Oleh: Thoni Mukarrom
Malam itu ada malaikat maut datang bertamu, lalu
menuangkan minuman, kau meminumnya. Setelah itu, kau mabuk dan dibawa ke
angkasa menyusuri dunia yang belum pernah kaulihat sebelumnya. Kaulihat berjuta
wajah manusia lelah.
Kau menunggu
datangnya kisah dengan derai airmata. Menunggu berbagai kisah dengan hijaunya
warna daun melati. Dan pada saat hitam datang lagi, kaulihat berbagai lentera
datang dengan warna indah, sangat indah. Kaunikmati malam itu dengan membacakan
sebuah puisi yang belum sempat kaubacakan. Lalu kau perlihatkan sebuah lukisan
untukku. Kau nyanyikan lagu untukku, sayang. Kalaupun aku tidak menyukainya,
kau akan menyimpannya pada hitam malam, biar tak ada yang melihatnya lagi.
Malaikat maut datang begitu tiba-tiba. Ia begitu saja
membuka pintu rumahmu tanpa permisi. Saat itu kau hanya memakai celana pendek,
tanpa baju. Malaikat maut langsung nyelonong
ke ruang tamu, memandangmu. Ia menawarimu segelas minuman, entah apa. Kau dipaksa
meminumnya. Setelah itu kau tak tahu lagi sekarang berada dimana. Sebelum kau
meminumnya, Pak Malaikat Maut menanyakan permintaan terakhir padamu. Kau tak
minta apa-apa. Pak Malaikat hanya senyum sedikit. Kau takut. Kau terpaksa
meminum minuman Pak Malaikat, karena dia memaksamu. Setelah itu sampailah kau
pada tempat ini. Tempat yang belum pernah kau lihat.
Kau tidak sempat mengucapkan selamat tinggal pada istri
dan anak-anakmu. Juga pada teman-teman akrab, pada saudaramu semua. Kau tak tahu apa di sini juga ada Hape misalnya,
atau paling tidak Tukang Pos. Kau tak tahu, di sini hanya ada hitam yang selalu
menghiasi setiap benda. Kau teringat dengan puisi yang belum sempat kaubacakan
kepadaku. Ya, puisi itu, puisi yang kaubuat saat kita menjalani kehidupan
remaja dengan kesenangan dan kesenangan. Aku teringat saat terakhir kita
bertemu, akan membaca puisi untukku. Tapi, sampai sekarang kau mengkhianati
semua itu, kau malah menikah dengan seorang yang belum kau kenal sebelumnya.
Kau merasa berdosa. Ah, di sini kau teringat janji-janjimu dulu— yang belum kau
lakukan, muncul satu persatu.
###
Setelah malaikat maut menuangkan minumannya di gelas
itu. Aku sedikit curiga dengan apa yang dituangkannya. Tidak seperti biasa.
Dengan ketidakberdayaan aku terpaksa meminumnya. Setelah itu sampailah aku di
sini di sebuah tempat dengan hitam dan hitam. Sebuah tempat yang—aku sendiri
tak bisa menceritakan padamu. Sayang, apakah kemarin malam kamu merasa
kehadiranku di mimpimu?
Kamu tak lagi menjawab pertanyaanku. Padahal aku datang
pada malam itu, aku datang membacakan sebuah puisi yang pernah aku janjikan
untukmu. Aku juga memperlihatkan sebuah lukisanku tentang wajahmu, yang dulu
pernah diledek adikku, karena jelek. Tapi aku hanya tersenyum saja, karena kamu
juga akan berkata sama seperti adikku. Di sini, di tempat ini, lukisan itu
sudah berubah jadi indah. Sangat indah. Jika kamu bisa melihatnya pastilah kamu
terkagum dan mengatakan: Lukisan siapa itu, mas? Aku belum pernah sekalipun
melihat lukisan seperti itu.., katamu sambil mengucek-ngucek mata.
Ketika malaikat maut ujug-ujug
datang ke rumahku saat itu. Aku berpikir ada apa gerangankah ia? Aku
menduga dia akan memberi kado kejutan saat usiaku mendekati 50 tahun. Aku tak
berpikir aneh-aneh saat itu.
Sebelum aku datang mengunjungi mimpimu. Aku dengan
semangat bertanya pada seorang tua di sebelahku, entah siapa namanya. Aku
bertanya tentang bagaimana cara lari dari tempat ini. Ia memberikan jawaban,
dan aku melaksanakannya. Sampailah aku di mimpimu. Aku melihat wajahmu sangat
indah. Sangat indah bahkan, ah, pokoknya sangat indah. Semua perempuan di dunia
kalah cantiknya, saat kulihat kecantikan wajahmu saat itu. Aku
memanggil-manggil namamu. Kau tuli rupanya. Bahkan saat kulihatkan lukisanku
pun kau seperti orang buta. Padahal matamu sangat indah, ah, sangat indah,
pokoknya sangat indah. Tapi kau tak bisa melihat lukisanku. Aku berusaha
memanggilmu dengan menyanyikan lagu ciptaanku sendiri. Berharap kau
mendengarnya.
