Senin, 23 Maret 2015

Yang Datang Malam Itu…



Oleh: Thoni Mukarrom

Malam itu ada malaikat maut datang bertamu, lalu menuangkan minuman, kau meminumnya. Setelah itu, kau mabuk dan dibawa ke angkasa menyusuri dunia yang belum pernah kaulihat sebelumnya. Kaulihat berjuta wajah manusia lelah.
 Kau menunggu datangnya kisah dengan derai airmata. Menunggu berbagai kisah dengan hijaunya warna daun melati. Dan pada saat hitam datang lagi, kaulihat berbagai lentera datang dengan warna indah, sangat indah. Kaunikmati malam itu dengan membacakan sebuah puisi yang belum sempat kaubacakan. Lalu kau perlihatkan sebuah lukisan untukku. Kau nyanyikan lagu untukku, sayang. Kalaupun aku tidak menyukainya, kau akan menyimpannya pada hitam malam, biar tak ada yang melihatnya lagi.
Malaikat maut datang begitu tiba-tiba. Ia begitu saja membuka pintu rumahmu tanpa permisi. Saat itu kau hanya memakai celana pendek, tanpa baju. Malaikat maut langsung nyelonong ke ruang tamu, memandangmu. Ia menawarimu segelas minuman, entah apa. Kau dipaksa meminumnya. Setelah itu kau tak tahu lagi sekarang berada dimana. Sebelum kau meminumnya, Pak Malaikat Maut menanyakan permintaan terakhir padamu. Kau tak minta apa-apa. Pak Malaikat hanya senyum sedikit. Kau takut. Kau terpaksa meminum minuman Pak Malaikat, karena dia memaksamu. Setelah itu sampailah kau pada tempat ini. Tempat yang belum pernah kau lihat.
Kau tidak sempat mengucapkan selamat tinggal pada istri dan anak-anakmu. Juga pada teman-teman akrab, pada saudaramu semua. Kau  tak tahu apa di sini juga ada Hape misalnya, atau paling tidak Tukang Pos. Kau tak tahu, di sini hanya ada hitam yang selalu menghiasi setiap benda. Kau teringat dengan puisi yang belum sempat kaubacakan kepadaku. Ya, puisi itu, puisi yang kaubuat saat kita menjalani kehidupan remaja dengan kesenangan dan kesenangan. Aku teringat saat terakhir kita bertemu, akan membaca puisi untukku. Tapi, sampai sekarang kau mengkhianati semua itu, kau malah menikah dengan seorang yang belum kau kenal sebelumnya. Kau merasa berdosa. Ah, di sini kau teringat janji-janjimu dulu— yang belum kau lakukan, muncul satu persatu.
###
Setelah malaikat maut menuangkan minumannya di gelas itu. Aku sedikit curiga dengan apa yang dituangkannya. Tidak seperti biasa. Dengan ketidakberdayaan aku terpaksa meminumnya. Setelah itu sampailah aku di sini di sebuah tempat dengan hitam dan hitam. Sebuah tempat yang—aku sendiri tak bisa menceritakan padamu. Sayang, apakah kemarin malam kamu merasa kehadiranku di mimpimu?
Kamu tak lagi menjawab pertanyaanku. Padahal aku datang pada malam itu, aku datang membacakan sebuah puisi yang pernah aku janjikan untukmu. Aku juga memperlihatkan sebuah lukisanku tentang wajahmu, yang dulu pernah diledek adikku, karena jelek. Tapi aku hanya tersenyum saja, karena kamu juga akan berkata sama seperti adikku. Di sini, di tempat ini, lukisan itu sudah berubah jadi indah. Sangat indah. Jika kamu bisa melihatnya pastilah kamu terkagum dan mengatakan: Lukisan siapa itu, mas? Aku belum pernah sekalipun melihat lukisan seperti itu.., katamu sambil mengucek-ngucek mata.
Ketika malaikat maut ujug-ujug datang ke rumahku saat itu. Aku berpikir ada apa gerangankah ia? Aku menduga dia akan memberi kado kejutan saat usiaku mendekati 50 tahun. Aku tak berpikir aneh-aneh saat itu.
Sebelum aku datang mengunjungi mimpimu. Aku dengan semangat bertanya pada seorang tua di sebelahku, entah siapa namanya. Aku bertanya tentang bagaimana cara lari dari tempat ini. Ia memberikan jawaban, dan aku melaksanakannya. Sampailah aku di mimpimu. Aku melihat wajahmu sangat indah. Sangat indah bahkan, ah, pokoknya sangat indah. Semua perempuan di dunia kalah cantiknya, saat kulihat kecantikan wajahmu saat itu. Aku memanggil-manggil namamu. Kau tuli rupanya. Bahkan saat kulihatkan lukisanku pun kau seperti orang buta. Padahal matamu sangat indah, ah, sangat indah, pokoknya sangat indah. Tapi kau tak bisa melihat lukisanku. Aku berusaha memanggilmu dengan menyanyikan lagu ciptaanku sendiri. Berharap kau mendengarnya.
Selalu di antara berjuta bintang di angkasa
Ada wajahmu, menggoda mataku
Sesekali mencubit khayalanku
Lalu kau tiba-tiba hadir dengan wajah penuh luka
Aku takut, sayang
Aku takut saat itu
Aku lupa kapan saat kita bermain rindu terakhir kali
Saat itu aku ingin membacakan puisi yang kubuatkan khusus untukmu
Tapi aku takut, sayang
Aku takut….
Aku tak bisa melanjutkan lagu yang berantakan itu. Aku harap kau, meskipun tak melihatku, kuharap telingamu masih berfungsi dengan baik. Jika kau tak mampu lagi mendengarnya, biarlah semua kenangan ini kusimpan rapat. Kutelan habis bersama hitamnya malam.
###
“Sudah tua masih saja kelayapan!! Ingat anak, ingat istri di rumah!!!” Bentak istriku.
Aku tak akan peduli dengan nyanyian istriku. Aku hanya ingin menemui dirimu, lalu membacakan puisi yang kuciptakan serta memperlihatkan lukisan wajahmu, tentu lukisan yang kulukis sendiri.
“Iya, aku keluar sebentar, nanti kembali lagi.” Jawabku tanpa beban.
Aku datang ke warung kopi pojok kota—dulu pernah kita habiskan malam minggu bersama di situ. Saat anak muda lain dengan semangat membawa pacarnya ke pantai, entah apa yang akan dilakukan. Justru saat itu aku hanya membawamu ke warung kopi kecil di pojok kota. Aku teringat saat kamu memesan teh hangat, dan memesankannya juga untukku. Kamu tak suka manis, sebab kutahu wajahmu sudah cukup manis untuk memaniskan tehmu. Kamu tertawa saat kumengatakannya. Kamu mencubitku lalu meminum teh yang masih panas itu, gantian aku yang tertawa melihatmu kepanasan.
Tapi malam ini aku datang sendiri di warung itu. Aku memesan wedang jahe. Aku hanya melihat beberapa orang dengan lahapnya menenggak minuman. Aku menutup hidung. Aku harap malam ini kamu juga datang ke warung ini. Aku akan menunggumu sampai dini hari nanti. Kuharap anakmu nangis dan minta dibelikan makan, dan kamu membelikannya di warung ini—lalu kita akan menikmati lagi saat bahagia dulu.
Harapan, tinggal harapan. Sampai jam menunjukkan pukul 24.00 aku tak melihat tanda-tanda kehadiranmu. Aku sudah menghabiskan tiga gelas jahe dan satu cangkir kopi, dan satu bungkus kretek filter. Kamu tak hadir sampai warung ini tutup. Aku pulang dengan harapan istri dan anak-anakku di rumah tidak marah.
Malam esoknya aku datang lebih sore, mungkin saja kau enggan keluar malam. Jadi sebelum matahari terbenam aku sudah berpakaian rapi ke warung kopi. Mungkin sore ini kau akan membeli gorengan untuk acara arisan teman-temanmu. Aku menunggumu dengan tenang. Senja menggelincir menjadi hitam dan selalu kelam. Ya, memang benar-benar hitam. Senja menjadi kelam, seperti hatiku saat menunggumu yang tidak datang-datang. Malam semakin malam. Bintang tak satu pun hadir menerangi gelap. Begitu pula suara mahkluk malam. Yang ada hanya suara guyonan orang-orang di pojok sana, sambil meminum minuman seperti kemarin. Baunya sangat menyengat hidungku. Mereka menenggak dengan gelas yang terbuat dari batang bambu.
Aku menunggumu di sini. Aku sungguh menunggumu. Dimana kau sekarang, mengapa kau tak datang-datang. Aku takut, bukan takut pada istriku yang nanti akan memarahiku lagi, tapi aku takut pada rasa takutku sendiri. Mengapa kau tak datang, aku akan menerimamu apa adanya, meskipun sekarang kau datang dengan tubuh keriput. Dengan rasa hormat aku akan menerimamu, sayang. Aku merasa bersalah karena dulu pernah meninggalkanmu, mengingkari janjiku, dan dosa lainnya yang tak bisa kuceritakan lagi. Aku takut kamu semakin membenciku.
Ternyata kau tak datang lagi malam ini. Aku tak akan menyerah. Setiap malam aku akan mengunjungi warung ini, menunggumu. Mungkin kau sesungguhnya tahu aku berada di sini tapi kau tak berani muncul, hanya melihatku dari jauh. Lalu dengan suara sangat pelan berusaha memanggilku. Tapi aku yang duduk sendirian di warung tak mendengar kata apapun darimu. Mungkin juga kau telah berubah jadi kupu-kupu yang selalu hinggap di pojok atap warung. Enggan terbang, kerena kau malu dituduh kupu-kupu malam. Akhirnya kau hanya diam sambil memandang wajahku dari kejauhan. Mungkin juga aku yang tak ingat lagi sekarang seperti apa wajahmu. Apakah sekarang sudah menjadi nenek yang berwajah keriput disana-sini. Rambut keperakan bercongkol tak beraturan. Sehingga aku lupa sama sekali dengan wajahmu. Atau kau yang jualan di warung ini, karena penjual warung memang seorang nenek. Bahkan mungkin aku sendiri telah lupa dengan warung yang dulu selalu kita singgahi, sehingga aku tak pernah melihat kau di sini. Atau mungkin kau yang malu datang kesini.
 Kemungkinan demi kemungkinan datang memberodong otakku. Hal pasti yang mungkin adalah jalan menuju wajahmu sekarang sudah mulai tertutup rapat. Tapi entah kenapa aku masih yakin kamu akan datang kesini malam ini. Aku tunggu saja sampai nanti.
Berharap bintang akan bersinar lebih terang malam ini. Dan kamu datang dengan membawa seraut wajah paling manis di dunia. Seperti ketika pertama bertemu di pantai itu. Saat aku pertama kali menginjakkan kaki di tanah ini. Tanah yang membuat kita lebih menikmati kehidupan dengan sederhana. Tanah yang semakin gersang karena pengeksploitasian yang serakah. Aku bisa merasakan panasnya cintamu seperti panasnya mentari jam sepuluh siang. Seperti panasnya udara yang semakin menyesakkan paru-paru. Cinta kadang begitu sakit.
Tapi mengapa aku masih mencintaimu sampai sekarang. Walau umurku saat ini  sudah tak patut mencintai lagi. Tapi, ah, cinta ini memaksuku selalu mengingat janji-janji dulu yang sekarang menggerogoti hati. Saat kau dan aku membagi kehangatan bersama di suatu malam dingin di warung kopi dan memesan dua gelas teh, rasanya nikmat sekali. Mengapa sekarang kau datang lagi mengganggu mimpiku, padahal sudah kuinjak-injak kenangan itu, sudah kuhapus semuanya. Kenangan pahit yang dulu selalu membuat kita memaksa menikmati sunyi. Dulu memang belum ada yang membawa kita menyaksikan gemerlapnya malam seperti saat ini. Belum ada hape, belum ada alat yang membuat komunikasi kita lancar. Tapi dulu hati kita terasa lebih dekat dari hape.
Kuputuskan kembali pulang dengan membawa sederet kenangan yang semakin erat mencengkeram hati. Menusuknya dengan berbagai mimpi yang tak terpenuhi. Pada lelahnya sepi yang hinggap tak kenal permisi, mengundang kita membaca sepi dan mimpi. Aku langkahkan kaki menyusuri jalan yang telah basah oleh hujan pertama di bulan September. Bau tanah menghapus rinduku pada masa kanak-kanak. Masa yang menggambarkan serbuan kesenangan. Jadi ingin kukembali pada masa kanak-kanak, aku ingin tetap menjadi anak-anak. Tanpa beban, bermain di kala hujan. Waw, betapa kenangan adalah obat mujarab di malam sepi. Aku terus melangkah menuju rumah. Istri dan anak-anakku sudah terlelap. Kubuka pintu pelan-pelan. Aku duduk di ruang tamu sebentar. Memutar lagi kenangan saat kau dan aku sedang asik-asiknya memadu asmara. Pahit, aku meninggalkanmu demi menuruti kemauan ibu. Kau menangis, aku  berjanji akan menulis puisi terakhir dan melukis wajahmu untuk terakhir kali. Tapi sampai sekarang, aku tak pernah menepati janji. Aku tak pernah teringat dengan janji itu. Aku terlalu sibuk mengurus anak istri. Hingga kemarin malam aku tiba-tiba teringat dengan janji yang menggumpal dalam hati dan menjadi kristal-kristal kenangan. Aku teringat kau mengecup keningku terakhir kali. Ah, manis dan pahit berebutan tempat. Saat itu, ah terlalu sedih.
Aku tak tahu, siapa yang mengetuk pintuku malam-malam. Kuharap kau datang. Tanpa pikir panjang aku membuka pintu. Betapa terkejutnya aku saat melihat wajahmu. Aih, aku tak peduli dengan wajahmu. Kau mengajakku lari dari sini. Kau membawakan minuman seperti di warung kopi itu. Kau menyuruhku lekas meminumnya. Aku meminumnya.
###
Malam batuk-batuk. Mendung kedinginan. Angin malas berlari. Hujan memeras keringatnya. Seorang lelaki tua berjalan sendirian menuju warung. Seperti menunggu seseorang. Menunggunya hingga malam larut ditelan dingin pagi yang mengintip malu di ufuk timur.
Karena yang ditunggu tak kunjung datang, dia memutuskan pulang. Kembalilah dia menyusuri dingin malam. Dengan langkah gontai dia berharap bisa menemui seseorang itu di dalam mimpinya—mimpi yang tak ingin dibangunkan.
Tuban, 111007062011

 Pernah dimuat dalam antologi Cerpen My Chemical Romance, Diva Press









Tidak ada komentar:

Posting Komentar