Oleh: Thoni Mukarrom
TIBA-TIBA terdengar suara dering keras dari benda kecil berbentuk kotak.
Ada sebuah pesan singkat, nomornya tidak dikenal. Dibuka, lalu ditutup kembali.
Tidak ada kata-kata sedikit pun.
“Siapa Ron?”
“Biasa, nomor nyasar.”
“Boleh tahu nggak nomornya?” tanya Abidin penasaran.
“Silakan....”
Abidin memang punya hobi mengoleksi
nomor hand phone. Hobi aneh itu
muncul setelah ia ditinggalkan sang pacar beberapa bulan lalu. Tak peduli
apakah nomor itu dikenal atau bukan, yang penting bisa membuatnya tidak
kesepian. Abidin dan Roni sudah menjalin persahabatan sejak lama. Mereka sering menumpahkan perasaan dan saling membicarakannya. Selalu ada hal
menarik yang mereka bicarakan. Tidak jarang mereka menemui hal-hal aneh dari
makhluk bernama “cinta”.
Sejak saat itu Abidin sering berkirim
pesan singkat ke nomor yang baru diperolehnya. Banyak hal baru ia tahu dari
sahabat barunya. Saling mencurahkan isi hati. Sering juga Abidin mengirimkan
kata-kata indah. Misalnya, ucapan selamat tidur yang dia rangkai sangat indah.
Padahal isinya juga sama, sama-sama mengucapkan selamat tidur. Semua itu ia
lakukan dengan medium short message service dari hapenya. Sering Abidin senyum-senyum seperti
orang gila. Kadang pula jengkel karena SMS-nya terlambat dibalas.
Abidin dihantui rasa penasaran
menggebu-gebu. Sekarang ritualnya naik pangkat dari SMS menuju jenjang lebih
tinggi: bertelepon-ria. Setiap pagi sehabis shalat subuh, ia menjalankan ritual
baru itu. Tidak mengherankan, apalagi yang ia telepon adalah seorang perempuan
bersuara seksi. Ditambah lagi mereka sama-sama belum punya pacar. Acara ritual
bertelepon-ria biasanya menghabiskan waktu sedikitnya satu jam. Bahkan dua jam
mereka lalui serasa dua menit. Suatu perasaan aneh datang mengerubuti perasaan
mereka.
Abidin tak kuasa menahan perasaannya.
Tentang apa yang dirasakannya selama ini pada kenalan barunya. Akhirnya ia
mencurahkan semua itu kepada sahabatnya.
“Ron, akhir-akhir ini aku kok punya
perasaan aneh banget ya,” kata
Abidin.
“Perasaan aneh gimana?”
“Aku punya rasa yang tak biasa Ron,”
ujarnya sambil menggaruk-garuk kepalanya, padahal tidak ada sesuatu yang gatal
di sana.
“Kepada siapa?”
“Itu lo, nomor nyasar yang kamu berikan
satu bulan lalu.”
“Jadi nomor yang aku berikan dulu
kau sambung!?” tanya Roni sambil menggelangkan kepala. Sahabatnya yang satu ini
benar-benar makhluk iseng. Dan kini termakan keisengannya sendiri.
Perbincangan mereka terdengar serius.
Abidin mengaku selama ini susah tidur. Penyebabnya tidak apa-apa, hanyalah
perempuan yang selama ini tinggal di hape-nya. Sepertinya ia mendapat pengganti
pacarnya. Perhatian yang telah menguap dari mantan pacarnya, kini ia dapatkan
lagi dari perempuan itu. Juga suara merdunya dari
balik celah mikrofon benda kotak kecil itu.
“Pokoknya aku harus segera menemuinya,
Ron.” Semangat 45-nya meledak-ledak.
***
Suatu ketika Abidin sudah tidak mampu
lagi menahan rasa penasaran.
“Aku harus segera menemui, sebelum aku
benar-benar gila dibuatnya,” katanya dalam hati.
Di
pihak
lain, perempuan bernama Yanti itu tak kunjung menerima permintaan Abidin. Ia
merasa belum siap bertatap muka langsung. Maklumlah, Yanti tipe perempuan yang
tidak suka keluar rumah atau jalan-jalan. Ia anak rumahan, biasanya patuh pada
orangtua. Tapi Abidin tak pernah menyerah untuk bisa menemui. Ia bertanya pada
Roni. Roni memang sudah tahu alamat rumah Yanti. Roni diam-diam menanyakannya
karena tak kuasa melihat sahabatnya menderita. Dengan berbekal SMS itu, Abidin
nekat menemui Yanti apa pun yang terjadi.
Tidak disangka perjuangan Abidin menuai
hasil. Setelah bertanya ke sana-kemari, ia berhasil menemukan rumah Yanti di
pedesaan. Jaraknya sekitar 25 kilometer dari jalan pantura. Jalan menuju desa
dipenuhi penjual siwalan dan legen, minuman dari pohon bogor, konon berkhasiat
melunturkan batu kapur di perut. Penjual-penjual itu berderet-deret memenuhi
jalan, seakan menunggu pengendara lalu lalang yang datang kehausan. Suasana
desa, bau harum terasa menyegarkan otak datang merasuk.
Setelah mengucapkan salam kepada
penghuni rumah, Abidin memperkenalkan diri. Ia mengutarakan maksudnya untuk
menemui Yanti. Tapi takdir berkehendak lain, Qonik mengatakan keponakannya
sudah tidak ada di rumah. Ia sudah pergi ke Surabaya untuk kuliah. Tanpa
basi-basi Abidin menanyakan alamatnya. Qonik menolak. Ia tidak mau keponakannya
bergaul dengan laki-laki bukan muhrimnya. Ia juga tak mau mengingkari janji
kepada adiknya, dulu sebelum meninggal dunia pernah berpesan kepadanya,
“Mbak, tolong jaga dan rawat anakku,
sampai ia bisa menjaga dan merawat dirinya sendiri.” Abidin pulang membawa
sejuta kecewa.
Yanti tinggal bersama bibinya setelah
ibunya meninggal dunia. Apalagi Suherman sudah sepuluh tahun menjadi TKI di
Malaysia, dan sampai sekarang belum juga pulang. Tidak ada kabar sedikit pun.
Sebelum meninggal, ibu Yanti sering memikirkan suaminya yang tidak
pulang-pulang itu. Ditambah lagi banyak berita tentang berbagai nasib buruk
yang menimpa TKI di negeri jiran. Semua itu membuat penyakit jantung ibunya
kambuh. Dan akhirnya meninggal dunia.
Tanpa sepengetahuan Abidin, Yanti pun
sebenarnya salut dengan perjuangannya. Tapi ia belum siap mental untuk bertemu
lelaki yang belum pernah dia lihat wajahnya. Dengan berbagai alasan Yanti
menolak permintaan Abidin, tentu dengan cara amat sangat halus. Tapi apa pun
alasannya, sebuah penolakan meski ditulis dengan tinta emas dan diucapkan
dengan sangat merdu sekalipun, semua terasa menyakitkan. Ia ingat berita di
teve tentang sepak terjang penculikan dengan memanfaatkan berbagai macam media.
Yanti takut menjadi salah satu korban penculikan itu. Ia takut dijual ke luar
negeri. Ia takut menjadi TKI.
***
Sejak tadi malam Abidin sibuk
mengusap-usap mata, ia tidak percaya bakal mendapat multimedia message service dari teman curhatnya. Ia memelototi foto
itu lama sekali. Sesekali ia menjungkirnya, lalu membaliknya lagi. Ia sangat
terkejut dengan pengiriman foto itu, karena tak pernah ia duga sejak awal.
Sejak Yanti menolak ajakan bertemu, Abidin jarang menelepon atau sekadar
ber-SMS-an. Ia sedikit frustrasi dengan kejadian itu. Tapi setelah ia menerima
MMS, ia seakan menemukan setitik cahaya dari dalam gua lamunannya. Semangatnya
dipompa lagi, makin kencang ia memompa, makin gemuruh gejolak di dalam dadanya.
Foto itu membuat Abidin makin
tergila-gila pada Yanti. Bahkan bumi
terasa menghilang dari garis edar jika sedetik tak mengirim SMS
kepadanya. Makin ia memikirkan cara untuk bertemu kian nyata bayang-bayang
gadis itu menari-nari di atas kasurnya. Entah sudah berapa batang rokok habis
diisapnya. Entah sudah berapa cangkir kopi telah diseruputnya. Tapi
bayang-bayang gadis itu bukan hilang, malah makin nyata menghiasi mata.
“Aku harus punya strategi untuk
menaklukkan gadis berpendidikan seperti itu. Harus pakai akal, ya, harus pakai
akal.” Abidin berpikir keras agar bisa menemui langsung gadis yang tiba-tiba
menjadi pujaan rahasianya. Akhirnya ia mendapat pencerahan. Ini pasti berhasil.
Semangatnya perlahan menghapus bayang-bayang gadis yang setiap malam menghantuinya.
Makin jelas bayangan itu akan menjadi nyata. Dan untuk rencana yang sangat
sempurna itu, Abidin enggan menceritakannya kepada siapa pun.
Mentari dengan senyum terindah
menghiasi pagi. Suara ayam-ayam yang biasanya hanya menggatalkan telinga, kini
menjadi paduan musik mesra. Begitulah yang dirasakan Abidin saat kali pertama
akan bertemu pujaan hati. Semua sudah dipersiapkan, dari minyak wangi yang baru
dibeli seharga Rp.7.800, sampai jaket seharga Rp.85.000. Rambut disisir
sedemikian rupa ala anak band zaman sekarang. Jam bergerak menunjuk pukul
09:05. Sepeda motor telah kinclong sejak kemarin sore, tinggal distater, lalu
jalan. Dalam perjalanan ia tak henti-henti membayangkan betapa jelita gadis
yang selama ini menghuni hape kameranya itu. Tidak terasa 90 menit telah
berlalu, tinggal beberapa menit ia akan sampai di terminal. Di terminal itulah
ia akan bertemu. Betapa banyak bus hilir-mudik menurunkan dan menaikkan
penumpang. Ia bingung melihat banyak sekali orang dan kendaraan. Setelah
berjalan ke sana-kemari, matanya menangkap sesuatu yang sudah dikenalnya,
sesuatu yang selama ini membuat matanya susah tidur. Benar sekali! Ia adalah
gadis yang selama ini tinggal di benda kotak kecil itu. Setelah mengucapkan
salam dan tanpa berbasa-basi, ia langsung mengajaknya ke warung bakso terdekat.
Sesampainya di warung, Abidin seperti diserang penyakit yang belum diketahui
namanya, biasanya penyakit itu menjangkiti pecundang yang selama hidupnya tak
pernah mempunyai pacar. Yanti membuka percakapan dengan suara merdu dan
diselingi beberapa senyuman. Tapi semua itu begitu asing di telinga Abidin. Ia
merasakan ada hawa dingin yang tiba-tiba terasa panas keluar dari mulut lawan
bicaranya. Sungguh tak pernah ia bayangkan sebelumnya, jika akhirnya terjadi
seperti ini. Persiapan berhari-hari terasa lenyap sudah sekarang. Ia tak
menyangka gadis yang selama ini menghuni hape-nya itu adalah sesosok bidadari
berwajah seram. Aneh. Wajah seram itu hanya terlihat di matanya saja. Dan
terlihat indah di mata orang lain.
Lunas sudah rasa penasaran Abidin kini.
Ia berpikir bertemu atau tidak dengan Yanti rasanya sama saja. Malah lebih
menyakitkan setelah bertemu. Abidin harus menerima kenyataan bahwa gadis itu
sekarang sudah punya lelaki yang dicintai. Hancur berkeping-keping mozaik cinta
di dalam hatinya yang telah lama ia susun. Pertemuan itu menjadi pertemuan
pertama dan terakhir buatnya.
Mengapa setiap gadis cantik selalu saja
ada yang punya? Lalu bagaimana orang sepertiku ini memiliki gadis cantik?
Abidin mengutuki diri sendiri dan entah setan dari mana yang merasuki hatinya.
Tiba-tiba ia berpikir ingin bunuh diri. Jalan sesat yang banyak ditempuh kaum
frustrasi itu menyerangnya. Abidin kalap, tali yang biasa ia gunakan menjemur
pakaian diikatkan di bawah langit-langit kamar. Ia berpikir mungkin hanya ini
yang bisa membuatnya tenang. Ia memilih mengakhiri segala penderitaan dengan
penderitaan baru yang lebih menyakitkan.
“Gadisku, maafkan aku, aku tak bisa
lagi membalas SMS darimu.’’ Kursi yang menopang tubuhnya disepak, sontak membuatnya
tergantung terlonta-lonta di atas kasur. Belum genap enam detik Roni datang
tiba-tiba.
“Diiiinnnn....! Apa yang kaulakukan,
Diiinnn!!!” Roni segera bertindak. Ia memotong tali yang mengikat sahabatnya
dengan pisau yang tergeletak di atas meja.
“Kau sudah gila ya!”
“Ngnggggnn.” Sahut Abidin sambil
memegangi leher.
“Masalah apa yang membuatmu seperti
ini?” Sambil melepaskan tali yang menjerat leher sahabatnya.
Roni memang tidak tahu Abidin diam-diam
menemui Yanti. Dan ia juga tidak tahu bahwa Yanti adalah gadis pujaan sepanjang
masa. Selain cantik ia juga pintar. Kemunculan gadis seperti itu seperti Komet
Halley, yang hanya muncul setiap 76
tahun sekali. Tapi kejadian memalukan itu membuat Roni tak habis pikir.
Bisa-bisanya pemuda gagah seperti Abidin melakukan perbuatan senekat itu.
Tak biasanya Abidin merokok sehari habis tiga
pak. Meskipun terbatuk-batuk, ia tetap melanjutkan. Belum habis sebatang, ia
mengambil sebatang lagi. Apalagi saat
teringat ucapan Yanti waktu itu. Bertambahlah rasa benci yang ia rasakan.
Bertambah pula batang-batang rokok memenuhi mulutnya. Tapi aneh, kebencian itu
tidak seperti benci umumnya. Kebenciannya tidak memenuhi standar kebencian.
Kebenciannya tidak lain adalah rasa cinta yang tersakiti. Mengapa saat kali pertama
kenal denganku mengatakan belum punya pacar? Dasar perempuan, makhluk plinplan.
Yanti sesungguhnya tak kuasa menahan
rasa bersalah. Gara-gara SMS yang salah kirim dulu, karena nomor hape Roni
hampir sama dengan nomor bibinya. Gara-gara itu pula ia kenal orang yang
mencintainya. Ia terpaksa berbohong kepada seseorang yang mencintainya. Ia
terpaksa melakukan semua itu demi janji kepada ibunya dulu. Bahwa ia tidak akan
pacaran sebelum lulus dan mendapat pekerjaan. Dan ia juga sebenarnya tidak suka
pacaran, dia ingin langsung menikah.
“Enaknya pacaran setelah nikah saja,
bisa mendatangkan pahala.” Begitulah angannya.
Bukan hanya Abidin yang mendekati
Yanti. Banyak teman Yanti satu kampus yang berkompetisi untuk mendapatkan
cintanya. Tapi semua bernasib sama. Sia-sia. Tapi Abidin bernasib sedikit
sengsara.
“Sudahlah, Sob. Jangan pikirkan. Kau
hanya akan membuang-buang waktumu,” kata Roni memecah keheningan.
“Tapi....”
“Aku tahu betapa hancur perasaanmu.
Jika sabar, kau akan menemukan yang terbaik.”
Ti.. tit.. titit....
Tuban, 310810
Pernah dimuat dalam Majalah Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar