Oleh: Thoni Mukarrom
Suatu kata yang menusuk dada bila didiamkan.
Menggempur, menusuki hati bila tak berani mengurainya. Rangkaian kata
penyesalan jika tak sempat mengucapkannya. Ah, aku terlalu dini untuk bisa
berbicara tentang hati, menjadi cinta.
***
Semilir angin di pagi ini terasa sejuk membelai
kulit yang belum terbangun. Mentari mulai meninggi memancarkan sinarnya—terasa
begitu hangat, menghapus sejuknya embun yang meleleh perlahan.
Aku telah bosan dengan
kehidupan seperti ini, dari bangun sampai tidur lagi tak pernah berubah, selalu
begini dan begini. Kutengok bunga yang bersemayam dalam pot kecil hitam itu,
uhhh.. Aku semakin cemburu dengan bunga kecil itu, setiap hari kumelihatnya
dikelilingi kumbang-kumbang cantik, ada yang sekedar berputar-putar ada juga
yang menghisap madu. Ku lihat bunga itu hanya diam saja, sepertinya rela atau
memang tak punya daya untuk melawan kumbang-kumbang nakal itu. Aku mulai
kasihan melihatnya. Bunga itu semakin layu dan mengering, daunnya satu persatu
mulai berguguran.
***
Wajahnya, senyumnya, selalu membuat mataku enggan
cepat tidur. Kelebatan bayangnya rajin sekali menghiasi atap kamarku. Gadis itu
membuat hatiku luluh-lantah hanya dengan sedikit senyuman manisnya. Aku tak
peduli senyumnya itu palsu atau tidak, yang penting bisa membuatku merasa
terbang ke angkasa setiap malam.
Dia yang membuat hatiku terasa
penuh dengan ribuan bait puisi. Gadis itu memang tidak cantik, wajahnya tidak
seperti wajah-wajah artis yang biasa menghiasi layar Televisi. Tapi ia seperti
punya suatu magnet yang tersembunyi di balik manis senyumannya, perlahan
menarik paksa hati dan pikiranku untuk selalu memikirkannya. Dia adalah temanku
sewaktu SMP dulu. Sekarang ia sekolah di SMA favorit di kotaku. Aku sekolah di
SMK swasta. Sejak SMP, aku sudah terarik kepadanya. Tapi apa daya, mulutku tak
sanggup mengungkapkan apa yang aku rasakan. Semua itu membuatku menderita.
“Uhh.. penyakit apa ini.” Aku
frustasi dibuatnya.
Setiap detik, setiap menit,
setiap jam, bahkan setiap hari, otakku penuh dengan bayang-bayang wajahnya.
Sedang apakah ia disana, sudahkah ia makan, sudahkah ia mandi, menggosok gigi,
sholat, sekolah. Rasanya diriku telah dihinggapi suatu penyakit kronis stadium
akhir. Sehari tak menerima pesan singkat darinya, serasa dunia menghilang dari
kehidupanku. Mungkin aku sudah cukup disebut mengidap penyakit “gila”.
***
Cinta itu diam
Cinta itu buta
Cinta itu malu
Cinta itu aku tak tahu
Masihkah cinta itu
Adakah cinta itu
Banyakkah cinta itu
Satukah cinta itu
Itu cinta bisa membuat bahagia
Itu cinta bisa membuat
menangis
Itu cinta bisa membutakan mata
Itu cinta bisa membuat orang
gila
Tapi cintakah itu
Itukah cinta
Cinta itukah dia?
Sebuah puisi atau mungkin
tulisan tak berarti tentang galaunya hati, tercipta saat malam sepi ini. Saatku
telah muak untuk menelponnya, bagaimana tidak kalau jawabannya selalu begini.
“Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif
atau berada di luar jangkauan, mohon dicoba beberapa saat lagi,” selalu saja
suara seorang perempuan itu yang bicara. Ku coba alternative lain dengan
mengirim pesan singkat kepadanya. Tapi hasilnya juga sama, tak ada balasan.
***
Detik berganti menit, menit berganti jam, jam
berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tak terasa sudah
tiga bulan tak ada kabar darinya, sudah berbagai macam cara aku lakukan untuk
menghubunginya tapi hasilnya tetap nihil. Kucoba bertanya pada tetangganya,
katanya sudah pindah beberapa bulan yang lalu. Kucoba lagi tanya kepada teman sekolahnya, mungkin
saja dia tahu dimana Asih berada.
“Kamu itu siapa! Kok tanya-tanya Asih sekarang berada
dimana, kamu nggak perlu tahu dia ada dimana!” Bicaranya persis seperti burung
Kutilang sedang kelaparan.
“Kamu tahu nggak Asih dimana?
Aku ini temannya, dan aku sudah tiga bulan ini tidak tahu kabarnya…,” aku
memohon kepadanya seperti pengemis yang tidak makan dua hari.
“Aku tidak tahu.” Cetusnya.
“Sekali lagi aku mohon sama
kamu? Tolong beri tahu aku, dimana sekarang Asih tinggal? Kamu kan teman
dekatnya, pasti tahu dimana keberadaannya.” Kali ini aku memohon seperti
pengemis tidak makan tiga hari.
“Kamu ini punya telinga nggak
sih, dibilangin aku tidak tahu, ya tidak tahu! Kok maksa gitu!!!” Sambil pergi
begitu saja tanpa permisi.
***
Malam semakin larut, hujan
telah reda dan rembulan di atas sana perlahan muncul dari balik awan.
Suara-suara jangkrik dan burung malam melengkapi nyanyian sepi malam ini.
“Kenapa dulu kau tak
mengatakannya langsung, kenapa juga kau tak mau jujur dengan perasaanmu,
lihatlah sekarang! Kini cintamu telah jauh pergi meninggalkanmu, jauh dan
mungkin tak kembali lagi.” Ada suara yang menghujatku habis-habisan, entah
siapa.
“Hai! Siapakah engkau?”
“Ha.. Ha.. Ha.. Kau tak tahu
siapa aku, Kau memang benar-benar bodoh!”
“Siapa kau sebenarnya?”
Tanyaku penasaran.
“Aku adalah dirimu.”
“Apa!! Kau adalah diriku? Di mana wujudmu?” Aku semakin penasaran.
“Aku adalah bayanganmu. Dan
aku tak bisa melakukan apa-apa, ketika kau melakukan kesalahan, karena aku
memang tak punya kuasa untuk itu, karena aku hanyalah bayangan.”
“Pergi kau sekarang! Jangan
menggangguku.”
“Baiklah aku akan pergi. Tapi
ingat, aku adalah dirimu, meskipun aku pergi aku tetap bersamamu.”
“Persetan Kau!!!” Perlahan
suara itu lenyap.
Apakah aku sudah benar-benar
gila sekarang. Mungkin aku terlalu banyak melamun. Malam semakin larut, suara
makhluk- makhluk kecil itu semakin keras menyanyikan lagu dalam bahasanya
sendiri. Mataku sudah tak mampu menahan beban.
Kulihat Asih sedang tersenyum
manis, dengan rambut yang dibiarkan terurai begitu saja. Tapi aku kaget mengapa
ia menggendong seorang bayi. Setelahku perhatikan bayi itu berjenis kelamin
perempuan. Apa benar itu Asih, kusemakin mendekat. Ternyata benar itu dia. Dia
melihatku sambil tertawa terbahak-bahak. Perlahan dia membuka pakaiannya.
Lalu matanya mengeluarkan darah.
Perutnya membesar. Berubah menjadi monster.
“Astaghfirullah…,” aku
mendadak terjaga.
Gara-gara mimpi itu, aku tak
bisa tidur lagi. Mataku seolah ada lem yang membuatnya enggan terpejam. Jam
menunjukkan pukul 04:00, kucoba lagi memejamkannya. Tetap tidak bisa. Adzan
subuh berkumandang. Sehabis
sholat, mataku terasa berat sekali, beberapa saat kemudian aku tertidur.
“Bangun-bangun!! Sudah jam berapa
ini, nanti terlambat sekolah, dasar anak pemalas apa yang kau lakukan tadi
malam, makanya jangan suka lihat bola. Cepat bangun, kusiram dengan air lho…,”
suara ibuku seperti petir menyambar dan menghancurkan semua mimpi-mimpiku.
“I,,,iya bu…” Kubuka mataku
perlahan.
“Ayo cepat bangun.”
Perutku sakit sekali, aku
langsung bergegas masuk toilet. Tak lama kemudian suara ibu kembali memanggil.
“Hai apa yang kau lakukan,
lihat sudah jam tujuh.”
“Iya Buk, perutku sakit
sekali...,” entah apa yang ada di dalam perutku, apa seperti ini rasanya
seorang wanita melahirkan anak atau lebih sakit lagi. Sungguh, ini sakit
sekali. Aku termenung sejenak. Tuhan memang tidak pernah salah, Dia memberi
ganjaran surga bagi wanita yang meninggal dunia karena melahirkan anak. Dulu
guru ngajiku juga pernah bilang: salah satu ciri orang mati syahid adalah orang
yang mati karena sakit perut.
“Alasan saja kamu itu, cepetan
sudah siang.” Suara ibu membuyarkan lamunan.
“Beneran Buk, mungkin aku
masuk angin.”
“Ya sudah, ayo ke Rumah Sakit biar sembuh.”
“Nggak mau, entar dikasih
minyak kayu putih juga sembuh.”
Aku langsung melumuri perutku
dengan minyak kayu putih. Agak sedikit reda memang, tapi rasa sakit itu kembali
datang beberapa menit kemudian. Biasanya kalau aku sakit perut, sudah bisa
diatasi dengan minyak kayu putih. Tapi sekarang tidak mempan lagi,
jangan-jangan aku punya penyakit lain.
Sebenarnya aku malas sekali
pergi ke Rumah Sakit, maklum aku termasuk tipe cowok yang tidak suka disuntik,
lebih tepatnya tidak mau disuntik. Jangankan disuntik mencium bau obat-obatan
di Rumah Sakit saja, aku sudah ingin
muntah. Tapi aku tidak bisa menolak permintaan ibu, nanti aku dikira berbohong,
jadi terpaksa aku menuruti permintaan beliau.
“Ayo cepat ganti baju, jangan sampai
kesiangan, nanti banyak yang ngantri.
Malahan kamu tidak jadi diperiksa”
“Iya Buk, ini sudah ganti baju.”
***
Di Rumah Sakit ini banyak sekali bau obat-obatan
yang menyengat—seperti bau mayat. Aku sungguh tersiksa dengan semua ini.
Apalagi perawatnya terlihat seperti malaikat pencabut nyawa. Kelihatannya
penyakitku tambah parah. Aku berjalan perlahan menuju loket antrian, banyak
sekali orang-orang yang sedang mengantri untuk diobati atau mengantri dicabut
nyawanya karena keterlambatan penanganan.
No. 27 inilah nomor antrianku.
Giliranku masih lama, sekarang baru no. 11 yang dipanggil. Mataku seperti
menangkap sesuatu yang tak asing, tepat di depanku berjalan seorang wanita muda
memakai daster bersama dengan seorang wanita setengah baya, mungkin itu
ibunya—sedang antri tepat dibelakangku. Tidak salah lagi dia adalah Asih yang
selama ini kucari-cari, dia terlihat memegang perutnya, apa dia juga masuk
angin atau sakit perut. Kucoba memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.
“Assalamualaikum…Dik Asih, kamu sakit apa? Sekarang
kamu pindah kemana kok tidak ada kabarnya sama sekali?” Pertanyaanku
mengagetkannya.
“Eh mm..ka..kamu, nggak kok aku cuma sakit
biasa aja.” Berbicaranya seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
“Lho tadi kok pegang perut, apa kamu sakit perut ya?” Dia malah langsung
pergi ke toilet, kelihatannya mau muntah.
Setelah kudesak dengan
berbagai pertanyaan akhirnya dia mau menceritakan tentang keadaannya sekarang,
tentang kenapa dia pindah rumah dll. Betapa remuk dan hancur tercabik-cabik
seluruh isi dalam hati, ketika dia mengatakan kalau sekarang hamil dan sudah
empat bulan.
Bertambah hancur lagi hati
ini, seakan ada benda tumpul yang dipukulkan tepat di jantung hati, ketika dia
mengaku yang menyebabkan kehamilannya adalah pacarnya sendiri dan tidak mau bertanggungjawab
dengan perbuatanya itu. Ia hanya memberi uang beberapa juta untuk biaya
pengguguran dan uang tutup mulut. Asih diusir dari desanya, karena tetangganya tidak mau ada orang merusak
nama baik desa mereka. Sampai sekarang tetangga dan teman Asih masih
merahasiakan tentang tragedi yang menimpa Asih tersebut. Hingga Asih mau
menceritakannya sendiri kepadaku saat ini, ia juga memintaku untuk tidak
menceritakannya kepada orang lain. Asih tidak ingin aibnya menjadi bahan gosip
semua orang.
Perlahan ada bayangan hitam
menyekap separuh isi otakku, mengingatkan akan kebodohanku dulu, yang tak
pernah berani mengungkapkan cinta kepadanya. Sekarang semua sudah berlalu,
bunga yang dulu membawa harum mewangi kini tinggal seonggok tanaman kecil tak
berguna, kumbang telah menghisap seluruh madunya dan menyisakan duri yang
menusuk hati.
“Dimana kata-katamu dulu.
Kata-kata yang akan Kau ungkapkan kepadanya. Apakah Kau menyesal melihatnya
seperti ini? Dasar lelaki pengecut, tak berani mengungkapkan kata cintamu, dimana
bait-bait indah puisimu itu!! Apakah ikut hilang bersama kesuciannya? Dimana
kau letakkan kejantananmu sebagai lelaki? Apakah kelaminmu berubah menjadi
vagina?” Bayangan itu menghujaniku
pertanyaan, hingga membuat mulut tak punya kuasa lagi untuk bicara, membuat
jantung berdetak semakin keras. Semua saraf motorik terkejut hingga akhirnya
otakku berhenti bekerja. Dunia menjadi gelap.
Kubuka perlahan mataku, di
pergelangan tangan ada selang yang melingkarinya. Mulutku ada sesuatu,
sepertinya aku mau dibawa menyelam ke dasar laut. Terlihat ada beberapa
malaikat pencabut nyawa berbaju putih sedang lalu lalang tepat di depanku. Asih tertidur tepat di bahu kananku dan
ibuku dan ibunya tertidur tepat berada di bahu kiriku. Kucoba menggerakkan semua organ tubuhku, usahaku
sia-sia. Malaikat pencabut nyawa mendekatiku perlahan. Asih tiba-tiba
terbangun.
“Mas, bangun Mas, aku ingin
mengatakan sesuatu. Cepat
bangun Mas, aku menyesal selama ini tidak menghiraukan Mas. Benar Mas, sumpah!!
Aku sungguh menyesal. Puisi yang selalu Mas kirimkan kepadaku masih kusimpan.
Aku tahu Mas mencintaiku, maafkan aku yang telah termakan rayuan dari lelaki
brengsek itu. Mas, aku sungguh mencintaimu...,” suara Asih timbul tenggelam,
aku tidak begitu jelas mendengarnya, tapi kata-kata terakhirnya jelas sekali.
Pernah dimuat Majalah Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar