yang setia menemaniku di akhir pencarian cinta sejati.
***
Malam tiba-tiba datang dengan membawa perhiasan beserta pernak-perniknya. Sang rembulan tersenyum, bintang-bintang berkelap-kelip, persis lampu ulang tahunku tahun lalu. Semilir angin menyapu kegelisahan hati. Perpaduan suara mahkluk-mahkluk malam menyayikan lagu pengantar tidur. Kucoba pejamkan mata sambil membaca lagi tanggal yang tertera di cover undangan tadi, di situ tertulis rabu, 28 September 2008. Aku teringat, kalau tanggal itu mengigatkanku kembali pada saat pertama kali kuucapkan cinta dengannya: 28 September2006. Dan mengingatkanku pada sebuah nama yang terukir indah di dalam hati, nama yang tak pernah kuceritakan pada siapapun, nama yang takkan hilang dan akan terus menjadi rahasia indah cintaku, selamanya…
 Tuban, Juni 2009
 Pernah dimuat Surabaya Post







Tarian Naga




Oleh: Thoni Mukarrom

Tubuh naganya meliuk-liuk indah ke angkasa. Menembus awan putih hingga melelapkan mentari. Siang begitu menggoda. Tarian keindahan mementaskan harapan. Mencakar langit.
1.
Gadis itu sungguh memesona. Saat ia menari, tariannya menjelma naga. Setiap kali aku melihatnya dari kampung satu ke kampung lain, ia memanjakan setiap mata penonton. Menyihir mata orang-orang yang butuh hiburan. Memang, tak mudah cari hiburan di desa. Mungkin TV, itu kalau yang punya uang banyak. Kebanyakan orang di desaku hidup di bawah garis kemiskinan. Benar, seperti orang-orang di desa lain.
Butuh kesabaran ekstra untuk mencintai gadis seperti Ning. Bagaimana tidak, setiap hari aku harus menerima cacian dari tetanggaku, dari kerabatku, dari teman-temanku. Apa tidak ada gadis lain saja di desa ini?  Kata bapakku suatu waktu. Aku tak peduli kata-kata itu. Tak ada yang bisa memisahkan cinta kita. Tak ada.
Begitulah kira-kira rasa jatuh cinta pada wanita yang kurasakan sekarang. Semuanya terasa indah. Setiap kali ia selesai manggung, aku selalu menunggunya. Ia tak begitu peduli dengan apa yang kunaiki. Ia tak menuntut banyak dariku. Mungkin aku lelaki beruntung di dunia. Hanya sepeda jengki ini sudah membuat seorang gadis itu mau jadi pacarku. Kami selalu menikmati hal-hal kecil yang ada. Aku pun juga tak menuntut banyak darinya. Biar pun ia seorang ledek, aku tak peduli.
Berhari kulewati dengannya. Memang, terkadang semuanya berlalu begitu saja. Kadang cinta begitu rumit. Mungkin juga banyaknya penderitaan yang telah kulewati bersamanya. Jurang pemisah dan status sosial yang sering kali membuat kita selalu menikmati getir cinta. Bukankah cinta selalu membahagiakan? Tuhan menciptakan cinta untuk menemani manusia agar tidak bosan hidup di dunia. Tuhan menciptakan cinta agar membuat manusia saling menghargai, saling menghormati, saling membutuhkan. Tapi, semua itu terkadang kupertanyakan. Bukan kutakmengimani cinta yang telah diciptakan Tuhan. Bukan pula aku tak pernah merasakan itu. Tapi saat kubersamanya, kau tahu, semua itu telah membuatku tak tahu arti sebuah cinta. Penuh misteri, betul kata pujangga terdahulu, cinta itu buta. Tak jarang kuberpikir mengapa banyak orang berperang. Padahal mereka sendiri menyeru betapa indahnya perdamaian. Mungkin mereka juga bingung atau tak mengerti arti cinta, seperti apa yang kurasakan sekarang. Hmm.
2.
 “Kenapa Kau masih berhubungan dengan gadis murahan itu?” Kata bapakku di suatu malam, setelah aku mengantar pulang  pujaan hatiku.
“Apa tidak ada gadis lain di desa ini, Nak..” Sahut ibuku.
“Bu, biarkan aku pilih hidupku sendiri, aku sudah besar, Bu..” Jawabku.
Kedua orangtuaku memang tak pernah tahu apa yang kurasakan. Aku mencintainya, bukan karena ia mencintaiku. Aku mencintainya, bukan karena ia cantik. Aku mencintainya karena aku memang benar-benar cinta. Cuma itu. Benar sekali, jika ada orang yang menyebutku munafik untuk mengakui bahwa ia cantik.
Aku tak menyalahkan bila orang-orang mengira bahwa aku lelaki kotor yang mencintai wanita—yang mereka pikir juga kotor. Yang penting aku bisa mencintainya seperti mencintai tubuhku sendiri. Tak penting semuanya yang telah ia berikan padaku. Memang semuanya pantas kudapatkan karena mencintainya.
Asal tahu saja, mereka juga suka menonton Langen Tayub. Aku tahu itu, siapa kemarin yang mabuk dan tertidur di pinggir jalan sampai pagi. Sekarang aku hanya bisa tertawa jika mereka mengejekku lagi. Mereka memang hewan berwajah manusia. Jangan heran jika Darwin pernah menyebut mereka bernenek moyang kera.