Selalu di antara berjuta bintang di angkasa
Ada wajahmu, menggoda mataku
Sesekali mencubit khayalanku
Lalu kau tiba-tiba hadir dengan wajah penuh luka
Aku takut, sayang
Aku takut saat itu
Aku lupa kapan saat kita bermain rindu terakhir kali
Saat itu aku ingin membacakan puisi yang kubuatkan
khusus untukmu
Tapi aku takut, sayang
Aku takut….
Aku tak bisa melanjutkan lagu yang berantakan itu. Aku
harap kau, meskipun tak melihatku, kuharap telingamu masih berfungsi dengan
baik. Jika kau tak mampu lagi mendengarnya, biarlah semua kenangan ini kusimpan
rapat. Kutelan habis bersama hitamnya malam.
###
“Sudah tua masih saja kelayapan!! Ingat anak, ingat
istri di rumah!!!” Bentak istriku.
Aku tak akan peduli dengan nyanyian istriku. Aku hanya
ingin menemui dirimu, lalu membacakan puisi yang kuciptakan serta memperlihatkan
lukisan wajahmu, tentu lukisan yang kulukis sendiri.
“Iya, aku keluar sebentar, nanti kembali lagi.” Jawabku
tanpa beban.
Aku datang ke warung kopi pojok kota—dulu pernah kita
habiskan malam minggu bersama di situ. Saat anak muda lain dengan semangat membawa
pacarnya ke pantai, entah apa yang akan dilakukan. Justru saat itu aku hanya
membawamu ke warung kopi kecil di pojok kota. Aku teringat saat kamu memesan
teh hangat, dan memesankannya juga untukku. Kamu tak suka manis, sebab kutahu
wajahmu sudah cukup manis untuk memaniskan tehmu. Kamu tertawa saat
kumengatakannya. Kamu mencubitku lalu meminum teh yang masih panas itu, gantian
aku yang tertawa melihatmu kepanasan.
Tapi malam ini aku datang sendiri di warung itu. Aku
memesan wedang jahe. Aku hanya melihat beberapa orang dengan lahapnya menenggak
minuman. Aku menutup hidung. Aku harap malam ini kamu juga datang ke warung
ini. Aku akan menunggumu sampai dini hari nanti. Kuharap anakmu nangis dan
minta dibelikan makan, dan kamu membelikannya di warung ini—lalu kita akan
menikmati lagi saat bahagia dulu.
Harapan, tinggal harapan. Sampai jam menunjukkan pukul
24.00 aku tak melihat tanda-tanda kehadiranmu. Aku sudah menghabiskan tiga
gelas jahe dan satu cangkir kopi, dan satu bungkus kretek filter. Kamu tak hadir
sampai warung ini tutup. Aku pulang dengan harapan istri dan anak-anakku di
rumah tidak marah.
Malam esoknya aku datang lebih sore, mungkin saja kau
enggan keluar malam. Jadi sebelum matahari terbenam aku sudah berpakaian rapi
ke warung kopi. Mungkin sore ini kau akan membeli gorengan untuk acara arisan
teman-temanmu. Aku menunggumu dengan tenang. Senja menggelincir menjadi hitam
dan selalu kelam. Ya, memang benar-benar hitam. Senja menjadi kelam, seperti
hatiku saat menunggumu yang tidak datang-datang. Malam semakin malam. Bintang
tak satu pun hadir menerangi gelap. Begitu pula suara mahkluk malam. Yang ada
hanya suara guyonan orang-orang di pojok sana, sambil meminum minuman seperti
kemarin. Baunya sangat menyengat hidungku. Mereka menenggak dengan gelas yang
terbuat dari batang bambu.
Aku menunggumu di sini. Aku sungguh menunggumu. Dimana
kau sekarang, mengapa kau tak datang-datang. Aku takut, bukan takut pada
istriku yang nanti akan memarahiku lagi, tapi aku takut pada rasa takutku
sendiri. Mengapa kau tak datang, aku akan menerimamu apa adanya, meskipun
sekarang kau datang dengan tubuh keriput. Dengan rasa hormat aku akan
menerimamu, sayang. Aku merasa bersalah karena dulu pernah meninggalkanmu,
mengingkari janjiku, dan dosa lainnya yang tak bisa kuceritakan lagi. Aku takut
kamu semakin membenciku.
Ternyata kau tak datang lagi malam ini. Aku tak akan
menyerah. Setiap malam aku akan mengunjungi warung ini, menunggumu. Mungkin kau
sesungguhnya tahu aku berada di sini tapi kau tak berani muncul, hanya melihatku
dari jauh. Lalu dengan suara sangat pelan berusaha memanggilku. Tapi aku yang
duduk sendirian di warung tak mendengar kata apapun darimu. Mungkin juga kau
telah berubah jadi kupu-kupu yang selalu hinggap di pojok atap warung. Enggan
terbang, kerena kau malu dituduh kupu-kupu malam. Akhirnya kau hanya diam
sambil memandang wajahku dari kejauhan. Mungkin juga aku yang tak ingat lagi
sekarang seperti apa wajahmu. Apakah sekarang sudah menjadi nenek yang berwajah
keriput disana-sini. Rambut keperakan bercongkol tak beraturan. Sehingga aku
lupa sama sekali dengan wajahmu. Atau kau yang jualan di warung ini, karena
penjual warung memang seorang nenek. Bahkan mungkin aku sendiri telah lupa
dengan warung yang dulu selalu kita singgahi, sehingga aku tak pernah melihat
kau di sini. Atau mungkin kau yang malu datang kesini.
Kemungkinan demi
kemungkinan datang memberodong otakku. Hal pasti yang mungkin adalah jalan
menuju wajahmu sekarang sudah mulai tertutup rapat. Tapi entah kenapa aku masih
yakin kamu akan datang kesini malam ini. Aku tunggu saja sampai nanti.
Berharap bintang akan bersinar lebih terang malam ini.
Dan kamu datang dengan membawa seraut wajah paling manis di dunia. Seperti
ketika pertama bertemu di pantai itu. Saat aku pertama kali menginjakkan kaki
di tanah ini. Tanah yang membuat kita lebih menikmati kehidupan dengan
sederhana. Tanah yang semakin gersang karena pengeksploitasian yang serakah.
Aku bisa merasakan panasnya cintamu seperti panasnya mentari jam sepuluh siang.
Seperti panasnya udara yang semakin menyesakkan paru-paru. Cinta kadang begitu
sakit.
Tapi mengapa aku masih mencintaimu sampai sekarang.
Walau umurku saat ini sudah tak patut
mencintai lagi. Tapi, ah, cinta ini memaksuku selalu mengingat janji-janji dulu
yang sekarang menggerogoti hati. Saat kau dan aku membagi kehangatan bersama di
suatu malam dingin di warung kopi dan memesan dua gelas teh, rasanya nikmat
sekali. Mengapa sekarang kau datang lagi mengganggu mimpiku, padahal sudah
kuinjak-injak kenangan itu, sudah kuhapus semuanya. Kenangan pahit yang dulu
selalu membuat kita memaksa menikmati sunyi. Dulu memang belum ada yang membawa
kita menyaksikan gemerlapnya malam seperti saat ini. Belum ada hape, belum ada
alat yang membuat komunikasi kita lancar. Tapi dulu hati kita terasa lebih
dekat dari hape.
Kuputuskan kembali pulang dengan membawa sederet
kenangan yang semakin erat mencengkeram hati. Menusuknya dengan berbagai mimpi
yang tak terpenuhi. Pada lelahnya sepi yang hinggap tak kenal permisi,
mengundang kita membaca sepi dan mimpi. Aku langkahkan kaki menyusuri jalan
yang telah basah oleh hujan pertama di bulan September. Bau tanah menghapus
rinduku pada masa kanak-kanak. Masa yang menggambarkan serbuan kesenangan. Jadi
ingin kukembali pada masa kanak-kanak, aku ingin tetap menjadi anak-anak. Tanpa
beban, bermain di kala hujan. Waw, betapa kenangan adalah obat mujarab di malam
sepi. Aku terus melangkah menuju rumah. Istri dan anak-anakku sudah terlelap.
Kubuka pintu pelan-pelan. Aku duduk di ruang tamu sebentar. Memutar lagi
kenangan saat kau dan aku sedang asik-asiknya memadu asmara. Pahit, aku
meninggalkanmu demi menuruti kemauan ibu. Kau menangis, aku berjanji akan menulis puisi terakhir dan
melukis wajahmu untuk terakhir kali. Tapi sampai sekarang, aku tak pernah
menepati janji. Aku tak pernah teringat dengan janji itu. Aku terlalu sibuk
mengurus anak istri. Hingga kemarin malam aku tiba-tiba teringat dengan janji
yang menggumpal dalam hati dan menjadi kristal-kristal kenangan. Aku teringat
kau mengecup keningku terakhir kali. Ah, manis dan pahit berebutan tempat. Saat
itu, ah terlalu sedih.
Aku tak tahu, siapa yang mengetuk pintuku malam-malam.
Kuharap kau datang. Tanpa pikir panjang aku membuka pintu. Betapa terkejutnya
aku saat melihat wajahmu. Aih, aku tak peduli dengan wajahmu. Kau mengajakku
lari dari sini. Kau membawakan minuman seperti di warung kopi itu. Kau
menyuruhku lekas meminumnya. Aku meminumnya.
###
Malam batuk-batuk. Mendung kedinginan. Angin malas
berlari. Hujan memeras keringatnya. Seorang lelaki tua berjalan sendirian
menuju warung. Seperti menunggu seseorang. Menunggunya hingga malam larut
ditelan dingin pagi yang mengintip malu di ufuk timur.
Karena
yang ditunggu tak kunjung datang, dia memutuskan pulang. Kembalilah dia
menyusuri dingin malam. Dengan langkah gontai dia berharap bisa menemui
seseorang itu di dalam mimpinya—mimpi yang tak ingin dibangunkan.
Tuban, 111007062011
Pernah dimuat dalam antologi Cerpen My Chemical Romance, Diva Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar