Senin, 23 Maret 2015

SMS


Oleh: Thoni Mukarrom


TIBA-TIBA terdengar suara dering keras dari benda kecil berbentuk kotak. Ada sebuah pesan singkat, nomornya tidak dikenal. Dibuka, lalu ditutup kembali. Tidak ada kata-kata sedikit pun.
            “Siapa Ron?”
            “Biasa, nomor nyasar.”
            “Boleh tahu nggak nomornya?” tanya Abidin penasaran.
            “Silakan....”
            Abidin memang punya hobi mengoleksi nomor hand phone. Hobi aneh itu muncul setelah ia ditinggalkan sang pacar beberapa bulan lalu. Tak peduli apakah nomor itu dikenal atau bukan, yang penting bisa membuatnya tidak kesepian. Abidin dan Roni sudah menjalin persahabatan sejak lama. Mereka sering menumpahkan perasaan dan saling membicarakannya. Selalu ada hal menarik yang mereka bicarakan. Tidak jarang mereka menemui hal-hal aneh dari makhluk bernama “cinta”.
            Sejak saat itu Abidin sering berkirim pesan singkat ke nomor yang baru diperolehnya. Banyak hal baru ia tahu dari sahabat barunya. Saling mencurahkan isi hati. Sering juga Abidin mengirimkan kata-kata indah. Misalnya, ucapan selamat tidur yang dia rangkai sangat indah. Padahal isinya juga sama, sama-sama mengucapkan selamat tidur. Semua itu ia lakukan dengan medium short message service dari hapenya. Sering Abidin senyum-senyum seperti orang gila. Kadang pula jengkel karena SMS-nya terlambat dibalas.
            Abidin dihantui rasa penasaran menggebu-gebu. Sekarang ritualnya naik pangkat dari SMS menuju jenjang lebih tinggi: bertelepon-ria. Setiap pagi sehabis shalat subuh, ia menjalankan ritual baru itu. Tidak mengherankan, apalagi yang ia telepon adalah seorang perempuan bersuara seksi. Ditambah lagi mereka sama-sama belum punya pacar. Acara ritual bertelepon-ria biasanya menghabiskan waktu sedikitnya satu jam. Bahkan dua jam mereka lalui serasa dua menit. Suatu perasaan aneh datang mengerubuti perasaan mereka.
            Abidin tak kuasa menahan perasaannya. Tentang apa yang dirasakannya selama ini pada kenalan barunya. Akhirnya ia mencurahkan semua itu kepada sahabatnya.
            “Ron, akhir-akhir ini aku kok punya perasaan aneh banget ya,” kata Abidin.
            “Perasaan aneh gimana?”
            “Aku punya rasa yang tak biasa Ron,” ujarnya sambil menggaruk-garuk kepalanya, padahal tidak ada sesuatu yang gatal di sana.
            “Kepada siapa?”
            “Itu lo, nomor nyasar yang kamu berikan satu bulan lalu.”
            “Jadi nomor yang aku berikan dulu kau sambung!?” tanya Roni sambil menggelangkan kepala. Sahabatnya yang satu ini benar-benar makhluk iseng. Dan kini termakan keisengannya sendiri.
            Perbincangan mereka terdengar serius. Abidin mengaku selama ini susah tidur. Penyebabnya tidak apa-apa, hanyalah perempuan yang selama ini tinggal di hape-nya. Sepertinya ia mendapat pengganti pacarnya. Perhatian yang telah menguap dari mantan pacarnya, kini ia dapatkan lagi dari perempuan itu. Juga suara merdunya dari balik celah mikrofon benda kotak kecil itu.
            “Pokoknya aku harus segera menemuinya, Ron.” Semangat 45-nya meledak-ledak.

***
            Suatu ketika Abidin sudah tidak mampu lagi menahan rasa penasaran.
             “Aku harus segera menemui, sebelum aku benar-benar gila dibuatnya,” katanya dalam hati.
            Di pihak lain, perempuan bernama Yanti itu tak kunjung menerima permintaan Abidin. Ia merasa belum siap bertatap muka langsung. Maklumlah, Yanti tipe perempuan yang tidak suka keluar rumah atau jalan-jalan. Ia anak rumahan, biasanya patuh pada orangtua. Tapi Abidin tak pernah menyerah untuk bisa menemui. Ia bertanya pada Roni. Roni memang sudah tahu alamat rumah Yanti. Roni diam-diam menanyakannya karena tak kuasa melihat sahabatnya menderita. Dengan berbekal SMS itu, Abidin nekat menemui Yanti apa pun yang terjadi.
            Tidak disangka perjuangan Abidin menuai hasil. Setelah bertanya ke sana-kemari, ia berhasil menemukan rumah Yanti di pedesaan. Jaraknya sekitar 25 kilometer dari jalan pantura. Jalan menuju desa dipenuhi penjual siwalan dan legen, minuman dari pohon bogor, konon berkhasiat melunturkan batu kapur di perut. Penjual-penjual itu berderet-deret memenuhi jalan, seakan menunggu pengendara lalu lalang yang datang kehausan. Suasana desa, bau harum terasa menyegarkan otak datang merasuk.
            Setelah mengucapkan salam kepada penghuni rumah, Abidin memperkenalkan diri. Ia mengutarakan maksudnya untuk menemui Yanti. Tapi takdir berkehendak lain, Qonik mengatakan keponakannya sudah tidak ada di rumah. Ia sudah pergi ke Surabaya untuk kuliah. Tanpa basi-basi Abidin menanyakan alamatnya. Qonik menolak. Ia tidak mau keponakannya bergaul dengan laki-laki bukan muhrimnya. Ia juga tak mau mengingkari janji kepada adiknya, dulu sebelum meninggal dunia pernah berpesan kepadanya, “Mbak,  tolong jaga dan rawat anakku, sampai ia bisa menjaga dan merawat dirinya sendiri.” Abidin pulang membawa sejuta kecewa.
            Yanti tinggal bersama bibinya setelah ibunya meninggal dunia. Apalagi Suherman sudah sepuluh tahun menjadi TKI di Malaysia, dan sampai sekarang belum juga pulang. Tidak ada kabar sedikit pun. Sebelum meninggal, ibu Yanti sering memikirkan suaminya yang tidak pulang-pulang itu. Ditambah lagi banyak berita tentang berbagai nasib buruk yang menimpa TKI di negeri jiran. Semua itu membuat penyakit jantung ibunya kambuh. Dan akhirnya meninggal dunia.
            Tanpa sepengetahuan Abidin, Yanti pun sebenarnya salut dengan perjuangannya. Tapi ia belum siap mental untuk bertemu lelaki yang belum pernah dia lihat wajahnya. Dengan berbagai alasan Yanti menolak permintaan Abidin, tentu dengan cara amat sangat halus. Tapi apa pun alasannya, sebuah penolakan meski ditulis dengan tinta emas dan diucapkan dengan sangat merdu sekalipun, semua terasa menyakitkan. Ia ingat berita di teve tentang sepak terjang penculikan dengan memanfaatkan berbagai macam media. Yanti takut menjadi salah satu korban penculikan itu. Ia takut dijual ke luar negeri. Ia takut menjadi TKI.

