Senin, 23 Maret 2015

Kata yang Hilang



Oleh: Thoni Mukarrom

Suatu kata yang menusuk dada bila didiamkan. Menggempur, menusuki hati bila tak berani mengurainya. Rangkaian kata penyesalan jika tak sempat mengucapkannya. Ah, aku terlalu dini untuk bisa berbicara tentang hati, menjadi cinta.
***
Semilir angin di pagi ini terasa sejuk membelai kulit yang belum terbangun. Mentari mulai meninggi memancarkan sinarnya—terasa begitu hangat, menghapus sejuknya embun yang meleleh perlahan.
Aku telah bosan dengan kehidupan seperti ini, dari bangun sampai tidur lagi tak pernah berubah, selalu begini dan begini. Kutengok bunga yang bersemayam dalam pot kecil hitam itu, uhhh.. Aku semakin cemburu dengan bunga kecil itu, setiap hari kumelihatnya dikelilingi kumbang-kumbang cantik, ada yang sekedar berputar-putar ada juga yang menghisap madu. Ku lihat bunga itu hanya diam saja, sepertinya rela atau memang tak punya daya untuk melawan kumbang-kumbang nakal itu. Aku mulai kasihan melihatnya. Bunga itu semakin layu dan mengering, daunnya satu persatu mulai berguguran.
***
Wajahnya, senyumnya, selalu membuat mataku enggan cepat tidur. Kelebatan bayangnya rajin sekali menghiasi atap kamarku. Gadis itu membuat hatiku luluh-lantah hanya dengan sedikit senyuman manisnya. Aku tak peduli senyumnya itu palsu atau tidak, yang penting bisa membuatku merasa terbang ke angkasa setiap malam.
Dia yang membuat hatiku terasa penuh dengan ribuan bait puisi. Gadis itu memang tidak cantik, wajahnya tidak seperti wajah-wajah artis yang biasa menghiasi layar Televisi. Tapi ia seperti punya suatu magnet yang tersembunyi di balik manis senyumannya, perlahan menarik paksa hati dan pikiranku untuk selalu memikirkannya. Dia adalah temanku sewaktu SMP dulu. Sekarang ia sekolah di SMA favorit di kotaku. Aku sekolah di SMK swasta. Sejak SMP, aku sudah terarik kepadanya. Tapi apa daya, mulutku tak sanggup mengungkapkan apa yang aku rasakan. Semua itu membuatku menderita.
“Uhh.. penyakit apa ini.” Aku frustasi dibuatnya.
Setiap detik, setiap menit, setiap jam, bahkan setiap hari, otakku penuh dengan bayang-bayang wajahnya. Sedang apakah ia disana, sudahkah ia makan, sudahkah ia mandi, menggosok gigi, sholat, sekolah. Rasanya diriku telah dihinggapi suatu penyakit kronis stadium akhir. Sehari tak menerima pesan singkat darinya, serasa dunia menghilang dari kehidupanku. Mungkin aku sudah cukup disebut mengidap penyakit “gila”.
***
Cinta itu diam
Cinta itu buta
Cinta itu malu
Cinta itu aku tak tahu

Masihkah cinta itu
Adakah cinta itu
Banyakkah cinta itu
Satukah cinta itu

Itu cinta bisa membuat bahagia
Itu cinta bisa membuat menangis
Itu cinta bisa membutakan mata
Itu cinta bisa membuat orang gila

Tapi cintakah itu
Itukah cinta
Cinta itukah dia?

Sebuah puisi atau mungkin tulisan tak berarti tentang galaunya hati, tercipta saat malam sepi ini. Saatku telah muak untuk menelponnya, bagaimana tidak kalau jawabannya selalu begini.
 “Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, mohon dicoba beberapa saat lagi,” selalu saja suara seorang perempuan itu yang bicara. Ku coba alternative lain dengan mengirim pesan singkat kepadanya. Tapi hasilnya juga sama, tak ada balasan.

***

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tak terasa sudah tiga bulan tak ada kabar darinya, sudah berbagai macam cara aku lakukan untuk menghubunginya tapi hasilnya tetap nihil. Kucoba bertanya pada tetangganya, katanya sudah pindah beberapa bulan yang lalu. Kucoba lagi tanya kepada teman sekolahnya, mungkin saja dia tahu dimana Asih berada.
“Kamu itu siapa! Kok tanya-tanya Asih sekarang berada dimana, kamu nggak perlu tahu dia ada dimana!” Bicaranya persis seperti burung Kutilang sedang kelaparan.
“Kamu tahu nggak Asih dimana? Aku ini temannya, dan aku sudah tiga bulan ini tidak tahu kabarnya…,” aku memohon kepadanya seperti pengemis yang tidak makan dua hari.
“Aku tidak tahu.” Cetusnya.
“Sekali lagi aku mohon sama kamu? Tolong beri tahu aku, dimana sekarang Asih tinggal? Kamu kan teman dekatnya, pasti tahu dimana keberadaannya.” Kali ini aku memohon seperti pengemis tidak makan tiga hari.
“Kamu ini punya telinga nggak sih, dibilangin aku tidak tahu, ya tidak tahu! Kok maksa gitu!!!” Sambil pergi begitu saja tanpa permisi.

***

Malam semakin larut, hujan telah reda dan rembulan di atas sana perlahan muncul dari balik awan. Suara-suara jangkrik dan burung malam melengkapi nyanyian sepi malam ini.
“Kenapa dulu kau tak mengatakannya langsung, kenapa juga kau tak mau jujur dengan perasaanmu, lihatlah sekarang! Kini cintamu telah jauh pergi meninggalkanmu, jauh dan mungkin tak kembali lagi.” Ada suara yang menghujatku habis-habisan, entah siapa.
“Hai! Siapakah engkau?”
“Ha.. Ha.. Ha.. Kau tak tahu siapa aku, Kau memang benar-benar bodoh!”
“Siapa kau sebenarnya?” Tanyaku penasaran.
“Aku adalah dirimu.”
 “Apa!! Kau adalah diriku? Di mana wujudmu?” Aku semakin penasaran.
“Aku adalah bayanganmu. Dan aku tak bisa melakukan apa-apa, ketika kau melakukan kesalahan, karena aku memang tak punya kuasa untuk itu, karena aku hanyalah bayangan.”
“Pergi kau sekarang! Jangan menggangguku.”
“Baiklah aku akan pergi. Tapi ingat, aku adalah dirimu, meskipun aku pergi aku tetap bersamamu.”
“Persetan Kau!!!” Perlahan suara itu lenyap.
Apakah aku sudah benar-benar gila sekarang. Mungkin aku terlalu banyak melamun. Malam semakin larut, suara makhluk- makhluk kecil itu semakin keras menyanyikan lagu dalam bahasanya sendiri. Mataku sudah tak mampu menahan beban.
Kulihat Asih sedang tersenyum manis, dengan rambut yang dibiarkan terurai begitu saja. Tapi aku kaget mengapa ia menggendong seorang bayi. Setelahku perhatikan bayi itu berjenis kelamin perempuan. Apa benar itu Asih, kusemakin mendekat. Ternyata benar itu dia. Dia melihatku sambil tertawa terbahak-bahak. Perlahan dia membuka pakaiannya. Lalu  matanya mengeluarkan darah. Perutnya membesar. Berubah menjadi monster.
“Astaghfirullah…,” aku mendadak terjaga.
Gara-gara mimpi itu, aku tak bisa tidur lagi. Mataku seolah ada lem yang membuatnya enggan terpejam. Jam menunjukkan pukul 04:00, kucoba lagi memejamkannya. Tetap tidak bisa. Adzan subuh berkumandang. Sehabis sholat, mataku terasa berat sekali, beberapa saat kemudian aku tertidur.
“Bangun-bangun!! Sudah jam berapa ini, nanti terlambat sekolah, dasar anak pemalas apa yang kau lakukan tadi malam, makanya jangan suka lihat bola. Cepat bangun, kusiram dengan air lho…,” suara ibuku seperti petir menyambar dan menghancurkan semua mimpi-mimpiku.
“I,,,iya bu…” Kubuka mataku perlahan.
 “Ayo cepat bangun.”
Perutku sakit sekali, aku langsung bergegas masuk toilet. Tak lama kemudian suara ibu kembali memanggil.
“Hai apa yang kau lakukan, lihat sudah jam tujuh.”
“Iya Buk, perutku sakit sekali...,” entah apa yang ada di dalam perutku, apa seperti ini rasanya seorang wanita melahirkan anak atau lebih sakit lagi. Sungguh, ini sakit sekali. Aku termenung sejenak. Tuhan memang tidak pernah salah, Dia memberi ganjaran surga bagi wanita yang meninggal dunia karena melahirkan anak. Dulu guru ngajiku juga pernah bilang: salah satu ciri orang mati syahid adalah orang yang mati karena sakit perut.
“Alasan saja kamu itu, cepetan sudah siang.” Suara ibu membuyarkan lamunan.
“Beneran Buk, mungkin aku masuk angin.”
 “Ya sudah, ayo ke Rumah Sakit biar sembuh.”
“Nggak mau, entar dikasih minyak kayu putih juga sembuh.”
Aku langsung melumuri perutku dengan minyak kayu putih. Agak sedikit reda memang, tapi rasa sakit itu kembali datang beberapa menit kemudian. Biasanya kalau aku sakit perut, sudah bisa diatasi dengan minyak kayu putih. Tapi sekarang tidak mempan lagi, jangan-jangan aku punya penyakit lain.
Sebenarnya aku malas sekali pergi ke Rumah Sakit, maklum aku termasuk tipe cowok yang tidak suka disuntik, lebih tepatnya tidak mau disuntik. Jangankan disuntik mencium bau obat-obatan di Rumah Sakit  saja, aku sudah ingin muntah. Tapi aku tidak bisa menolak permintaan ibu, nanti aku dikira berbohong, jadi terpaksa aku menuruti permintaan beliau.
 “Ayo cepat ganti baju, jangan sampai kesiangan, nanti banyak yang ngantri.  Malahan kamu tidak jadi diperiksa”
 “Iya Buk, ini sudah ganti baju.”
***
Di Rumah Sakit ini banyak sekali bau obat-obatan yang menyengat—seperti bau mayat. Aku sungguh tersiksa dengan semua ini. Apalagi perawatnya terlihat seperti malaikat pencabut nyawa. Kelihatannya penyakitku tambah parah. Aku berjalan perlahan menuju loket antrian, banyak sekali orang-orang yang sedang mengantri untuk diobati atau mengantri dicabut nyawanya karena keterlambatan penanganan.
No. 27 inilah nomor antrianku. Giliranku masih lama, sekarang baru no. 11 yang dipanggil. Mataku seperti menangkap sesuatu yang tak asing, tepat di depanku berjalan seorang wanita muda memakai daster bersama dengan seorang wanita setengah baya, mungkin itu ibunya—sedang antri tepat dibelakangku. Tidak salah lagi dia adalah Asih yang selama ini kucari-cari, dia terlihat memegang perutnya, apa dia juga masuk angin atau sakit perut. Kucoba memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.
 “Assalamualaikum…Dik Asih, kamu sakit apa? Sekarang kamu pindah kemana kok tidak ada kabarnya sama sekali?” Pertanyaanku mengagetkannya.
 “Eh mm..ka..kamu, nggak kok aku cuma sakit biasa aja.” Berbicaranya seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
 “Lho tadi kok pegang perut, apa kamu sakit perut ya?” Dia malah langsung pergi ke toilet, kelihatannya mau muntah.
Setelah kudesak dengan berbagai pertanyaan akhirnya dia mau menceritakan tentang keadaannya sekarang, tentang kenapa dia pindah rumah dll. Betapa remuk dan hancur tercabik-cabik seluruh isi dalam hati, ketika dia mengatakan kalau sekarang hamil dan sudah empat bulan.
Bertambah hancur lagi hati ini, seakan ada benda tumpul yang dipukulkan tepat di jantung hati, ketika dia mengaku yang menyebabkan kehamilannya adalah pacarnya sendiri dan tidak mau bertanggungjawab dengan perbuatanya itu. Ia hanya memberi uang beberapa juta untuk biaya pengguguran dan uang tutup mulut. Asih diusir dari desanya, karena tetangganya tidak mau ada orang merusak nama baik desa mereka. Sampai sekarang tetangga dan teman Asih masih merahasiakan tentang tragedi yang menimpa Asih tersebut. Hingga Asih mau menceritakannya sendiri kepadaku saat ini, ia juga memintaku untuk tidak menceritakannya kepada orang lain. Asih tidak ingin aibnya menjadi bahan gosip semua orang.
Perlahan ada bayangan hitam menyekap separuh isi otakku, mengingatkan akan kebodohanku dulu, yang tak pernah berani mengungkapkan cinta kepadanya. Sekarang semua sudah berlalu, bunga yang dulu membawa harum mewangi kini tinggal seonggok tanaman kecil tak berguna, kumbang telah menghisap seluruh madunya dan menyisakan duri yang menusuk hati.
“Dimana kata-katamu dulu. Kata-kata yang akan Kau ungkapkan kepadanya. Apakah Kau menyesal melihatnya seperti ini? Dasar lelaki pengecut, tak berani mengungkapkan kata cintamu, dimana bait-bait indah puisimu itu!! Apakah ikut hilang bersama kesuciannya? Dimana kau letakkan kejantananmu sebagai lelaki? Apakah kelaminmu berubah menjadi vagina?”  Bayangan itu menghujaniku pertanyaan, hingga membuat mulut tak punya kuasa lagi untuk bicara, membuat jantung berdetak semakin keras. Semua saraf motorik terkejut hingga akhirnya otakku berhenti bekerja. Dunia menjadi gelap.
Kubuka perlahan mataku, di pergelangan tangan ada selang yang melingkarinya. Mulutku ada sesuatu, sepertinya aku mau dibawa menyelam ke dasar laut. Terlihat ada beberapa malaikat pencabut nyawa berbaju putih sedang lalu lalang tepat di depanku. Asih tertidur tepat di bahu kananku dan ibuku dan ibunya tertidur tepat berada di bahu kiriku. Kucoba menggerakkan semua organ tubuhku, usahaku sia-sia. Malaikat pencabut nyawa mendekatiku perlahan. Asih tiba-tiba terbangun.
“Mas, bangun Mas, aku ingin mengatakan sesuatu. Cepat bangun Mas, aku menyesal selama ini tidak menghiraukan Mas. Benar Mas, sumpah!! Aku sungguh menyesal. Puisi yang selalu Mas kirimkan kepadaku masih kusimpan. Aku tahu Mas mencintaiku, maafkan aku yang telah termakan rayuan dari lelaki brengsek itu. Mas, aku sungguh mencintaimu...,” suara Asih timbul tenggelam, aku tidak begitu jelas mendengarnya, tapi kata-kata terakhirnya jelas sekali.

Pernah dimuat Majalah Akbar



Tidak ada komentar:

Posting Komentar