3.
Suatu malam saat ia selesai tanggapan acara anak khitan. Aku menunggunya di balik pepohonan. Orang yang tak tahu pasti mengiraku sedang mencari wangsit untuk nomor undian. Atau dikira penyair yang sedang mencari imajinasi. Mungkin juga arwah penasaran. Biarlah, aku diam saja.
“Mas, sudah dari tadi? ”
“Sekitar sejam, Dik.. ”
“Ayo, Mas pulang. Aku lelah sekali.”
Malam itu kami berdua menyusuri malam. Menikmati hawa dingin yang menelisik di balik kaos oblong. Ning merasa kedinginan. Ia memeluk erat perutku. Aku gemetar. Baru kali ini aku merasakan sesuatu yang aneh. Sepanjang perjalanan pulang, aku dibuatnya merinding penuh keanehan. Aku menyanyikan lagu kesukaannya. Lewat serak pita suara, aku mencoba membuatnyua sedikit tersenyum. Ia terkekeh mendengar suaraku. Malam itu sangat aneh, untuk sebuah cinta yang aneh. Rembulan pun sedang aneh—berbentuk hati.
4.
“Kalau kamu tak meninggalkannya, lebih baik kamu pergi saja dan jangan pernah kembali!!” Suara bapakku seperti petir di siang bolong.
“Pak, sabar Pak..meskipun begitu ia anak kita sendiri, Pak..”
“Persetan!!! Ia sudah tak menghargai kita sebagai orang tua, Bu.”
“Pak, jangan begitu…” Belum selesai ibu bicara, bapak mengambil sebilah pisau yang tergeletak di atas meja. Lalu mengacungkannya padaku.
“Pak, sabar, Pakkkk…”
Malam itu juga aku lari meninggalkan rumah. Ibu mengejarku, ia memberi beberapa uang. Aku pamit dengan iringan airmata. Ibu juga.
“Bu, maafkan aku, aku anak tak berbakti pada orangtua…” Aku langsung lari sebelum ibu menyahut kata-kataku.
5.
 “Mas, kenapa berbuat senekat itu?”
“Aku tak tahu, Dik”
“Kenapa sih, Mas? ”
“Aku tak bisa menjelaskan semuanya...”
Entah kenapa, aku selalu tak punya alasan jika ia menanyakan tentang hal yang telah kulakukan. Sebelum itu, aku juga pernah memukul tetanggaku, saat ia mengejekku. Aku juga tak punya alasan mengapa aku melakukannya. Saat itu yang ada di pikiranku hanya ingin memukulnya saja. Beberapa waktu sebelum itu, aku juga telah berani mengoboskan ban sepeda motor Kepala Desa. Ia tak mengata-ngataiku seperti tetanggaku tadi. Ia hanya melirikku sambil tersenyum. Entah, saat ia masuk ke Balai Desa, jemari menuntunku untuk menancapkan jarum. Semua kejadian itu tak seberapa jika dibandingkan dengan pengusiran bapak malam tadi. Dan lagi-lagi aku tak punya alasan untuk kujelaskan padanya. Sudahlah, aku sudah cukup senang dengan ketidakpahamanku tentang cinta. Tapi aku akan selalu menikmati ini walau sangat rumit.
“ Ya udah Mas, o ya, besok aku ada tanggapan di telaga lho, desa sebelah.”
“Jam berapa, Dik?”
“Jam satu siang, Mas…”
Sudah dua kali ini ia dan kelompok tayubnya diundang untuk syukuran di telaga. Di sekitar desaku masih mempertahankan tradisi nenek moyang. Salah satunya ya itu, menggelar pertunjukkan langen tayub dan sesaji alam di sekitar telaga. Biasanya acara seperti itu dilaksanakan setahun sekali, setelah panen raya. Terkadang juga ada yang menggelar syukuran saat mendapat rezeki lebih. Semua mereka lakukan untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan Sang pemberi hidup.
Beberapa warga menyumbangkan sebagian harta untuk acara itu. Ada beras, ayam, dan berbagai macam makanan tradisional. Mereka membagikan bancak’an kepada seluruh warga yang hadir. Sebuah sarana untuk mempererat tali persaudaraan yang efektif. Dan itu sudah berlaku ribuan tahun lalu, sebelum orang mengenal nasionalisme. Aku bangga dengan apa yang mereka lakukan. Sayang acara seperti ini kurang disukai para remaja. Mereka lebih suka dangdut koplo. Kau tahu, goyangan biduan cantik itu mengebor hati mereka.
Dengan baju warna krim kekuning-kuningan, Ning kuantar ke telaga. Siang yang panas, matahari mungkin sedang membuka bajunya. Aku terseok-seok mengantar Ning ke telaga. Jalan ke telaga tak semulus jalan raya. Banyak batu kecil, batu besar yang tertimbun tanah, juga tanaman berduri di pingirnya. Akhirnya dengan perjuangan yang melelahkan, aku sampai juga di telaga. Di sini sudah banyak sekali warga desa berkumpul. Di masing-masing tangannya ada yang membawa bucu lengkap dengan ayam panggang. Di antara mereka kulihat juga ada yang membawa bunga-bungaan, aku tak tahu akan dibuat apa. Persis di samping bucu-bucu itu ada peralatan gamelan lengkap. Telah sedari tadi pagi dipersiapkan. 
Pertunjukkan akan segera dimulai. Para panjak telah siap dengan alatnya masing-masing. Ning satu-satunya ledek muda yang masih bertahan. Teman-temannya banyak yang keluar karena tidak tahan omongan warga yang tak suka. Tak heran jika ia kerap menjadi sasaran omongan tak sedap. Tapi aku tak terlalu peduli dengan itu semua. Cintaku padanya tak ada yang memisahkan. Biar anjing menggonggong kafilah berlalu. Apa urusan mereka.
 Pertunjukkan kali ini sangat memukau. Ning berubah jadi naga biru, meliuk-liukkan tubuhnya ke angkasa. Menyemburkan api. Menari di antara awan yang beriringan. Sungguh pemandangan yang membuat mataku enggan berkedip. Suaranya merayap senyap. Naga biru itu menyelaraskan gerakan tari disisipi nyanyian duka. Aku terharu dengan semua itu. Ia mendendangkan dukanya di angkasa. Api biru menjilat-jilat menyentuh tanah. Perlahan air bening memaksa keluar. Pertunjukkan luar biasa!
“Ayo Mas, pulang..” Suaranya menghamburkan imajiku. Aku tak bisa menyembunyikan airmata padanya.
“Mas kenapa?” Tanyanya pelan.
“Ehm, tadi mata mas kelilipan, Dik.” Jawabku terbata.
“O, kirain kenapa. Ayo Mas pulang, acara sudah selesai.”
“iya, Dik..” Saking terbawa suasana yang luar biasa, aku tak sadar pertunjukkan telah selesai.
6.
Meskipun kadang aku berpikir, mengapa aku begitu nurut padanya, padahal dalam hubungan ini tak ada yang merestui. Aku benar-benar tak tahu alasannya. Semuanya kujalani dengan begitu ihklas, ihklas mencintai apa adanya. Kalau ada orang bilang aku telah dibutakan cinta, mungkin itu benar. Mungkin juga tidak. Ah, dari pada pusing memikirkan itu, lebih baik aku jalani semua ini dengan tulus. Di zaman sekarang tak mudah menemukan gadis seperti dia. Aku beruntung bisa berpacar dengannya. Setiap kali kucoba menggungkapkan apa yang kurasakan, ia selalu tersenyum, tersenyum kecut. Biarlah, memang beginilah cinta, indah dan misteri.
“Bu, ada apa dengan anak kita. Mengapa anak kita bisa  kepincut dengan ledek sialan itu.”
“Ibu tidak tahu, Pak. Mengapa Bapak tega mungusirnya. Dia kan anak kita satu-satunya. Penerus kita.”
“Bapak tak peduli Bu, anak itu sekali-kali harus mendapat pelajaran, agar ia dapat merasakan susahnya menjalani hidup. Biar ia tahu hidup yang singkat ini jangan dibuat main-main. Ibu paham kan maksud bapak?”
“Paham, Pak.. tapi ibu khawatir dengan apa yang terjadi pada anak kita sekarang..,”
“Ibu jangan terbawa perasaan. Ia akan balik saat ia lapar dan membutuhkan uang. Tenang saja, Bu.”
“Bapak tidak boleh begitu, siapa tahu Iwan benar-benar nekat dan tidak mau kembali lagi ke rumah ini”
“Ibu percaya bapak, dalam waktu dekat Iwan pasti akan kembali.”
Mendengar pembicaraan kedua orangtuaku itu, aku enggan masuk rumah. Kutulis sepucuk surat untuk ibu. Kukabarkan keadaanku, bahwa aku baik-baik saja. Aku sudah dapat pekerjaan. Walau sebagai penjaga warung makan lesehan. Aku sudah bersyukur. Kuharap ibu tak terlalu mencemaskan keadaanku sekarang. Dan rencananya tahun depan aku akan melamar Ning. Mungkin ibu merestui. Tapi bapak, aku kurang yakin pada beliau. Semoga saja dengan ketidakpulanganku, bapak bisa luluh hatinya dan merestui pernikahanku.
Aku tidak jadi masuk rumah. Kuselipkan sepucuk surat di bawah pintu. Semoga besok saat ibu menyapu, menemukan dan membacanya. Semoga bapak tak menemukannya lebih dulu, agar darah tingginya tidak kumat. Aku mengayuh pelan sepeda jengkiku menuju warung lesehan tempatku bekerja. Selain tempat kerja, di warung itu juga di sediakan kamar buat karyawan. Aku tinggal sementara di situ, sambil mengumpulkan uang untuk persiapan pernikahan.
7.
Rasanya sekarang aku sudah menjadi mempelai pria. Menggunakan peci hitam dengan jas hitam. Rasanya aku menjadi pangeran dari negeri dongeng yang tanpa sengaja menemukan putri tidur, lalu membangunkannya dengan ciuman. Indah rasanya. Serasa aku tidak hidup di dunia ini.  Aku hidup di dunia lain dengan suasana lain pula. Bak pangeran dari kerajaan Antah Berantah menemukan putri pilihannya. Lalu mempersuntingnya dan hidup bahagia selamanya.
 Sekarang kufokuskan untuk giat bekerja. Aku tak ingin mengecewakan Ning saat pernikahan nanti. Aku ingin membahagiakannya. Hanya itu, aku ingin menghapus airmatanya yang selalu ia keluarkan setiap malam. Ketika ia mengingat kedua orangtuanya yang telah meninggal dunia. Aku ingin menghapus keringatnya. Memerasnya lalu kalau ia mengijinkan, ingin kuminum keringat itu. Ya, aku akan meminumnya. Terdengar gombal memang, tapi biar ia tahu, aku juga merasakan apa yang sedang ia rasakan.
 “Ning, tunggu mas...,” bisikku  sebelum memejamkan mata.
***

Catatan:
Tanggapan   :  pertunjukkan (tontonan)
Ledek           :  penari dalam pertunjukkan Langen Tayub
Panjak         :  penabuh gamelan dalam pertunjukkan Langen Tayub
Bucu (jawa): tumpeng, nasi yang dibentuk seperti kerucut.      Biasanya disajikan saat ada acara penting atau selamatan.

Tuban, mei 2011

Pemenang harapan lomba cipta cerpen remaja tingkat nasional, Lip ace golden award

Yang Datang Malam Itu…



Oleh: Thoni Mukarrom

Malam itu ada malaikat maut datang bertamu, lalu menuangkan minuman, kau meminumnya. Setelah itu, kau mabuk dan dibawa ke angkasa menyusuri dunia yang belum pernah kaulihat sebelumnya. Kaulihat berjuta wajah manusia lelah.
 Kau menunggu datangnya kisah dengan derai airmata. Menunggu berbagai kisah dengan hijaunya warna daun melati. Dan pada saat hitam datang lagi, kaulihat berbagai lentera datang dengan warna indah, sangat indah. Kaunikmati malam itu dengan membacakan sebuah puisi yang belum sempat kaubacakan. Lalu kau perlihatkan sebuah lukisan untukku. Kau nyanyikan lagu untukku, sayang. Kalaupun aku tidak menyukainya, kau akan menyimpannya pada hitam malam, biar tak ada yang melihatnya lagi.
Malaikat maut datang begitu tiba-tiba. Ia begitu saja membuka pintu rumahmu tanpa permisi. Saat itu kau hanya memakai celana pendek, tanpa baju. Malaikat maut langsung nyelonong ke ruang tamu, memandangmu. Ia menawarimu segelas minuman, entah apa. Kau dipaksa meminumnya. Setelah itu kau tak tahu lagi sekarang berada dimana. Sebelum kau meminumnya, Pak Malaikat Maut menanyakan permintaan terakhir padamu. Kau tak minta apa-apa. Pak Malaikat hanya senyum sedikit. Kau takut. Kau terpaksa meminum minuman Pak Malaikat, karena dia memaksamu. Setelah itu sampailah kau pada tempat ini. Tempat yang belum pernah kau lihat.
Kau tidak sempat mengucapkan selamat tinggal pada istri dan anak-anakmu. Juga pada teman-teman akrab, pada saudaramu semua. Kau  tak tahu apa di sini juga ada Hape misalnya, atau paling tidak Tukang Pos. Kau tak tahu, di sini hanya ada hitam yang selalu menghiasi setiap benda. Kau teringat dengan puisi yang belum sempat kaubacakan kepadaku. Ya, puisi itu, puisi yang kaubuat saat kita menjalani kehidupan remaja dengan kesenangan dan kesenangan. Aku teringat saat terakhir kita bertemu, akan membaca puisi untukku. Tapi, sampai sekarang kau mengkhianati semua itu, kau malah menikah dengan seorang yang belum kau kenal sebelumnya. Kau merasa berdosa. Ah, di sini kau teringat janji-janjimu dulu— yang belum kau lakukan, muncul satu persatu.
###
Setelah malaikat maut menuangkan minumannya di gelas itu. Aku sedikit curiga dengan apa yang dituangkannya. Tidak seperti biasa. Dengan ketidakberdayaan aku terpaksa meminumnya. Setelah itu sampailah aku di sini di sebuah tempat dengan hitam dan hitam. Sebuah tempat yang—aku sendiri tak bisa menceritakan padamu. Sayang, apakah kemarin malam kamu merasa kehadiranku di mimpimu?
Kamu tak lagi menjawab pertanyaanku. Padahal aku datang pada malam itu, aku datang membacakan sebuah puisi yang pernah aku janjikan untukmu. Aku juga memperlihatkan sebuah lukisanku tentang wajahmu, yang dulu pernah diledek adikku, karena jelek. Tapi aku hanya tersenyum saja, karena kamu juga akan berkata sama seperti adikku. Di sini, di tempat ini, lukisan itu sudah berubah jadi indah. Sangat indah. Jika kamu bisa melihatnya pastilah kamu terkagum dan mengatakan: Lukisan siapa itu, mas? Aku belum pernah sekalipun melihat lukisan seperti itu.., katamu sambil mengucek-ngucek mata.
Ketika malaikat maut ujug-ujug datang ke rumahku saat itu. Aku berpikir ada apa gerangankah ia? Aku menduga dia akan memberi kado kejutan saat usiaku mendekati 50 tahun. Aku tak berpikir aneh-aneh saat itu.
Sebelum aku datang mengunjungi mimpimu. Aku dengan semangat bertanya pada seorang tua di sebelahku, entah siapa namanya. Aku bertanya tentang bagaimana cara lari dari tempat ini. Ia memberikan jawaban, dan aku melaksanakannya. Sampailah aku di mimpimu. Aku melihat wajahmu sangat indah. Sangat indah bahkan, ah, pokoknya sangat indah. Semua perempuan di dunia kalah cantiknya, saat kulihat kecantikan wajahmu saat itu. Aku memanggil-manggil namamu. Kau tuli rupanya. Bahkan saat kulihatkan lukisanku pun kau seperti orang buta. Padahal matamu sangat indah, ah, sangat indah, pokoknya sangat indah. Tapi kau tak bisa melihat lukisanku. Aku berusaha memanggilmu dengan menyanyikan lagu ciptaanku sendiri. Berharap kau mendengarnya.
Selalu di antara berjuta bintang di angkasa
Ada wajahmu, menggoda mataku
Sesekali mencubit khayalanku
Lalu kau tiba-tiba hadir dengan wajah penuh luka
Aku takut, sayang
Aku takut saat itu
Aku lupa kapan saat kita bermain rindu terakhir kali
Saat itu aku ingin membacakan puisi yang kubuatkan khusus untukmu
Tapi aku takut, sayang
Aku takut….
Aku tak bisa melanjutkan lagu yang berantakan itu. Aku harap kau, meskipun tak melihatku, kuharap telingamu masih berfungsi dengan baik. Jika kau tak mampu lagi mendengarnya, biarlah semua kenangan ini kusimpan rapat. Kutelan habis bersama hitamnya malam.
###
“Sudah tua masih saja kelayapan!! Ingat anak, ingat istri di rumah!!!” Bentak istriku.
Aku tak akan peduli dengan nyanyian istriku. Aku hanya ingin menemui dirimu, lalu membacakan puisi yang kuciptakan serta memperlihatkan lukisan wajahmu, tentu lukisan yang kulukis sendiri.
“Iya, aku keluar sebentar, nanti kembali lagi.” Jawabku tanpa beban.
Aku datang ke warung kopi pojok kota—dulu pernah kita habiskan malam minggu bersama di situ. Saat anak muda lain dengan semangat membawa pacarnya ke pantai, entah apa yang akan dilakukan. Justru saat itu aku hanya membawamu ke warung kopi kecil di pojok kota. Aku teringat saat kamu memesan teh hangat, dan memesankannya juga untukku. Kamu tak suka manis, sebab kutahu wajahmu sudah cukup manis untuk memaniskan tehmu. Kamu tertawa saat kumengatakannya. Kamu mencubitku lalu meminum teh yang masih panas itu, gantian aku yang tertawa melihatmu kepanasan.
Tapi malam ini aku datang sendiri di warung itu. Aku memesan wedang jahe. Aku hanya melihat beberapa orang dengan lahapnya menenggak minuman. Aku menutup hidung. Aku harap malam ini kamu juga datang ke warung ini. Aku akan menunggumu sampai dini hari nanti. Kuharap anakmu nangis dan minta dibelikan makan, dan kamu membelikannya di warung ini—lalu kita akan menikmati lagi saat bahagia dulu.
Harapan, tinggal harapan. Sampai jam menunjukkan pukul 24.00 aku tak melihat tanda-tanda kehadiranmu. Aku sudah menghabiskan tiga gelas jahe dan satu cangkir kopi, dan satu bungkus kretek filter. Kamu tak hadir sampai warung ini tutup. Aku pulang dengan harapan istri dan anak-anakku di rumah tidak marah.
Malam esoknya aku datang lebih sore, mungkin saja kau enggan keluar malam. Jadi sebelum matahari terbenam aku sudah berpakaian rapi ke warung kopi. Mungkin sore ini kau akan membeli gorengan untuk acara arisan teman-temanmu. Aku menunggumu dengan tenang. Senja menggelincir menjadi hitam dan selalu kelam. Ya, memang benar-benar hitam. Senja menjadi kelam, seperti hatiku saat menunggumu yang tidak datang-datang. Malam semakin malam. Bintang tak satu pun hadir menerangi gelap. Begitu pula suara mahkluk malam. Yang ada hanya suara guyonan orang-orang di pojok sana, sambil meminum minuman seperti kemarin. Baunya sangat menyengat hidungku. Mereka menenggak dengan gelas yang terbuat dari batang bambu.
Aku menunggumu di sini. Aku sungguh menunggumu. Dimana kau sekarang, mengapa kau tak datang-datang. Aku takut, bukan takut pada istriku yang nanti akan memarahiku lagi, tapi aku takut pada rasa takutku sendiri. Mengapa kau tak datang, aku akan menerimamu apa adanya, meskipun sekarang kau datang dengan tubuh keriput. Dengan rasa hormat aku akan menerimamu, sayang. Aku merasa bersalah karena dulu pernah meninggalkanmu, mengingkari janjiku, dan dosa lainnya yang tak bisa kuceritakan lagi. Aku takut kamu semakin membenciku.
Ternyata kau tak datang lagi malam ini. Aku tak akan menyerah. Setiap malam aku akan mengunjungi warung ini, menunggumu. Mungkin kau sesungguhnya tahu aku berada di sini tapi kau tak berani muncul, hanya melihatku dari jauh. Lalu dengan suara sangat pelan berusaha memanggilku. Tapi aku yang duduk sendirian di warung tak mendengar kata apapun darimu. Mungkin juga kau telah berubah jadi kupu-kupu yang selalu hinggap di pojok atap warung. Enggan terbang, kerena kau malu dituduh kupu-kupu malam. Akhirnya kau hanya diam sambil memandang wajahku dari kejauhan. Mungkin juga aku yang tak ingat lagi sekarang seperti apa wajahmu. Apakah sekarang sudah menjadi nenek yang berwajah keriput disana-sini. Rambut keperakan bercongkol tak beraturan. Sehingga aku lupa sama sekali dengan wajahmu. Atau kau yang jualan di warung ini, karena penjual warung memang seorang nenek. Bahkan mungkin aku sendiri telah lupa dengan warung yang dulu selalu kita singgahi, sehingga aku tak pernah melihat kau di sini. Atau mungkin kau yang malu datang kesini.
 Kemungkinan demi kemungkinan datang memberodong otakku. Hal pasti yang mungkin adalah jalan menuju wajahmu sekarang sudah mulai tertutup rapat. Tapi entah kenapa aku masih yakin kamu akan datang kesini malam ini. Aku tunggu saja sampai nanti.
Berharap bintang akan bersinar lebih terang malam ini. Dan kamu datang dengan membawa seraut wajah paling manis di dunia. Seperti ketika pertama bertemu di pantai itu. Saat aku pertama kali menginjakkan kaki di tanah ini. Tanah yang membuat kita lebih menikmati kehidupan dengan sederhana. Tanah yang semakin gersang karena pengeksploitasian yang serakah. Aku bisa merasakan panasnya cintamu seperti panasnya mentari jam sepuluh siang. Seperti panasnya udara yang semakin menyesakkan paru-paru. Cinta kadang begitu sakit.
Tapi mengapa aku masih mencintaimu sampai sekarang. Walau umurku saat ini  sudah tak patut mencintai lagi. Tapi, ah, cinta ini memaksuku selalu mengingat janji-janji dulu yang sekarang menggerogoti hati. Saat kau dan aku membagi kehangatan bersama di suatu malam dingin di warung kopi dan memesan dua gelas teh, rasanya nikmat sekali. Mengapa sekarang kau datang lagi mengganggu mimpiku, padahal sudah kuinjak-injak kenangan itu, sudah kuhapus semuanya. Kenangan pahit yang dulu selalu membuat kita memaksa menikmati sunyi. Dulu memang belum ada yang membawa kita menyaksikan gemerlapnya malam seperti saat ini. Belum ada hape, belum ada alat yang membuat komunikasi kita lancar. Tapi dulu hati kita terasa lebih dekat dari hape.
Kuputuskan kembali pulang dengan membawa sederet kenangan yang semakin erat mencengkeram hati. Menusuknya dengan berbagai mimpi yang tak terpenuhi. Pada lelahnya sepi yang hinggap tak kenal permisi, mengundang kita membaca sepi dan mimpi. Aku langkahkan kaki menyusuri jalan yang telah basah oleh hujan pertama di bulan September. Bau tanah menghapus rinduku pada masa kanak-kanak. Masa yang menggambarkan serbuan kesenangan. Jadi ingin kukembali pada masa kanak-kanak, aku ingin tetap menjadi anak-anak. Tanpa beban, bermain di kala hujan. Waw, betapa kenangan adalah obat mujarab di malam sepi. Aku terus melangkah menuju rumah. Istri dan anak-anakku sudah terlelap. Kubuka pintu pelan-pelan. Aku duduk di ruang tamu sebentar. Memutar lagi kenangan saat kau dan aku sedang asik-asiknya memadu asmara. Pahit, aku meninggalkanmu demi menuruti kemauan ibu. Kau menangis, aku  berjanji akan menulis puisi terakhir dan melukis wajahmu untuk terakhir kali. Tapi sampai sekarang, aku tak pernah menepati janji. Aku tak pernah teringat dengan janji itu. Aku terlalu sibuk mengurus anak istri. Hingga kemarin malam aku tiba-tiba teringat dengan janji yang menggumpal dalam hati dan menjadi kristal-kristal kenangan. Aku teringat kau mengecup keningku terakhir kali. Ah, manis dan pahit berebutan tempat. Saat itu, ah terlalu sedih.
Aku tak tahu, siapa yang mengetuk pintuku malam-malam. Kuharap kau datang. Tanpa pikir panjang aku membuka pintu. Betapa terkejutnya aku saat melihat wajahmu. Aih, aku tak peduli dengan wajahmu. Kau mengajakku lari dari sini. Kau membawakan minuman seperti di warung kopi itu. Kau menyuruhku lekas meminumnya. Aku meminumnya.
###
Malam batuk-batuk. Mendung kedinginan. Angin malas berlari. Hujan memeras keringatnya. Seorang lelaki tua berjalan sendirian menuju warung. Seperti menunggu seseorang. Menunggunya hingga malam larut ditelan dingin pagi yang mengintip malu di ufuk timur.
Karena yang ditunggu tak kunjung datang, dia memutuskan pulang. Kembalilah dia menyusuri dingin malam. Dengan langkah gontai dia berharap bisa menemui seseorang itu di dalam mimpinya—mimpi yang tak ingin dibangunkan.
Tuban, 111007062011

 Pernah dimuat dalam antologi Cerpen My Chemical Romance, Diva Press









Kata yang Hilang



Oleh: Thoni Mukarrom

Suatu kata yang menusuk dada bila didiamkan. Menggempur, menusuki hati bila tak berani mengurainya. Rangkaian kata penyesalan jika tak sempat mengucapkannya. Ah, aku terlalu dini untuk bisa berbicara tentang hati, menjadi cinta.
***
Semilir angin di pagi ini terasa sejuk membelai kulit yang belum terbangun. Mentari mulai meninggi memancarkan sinarnya—terasa begitu hangat, menghapus sejuknya embun yang meleleh perlahan.
Aku telah bosan dengan kehidupan seperti ini, dari bangun sampai tidur lagi tak pernah berubah, selalu begini dan begini. Kutengok bunga yang bersemayam dalam pot kecil hitam itu, uhhh.. Aku semakin cemburu dengan bunga kecil itu, setiap hari kumelihatnya dikelilingi kumbang-kumbang cantik, ada yang sekedar berputar-putar ada juga yang menghisap madu. Ku lihat bunga itu hanya diam saja, sepertinya rela atau memang tak punya daya untuk melawan kumbang-kumbang nakal itu. Aku mulai kasihan melihatnya. Bunga itu semakin layu dan mengering, daunnya satu persatu mulai berguguran.
***
Wajahnya, senyumnya, selalu membuat mataku enggan cepat tidur. Kelebatan bayangnya rajin sekali menghiasi atap kamarku. Gadis itu membuat hatiku luluh-lantah hanya dengan sedikit senyuman manisnya. Aku tak peduli senyumnya itu palsu atau tidak, yang penting bisa membuatku merasa terbang ke angkasa setiap malam.
Dia yang membuat hatiku terasa penuh dengan ribuan bait puisi. Gadis itu memang tidak cantik, wajahnya tidak seperti wajah-wajah artis yang biasa menghiasi layar Televisi. Tapi ia seperti punya suatu magnet yang tersembunyi di balik manis senyumannya, perlahan menarik paksa hati dan pikiranku untuk selalu memikirkannya. Dia adalah temanku sewaktu SMP dulu. Sekarang ia sekolah di SMA favorit di kotaku. Aku sekolah di SMK swasta. Sejak SMP, aku sudah terarik kepadanya. Tapi apa daya, mulutku tak sanggup mengungkapkan apa yang aku rasakan. Semua itu membuatku menderita.
“Uhh.. penyakit apa ini.” Aku frustasi dibuatnya.
Setiap detik, setiap menit, setiap jam, bahkan setiap hari, otakku penuh dengan bayang-bayang wajahnya. Sedang apakah ia disana, sudahkah ia makan, sudahkah ia mandi, menggosok gigi, sholat, sekolah. Rasanya diriku telah dihinggapi suatu penyakit kronis stadium akhir. Sehari tak menerima pesan singkat darinya, serasa dunia menghilang dari kehidupanku. Mungkin aku sudah cukup disebut mengidap penyakit “gila”.
***
Cinta itu diam
Cinta itu buta
Cinta itu malu
Cinta itu aku tak tahu

Masihkah cinta itu
Adakah cinta itu
Banyakkah cinta itu
Satukah cinta itu

Itu cinta bisa membuat bahagia
Itu cinta bisa membuat menangis
Itu cinta bisa membutakan mata
Itu cinta bisa membuat orang gila

Tapi cintakah itu
Itukah cinta
Cinta itukah dia?

Sebuah puisi atau mungkin tulisan tak berarti tentang galaunya hati, tercipta saat malam sepi ini. Saatku telah muak untuk menelponnya, bagaimana tidak kalau jawabannya selalu begini.
 “Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, mohon dicoba beberapa saat lagi,” selalu saja suara seorang perempuan itu yang bicara. Ku coba alternative lain dengan mengirim pesan singkat kepadanya. Tapi hasilnya juga sama, tak ada balasan.

***

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tak terasa sudah tiga bulan tak ada kabar darinya, sudah berbagai macam cara aku lakukan untuk menghubunginya tapi hasilnya tetap nihil. Kucoba bertanya pada tetangganya, katanya sudah pindah beberapa bulan yang lalu. Kucoba lagi tanya kepada teman sekolahnya, mungkin saja dia tahu dimana Asih berada.
“Kamu itu siapa! Kok tanya-tanya Asih sekarang berada dimana, kamu nggak perlu tahu dia ada dimana!” Bicaranya persis seperti burung Kutilang sedang kelaparan.
“Kamu tahu nggak Asih dimana? Aku ini temannya, dan aku sudah tiga bulan ini tidak tahu kabarnya…,” aku memohon kepadanya seperti pengemis yang tidak makan dua hari.
“Aku tidak tahu.” Cetusnya.
“Sekali lagi aku mohon sama kamu? Tolong beri tahu aku, dimana sekarang Asih tinggal? Kamu kan teman dekatnya, pasti tahu dimana keberadaannya.” Kali ini aku memohon seperti pengemis tidak makan tiga hari.
“Kamu ini punya telinga nggak sih, dibilangin aku tidak tahu, ya tidak tahu! Kok maksa gitu!!!” Sambil pergi begitu saja tanpa permisi.

***

Malam semakin larut, hujan telah reda dan rembulan di atas sana perlahan muncul dari balik awan. Suara-suara jangkrik dan burung malam melengkapi nyanyian sepi malam ini.
“Kenapa dulu kau tak mengatakannya langsung, kenapa juga kau tak mau jujur dengan perasaanmu, lihatlah sekarang! Kini cintamu telah jauh pergi meninggalkanmu, jauh dan mungkin tak kembali lagi.” Ada suara yang menghujatku habis-habisan, entah siapa.
“Hai! Siapakah engkau?”
“Ha.. Ha.. Ha.. Kau tak tahu siapa aku, Kau memang benar-benar bodoh!”
“Siapa kau sebenarnya?” Tanyaku penasaran.
“Aku adalah dirimu.”
 “Apa!! Kau adalah diriku? Di mana wujudmu?” Aku semakin penasaran.
“Aku adalah bayanganmu. Dan aku tak bisa melakukan apa-apa, ketika kau melakukan kesalahan, karena aku memang tak punya kuasa untuk itu, karena aku hanyalah bayangan.”
“Pergi kau sekarang! Jangan menggangguku.”
“Baiklah aku akan pergi. Tapi ingat, aku adalah dirimu, meskipun aku pergi aku tetap bersamamu.”
“Persetan Kau!!!” Perlahan suara itu lenyap.
Apakah aku sudah benar-benar gila sekarang. Mungkin aku terlalu banyak melamun. Malam semakin larut, suara makhluk- makhluk kecil itu semakin keras menyanyikan lagu dalam bahasanya sendiri. Mataku sudah tak mampu menahan beban.
Kulihat Asih sedang tersenyum manis, dengan rambut yang dibiarkan terurai begitu saja. Tapi aku kaget mengapa ia menggendong seorang bayi. Setelahku perhatikan bayi itu berjenis kelamin perempuan. Apa benar itu Asih, kusemakin mendekat. Ternyata benar itu dia. Dia melihatku sambil tertawa terbahak-bahak. Perlahan dia membuka pakaiannya. Lalu  matanya mengeluarkan darah. Perutnya membesar. Berubah menjadi monster.
“Astaghfirullah…,” aku mendadak terjaga.
Gara-gara mimpi itu, aku tak bisa tidur lagi. Mataku seolah ada lem yang membuatnya enggan terpejam. Jam menunjukkan pukul 04:00, kucoba lagi memejamkannya. Tetap tidak bisa. Adzan subuh berkumandang. Sehabis sholat, mataku terasa berat sekali, beberapa saat kemudian aku tertidur.
“Bangun-bangun!! Sudah jam berapa ini, nanti terlambat sekolah, dasar anak pemalas apa yang kau lakukan tadi malam, makanya jangan suka lihat bola. Cepat bangun, kusiram dengan air lho…,” suara ibuku seperti petir menyambar dan menghancurkan semua mimpi-mimpiku.
“I,,,iya bu…” Kubuka mataku perlahan.
 “Ayo cepat bangun.”
Perutku sakit sekali, aku langsung bergegas masuk toilet. Tak lama kemudian suara ibu kembali memanggil.
“Hai apa yang kau lakukan, lihat sudah jam tujuh.”
“Iya Buk, perutku sakit sekali...,” entah apa yang ada di dalam perutku, apa seperti ini rasanya seorang wanita melahirkan anak atau lebih sakit lagi. Sungguh, ini sakit sekali. Aku termenung sejenak. Tuhan memang tidak pernah salah, Dia memberi ganjaran surga bagi wanita yang meninggal dunia karena melahirkan anak. Dulu guru ngajiku juga pernah bilang: salah satu ciri orang mati syahid adalah orang yang mati karena sakit perut.
“Alasan saja kamu itu, cepetan sudah siang.” Suara ibu membuyarkan lamunan.
“Beneran Buk, mungkin aku masuk angin.”
 “Ya sudah, ayo ke Rumah Sakit biar sembuh.”
“Nggak mau, entar dikasih minyak kayu putih juga sembuh.”
Aku langsung melumuri perutku dengan minyak kayu putih. Agak sedikit reda memang, tapi rasa sakit itu kembali datang beberapa menit kemudian. Biasanya kalau aku sakit perut, sudah bisa diatasi dengan minyak kayu putih. Tapi sekarang tidak mempan lagi, jangan-jangan aku punya penyakit lain.
Sebenarnya aku malas sekali pergi ke Rumah Sakit, maklum aku termasuk tipe cowok yang tidak suka disuntik, lebih tepatnya tidak mau disuntik. Jangankan disuntik mencium bau obat-obatan di Rumah Sakit  saja, aku sudah ingin muntah. Tapi aku tidak bisa menolak permintaan ibu, nanti aku dikira berbohong, jadi terpaksa aku menuruti permintaan beliau.
 “Ayo cepat ganti baju, jangan sampai kesiangan, nanti banyak yang ngantri.  Malahan kamu tidak jadi diperiksa”
 “Iya Buk, ini sudah ganti baju.”
***
Di Rumah Sakit ini banyak sekali bau obat-obatan yang menyengat—seperti bau mayat. Aku sungguh tersiksa dengan semua ini. Apalagi perawatnya terlihat seperti malaikat pencabut nyawa. Kelihatannya penyakitku tambah parah. Aku berjalan perlahan menuju loket antrian, banyak sekali orang-orang yang sedang mengantri untuk diobati atau mengantri dicabut nyawanya karena keterlambatan penanganan.
No. 27 inilah nomor antrianku. Giliranku masih lama, sekarang baru no. 11 yang dipanggil. Mataku seperti menangkap sesuatu yang tak asing, tepat di depanku berjalan seorang wanita muda memakai daster bersama dengan seorang wanita setengah baya, mungkin itu ibunya—sedang antri tepat dibelakangku. Tidak salah lagi dia adalah Asih yang selama ini kucari-cari, dia terlihat memegang perutnya, apa dia juga masuk angin atau sakit perut. Kucoba memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.
 “Assalamualaikum…Dik Asih, kamu sakit apa? Sekarang kamu pindah kemana kok tidak ada kabarnya sama sekali?” Pertanyaanku mengagetkannya.
 “Eh mm..ka..kamu, nggak kok aku cuma sakit biasa aja.” Berbicaranya seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
 “Lho tadi kok pegang perut, apa kamu sakit perut ya?” Dia malah langsung pergi ke toilet, kelihatannya mau muntah.
Setelah kudesak dengan berbagai pertanyaan akhirnya dia mau menceritakan tentang keadaannya sekarang, tentang kenapa dia pindah rumah dll. Betapa remuk dan hancur tercabik-cabik seluruh isi dalam hati, ketika dia mengatakan kalau sekarang hamil dan sudah empat bulan.
Bertambah hancur lagi hati ini, seakan ada benda tumpul yang dipukulkan tepat di jantung hati, ketika dia mengaku yang menyebabkan kehamilannya adalah pacarnya sendiri dan tidak mau bertanggungjawab dengan perbuatanya itu. Ia hanya memberi uang beberapa juta untuk biaya pengguguran dan uang tutup mulut. Asih diusir dari desanya, karena tetangganya tidak mau ada orang merusak nama baik desa mereka. Sampai sekarang tetangga dan teman Asih masih merahasiakan tentang tragedi yang menimpa Asih tersebut. Hingga Asih mau menceritakannya sendiri kepadaku saat ini, ia juga memintaku untuk tidak menceritakannya kepada orang lain. Asih tidak ingin aibnya menjadi bahan gosip semua orang.
Perlahan ada bayangan hitam menyekap separuh isi otakku, mengingatkan akan kebodohanku dulu, yang tak pernah berani mengungkapkan cinta kepadanya. Sekarang semua sudah berlalu, bunga yang dulu membawa harum mewangi kini tinggal seonggok tanaman kecil tak berguna, kumbang telah menghisap seluruh madunya dan menyisakan duri yang menusuk hati.
“Dimana kata-katamu dulu. Kata-kata yang akan Kau ungkapkan kepadanya. Apakah Kau menyesal melihatnya seperti ini? Dasar lelaki pengecut, tak berani mengungkapkan kata cintamu, dimana bait-bait indah puisimu itu!! Apakah ikut hilang bersama kesuciannya? Dimana kau letakkan kejantananmu sebagai lelaki? Apakah kelaminmu berubah menjadi vagina?”  Bayangan itu menghujaniku pertanyaan, hingga membuat mulut tak punya kuasa lagi untuk bicara, membuat jantung berdetak semakin keras. Semua saraf motorik terkejut hingga akhirnya otakku berhenti bekerja. Dunia menjadi gelap.
Kubuka perlahan mataku, di pergelangan tangan ada selang yang melingkarinya. Mulutku ada sesuatu, sepertinya aku mau dibawa menyelam ke dasar laut. Terlihat ada beberapa malaikat pencabut nyawa berbaju putih sedang lalu lalang tepat di depanku. Asih tertidur tepat di bahu kananku dan ibuku dan ibunya tertidur tepat berada di bahu kiriku. Kucoba menggerakkan semua organ tubuhku, usahaku sia-sia. Malaikat pencabut nyawa mendekatiku perlahan. Asih tiba-tiba terbangun.
“Mas, bangun Mas, aku ingin mengatakan sesuatu. Cepat bangun Mas, aku menyesal selama ini tidak menghiraukan Mas. Benar Mas, sumpah!! Aku sungguh menyesal. Puisi yang selalu Mas kirimkan kepadaku masih kusimpan. Aku tahu Mas mencintaiku, maafkan aku yang telah termakan rayuan dari lelaki brengsek itu. Mas, aku sungguh mencintaimu...,” suara Asih timbul tenggelam, aku tidak begitu jelas mendengarnya, tapi kata-kata terakhirnya jelas sekali.

Pernah dimuat Majalah Akbar