***
            Sejak tadi malam Abidin sibuk mengusap-usap mata, ia tidak percaya bakal mendapat multimedia message service dari teman curhatnya. Ia memelototi foto itu lama sekali. Sesekali ia menjungkirnya, lalu membaliknya lagi. Ia sangat terkejut dengan pengiriman foto itu, karena tak pernah ia duga sejak awal. Sejak Yanti menolak ajakan bertemu, Abidin jarang menelepon atau sekadar ber-SMS-an. Ia sedikit frustrasi dengan kejadian itu. Tapi setelah ia menerima MMS, ia seakan menemukan setitik cahaya dari dalam gua lamunannya. Semangatnya dipompa lagi, makin kencang ia memompa, makin gemuruh gejolak di dalam dadanya.
            Foto itu membuat Abidin makin tergila-gila pada Yanti. Bahkan bumi  terasa menghilang dari garis edar jika sedetik tak mengirim SMS kepadanya. Makin ia memikirkan cara untuk bertemu kian nyata bayang-bayang gadis itu menari-nari di atas kasurnya. Entah sudah berapa batang rokok habis diisapnya. Entah sudah berapa cangkir kopi telah diseruputnya. Tapi bayang-bayang gadis itu bukan hilang, malah makin nyata menghiasi mata.
            “Aku harus punya strategi untuk menaklukkan gadis berpendidikan seperti itu. Harus pakai akal, ya, harus pakai akal.” Abidin berpikir keras agar bisa menemui langsung gadis yang tiba-tiba menjadi pujaan rahasianya. Akhirnya ia mendapat pencerahan. Ini pasti berhasil. Semangatnya perlahan menghapus bayang-bayang gadis yang setiap malam menghantuinya. Makin jelas bayangan itu akan menjadi nyata. Dan untuk rencana yang sangat sempurna itu, Abidin enggan menceritakannya kepada siapa pun.
            Mentari dengan senyum terindah menghiasi pagi. Suara ayam-ayam yang biasanya hanya menggatalkan telinga, kini menjadi paduan musik mesra. Begitulah yang dirasakan Abidin saat kali pertama akan bertemu pujaan hati. Semua sudah dipersiapkan, dari minyak wangi yang baru dibeli seharga Rp.7.800, sampai jaket seharga Rp.85.000. Rambut disisir sedemikian rupa ala anak band zaman sekarang. Jam bergerak menunjuk pukul 09:05. Sepeda motor telah kinclong sejak kemarin sore, tinggal distater, lalu jalan. Dalam perjalanan ia tak henti-henti membayangkan betapa jelita gadis yang selama ini menghuni hape kameranya itu. Tidak terasa 90 menit telah berlalu, tinggal beberapa menit ia akan sampai di terminal. Di terminal itulah ia akan bertemu. Betapa banyak bus hilir-mudik menurunkan dan menaikkan penumpang. Ia bingung melihat banyak sekali orang dan kendaraan. Setelah berjalan ke sana-kemari, matanya menangkap sesuatu yang sudah dikenalnya, sesuatu yang selama ini membuat matanya susah tidur. Benar sekali! Ia adalah gadis yang selama ini tinggal di benda kotak kecil itu. Setelah mengucapkan salam dan tanpa berbasa-basi, ia langsung mengajaknya ke warung bakso terdekat. Sesampainya di warung, Abidin seperti diserang penyakit yang belum diketahui namanya, biasanya penyakit itu menjangkiti pecundang yang selama hidupnya tak pernah mempunyai pacar. Yanti membuka percakapan dengan suara merdu dan diselingi beberapa senyuman. Tapi semua itu begitu asing di telinga Abidin. Ia merasakan ada hawa dingin yang tiba-tiba terasa panas keluar dari mulut lawan bicaranya. Sungguh tak pernah ia bayangkan sebelumnya, jika akhirnya terjadi seperti ini. Persiapan berhari-hari terasa lenyap sudah sekarang. Ia tak menyangka gadis yang selama ini menghuni hape-nya itu adalah sesosok bidadari berwajah seram. Aneh. Wajah seram itu hanya terlihat di matanya saja. Dan terlihat indah di mata orang lain.
            Lunas sudah rasa penasaran Abidin kini. Ia berpikir bertemu atau tidak dengan Yanti rasanya sama saja. Malah lebih menyakitkan setelah bertemu. Abidin harus menerima kenyataan bahwa gadis itu sekarang sudah punya lelaki yang dicintai. Hancur berkeping-keping mozaik cinta di dalam hatinya yang telah lama ia susun. Pertemuan itu menjadi pertemuan pertama dan terakhir buatnya.
            Mengapa setiap gadis cantik selalu saja ada yang punya? Lalu bagaimana orang sepertiku ini memiliki gadis cantik? Abidin mengutuki diri sendiri dan entah setan dari mana yang merasuki hatinya. Tiba-tiba ia berpikir ingin bunuh diri. Jalan sesat yang banyak ditempuh kaum frustrasi itu menyerangnya. Abidin kalap, tali yang biasa ia gunakan menjemur pakaian diikatkan di bawah langit-langit kamar. Ia berpikir mungkin hanya ini yang bisa membuatnya tenang. Ia memilih mengakhiri segala penderitaan dengan penderitaan baru yang lebih menyakitkan.
            “Gadisku, maafkan aku, aku tak bisa lagi membalas SMS darimu.’’ Kursi yang menopang tubuhnya disepak, sontak membuatnya tergantung terlonta-lonta di atas kasur. Belum genap enam detik Roni datang tiba-tiba.
            “Diiiinnnn....! Apa yang kaulakukan, Diiinnn!!!” Roni segera bertindak. Ia memotong tali yang mengikat sahabatnya dengan pisau yang tergeletak di atas meja.
            “Kau sudah gila ya!”
            “Ngnggggnn.” Sahut Abidin sambil memegangi leher.
            “Masalah apa yang membuatmu seperti ini?” Sambil melepaskan tali yang menjerat leher sahabatnya.
            Roni memang tidak tahu Abidin diam-diam menemui Yanti. Dan ia juga tidak tahu bahwa Yanti adalah gadis pujaan sepanjang masa. Selain cantik ia juga pintar. Kemunculan gadis seperti itu seperti Komet Halley, yang hanya muncul setiap 76 tahun sekali. Tapi kejadian memalukan itu membuat Roni tak habis pikir. Bisa-bisanya pemuda gagah seperti Abidin melakukan perbuatan senekat itu.
             Tak biasanya Abidin merokok sehari habis tiga pak. Meskipun terbatuk-batuk, ia tetap melanjutkan. Belum habis sebatang, ia mengambil  sebatang lagi. Apalagi saat teringat ucapan Yanti waktu itu. Bertambahlah rasa benci yang ia rasakan. Bertambah pula batang-batang rokok memenuhi mulutnya. Tapi aneh, kebencian itu tidak seperti benci umumnya. Kebenciannya tidak memenuhi standar kebencian. Kebenciannya tidak lain adalah rasa cinta yang tersakiti. Mengapa saat kali pertama kenal denganku mengatakan belum punya pacar? Dasar perempuan, makhluk plinplan.
            Yanti sesungguhnya tak kuasa menahan rasa bersalah. Gara-gara SMS yang salah kirim dulu, karena nomor hape Roni hampir sama dengan nomor bibinya. Gara-gara itu pula ia kenal orang yang mencintainya. Ia terpaksa berbohong kepada seseorang yang mencintainya. Ia terpaksa melakukan semua itu demi janji kepada ibunya dulu. Bahwa ia tidak akan pacaran sebelum lulus dan mendapat pekerjaan. Dan ia juga sebenarnya tidak suka pacaran, dia ingin langsung menikah.
            “Enaknya pacaran setelah nikah saja, bisa mendatangkan pahala.” Begitulah angannya.
            Bukan hanya Abidin yang mendekati Yanti. Banyak teman Yanti satu kampus yang berkompetisi untuk mendapatkan cintanya. Tapi semua bernasib sama. Sia-sia. Tapi Abidin bernasib sedikit sengsara.
            “Sudahlah, Sob. Jangan pikirkan. Kau hanya akan membuang-buang waktumu,” kata Roni memecah keheningan.
            “Tapi....”
            “Aku tahu betapa hancur perasaanmu. Jika sabar, kau akan menemukan yang terbaik.”
Ti.. tit.. titit....


 Tuban, 310810

 Pernah dimuat dalam Majalah Akbar


Tidak ada komentar:

Posting Komentar