Senin, 23 Maret 2015

Ketika Cinta Memilih




Oleh: Thoni Mukarrom

Masa-masa indah jalinan cinta begitu indah, keindahan itu lebih dari keindahan yang kubayangkan sebelumnya. Aku seakan melihat dunia hanya sebagian kecil dari cinta itu sendiri. Melihat ayam-ayam yang setiap hari kerjaannya hanya memberikan kotorannya di teras rumahku, seperti melihat gumpalan “emas” yang tak ternilai harganya. Apalagi emas itu berada tepat di depan pintu kamar tidurku. Bahkan aku mendengar omelan-omelan Ibuku seperti suara nyanyian yang sangat merdu. Kalau boleh kukatakan suara itu seperti Celine Dion sewaktu menyanyikan lagu “My heart will go on”. Sangat romantis.
Hari ini adalah hari minggu hari yang aku tunggu-tunggu dalam seminggu. Hari yang dinantikan para remaja di kotaku untuk pergi bersama kekasihnya. Melepas penat.
Tuban, kota yang berada di pesisir pantai utara pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Persis di utara alun-alun kota terdapat bekas pelabuhan yang jaman kerajaan dulu dipakai pusat perdagangan penting. Tapi sekarang beralih fungsi menjadi tempat rekreasi para remaja. Terkenal dengan sebutan pantai “Boom” Tuban. Di sebelah barat ada bangunan masjid, kalau dilihat sekilas seperti istana di negeri dongeng. Di pelataran masjid terdapat banyak sekali orang-orang peminta sedekah. Mulai dari anak kecil sampai orang tua. Terkadang aku kasihan melihat mereka, seakan airmatanya sudah habis. Tapi tetap saja orang yang lewat di depannya tak memberi perhatian. Barangkali sudah suatu kebiasaan jadi tak perlu diperhatikan.
Banyak yang menyebut Kabupaten Tuban dengan julukan kota “Tuak”. Walaupun memang benar di sini banyak sekali ditemui orang-orang—hampir setiap hari “Tahlilan” di pinggir jalan sambil memegangang centak. Libur-libur kalau ada penertiban Satpol PP. Tapi setelah itu mereka kembali lagi seperti biasa. Aku lebih setuju kalau kotaku dijuluki sebagai kota Wali atau paling tidak kota Santri. Ini bukan tanpa alasan, sebab di sini terdapat banyak sekali makam-makam wali yang tersebar mulai dari pusat kota sampai pelosok desa. Termasuk juga makam salah satu wali Songo, yaitu makam sunan Bonang. Julukan ini mungkin juga bisa membuat para penduduknya lebih sadar dan tidak sering-sering berbuat maksiat.
Sejak Sabtu kemarin aku sudah membuat janji dengan pacarku untuk pergi jalan-jalan di pantai Boom, kata pacarku sih kalau jalan-jalan di pantai Boom itu enaknya waktu sore sambil melihat matahari terbenam. Aku menurut saja apa yang dia katakan.. Aku semakin tidak sabar menunggu sore tiba, ingin cepat-cepat kuputar jarum jam itu yang kelihatannya mulai malas bergerak.
Akhirnya senja tiba juga. Aku kaget ketika melihat pacarku berdandan tidak seperti biasanya, dia memakai pakaian serba hitam lebih tepatnya mamakai sandal hitam, celana pensil hitam, kemeja hitam dan kerudungnya juga hitam.
“Eh kamu habis melayat siapa? Siapa to yang meninggal dunia?” Tanyaku mengintrogasinya.
“Tidak kok Mas, aku pengen ae pake pakaian begini, apa aku tidak cantik lagi ya kalau pake baju seperti ini?” Sambil tersenyum malu.
“Tidak kok dek, kamu malah semakin manis kok kalau pake baju seperti itu, lihat aja tu banyak semut sudah mengantri mau ngerubutin kamu. He..he..he… O ya, tadi katanya mau ngomong sesuatu, mau ngomong apa sih? kelihatannya kok serius banget.” Kataku sambil menatap mata indahnya.
“Oh.. aku cuma mau pamit aja mas, kalau sebulan kedepan aku mau pergi ke Malang di rumah mbahku, aku diajak liburan sama mak’e kesana.”
“Lho kok nggak ngajak-ngajak aku to dek?” Jawabku menggoda.
“Nggak mas, aku cuma sama mak’e thok, bapak sama adek aja nggak diajak.”
“Kok lama banget sih?” Tanyaku lagi.
“Nggak tahu mas, aku cuma nurutin perintah mak’e.”
“Yo weslah kalo gitu, aku nggak bisa nglarang kamu.”
“Mas marah ya..”
“Nggak kok aku nggak marah, beneran.” Sambil kusedot batang terakhir kretekku. Aku menatap matanya, mata yang sangat indah seperti kilau permata.
Senja perlahan menutup siang menjadi malam, menutup terang menjadi gelap. Barisan burung Kuntul beriringan menambah indahnya senja sore ini. Lampu-lampu di pinggir pantai Boom mulai dinyalakan. Sinar matahari berganti lampu-lampu oranye di pinggir jalan. Tak terasa malam telah tiba, kami bergegas pulang.
Waktu aku jalan-jalan bersamanya di pantai Boom, tak kulihat dia memberikan tanda-tanda kegelisahan, atau kegundahan hati yang dipaksa disembunyikan. Dia hanya tersenyum meskipun terkadang kulihat senyuman itu dipaksa-paksakan. Entah apa yang telah terjadi pada dirinya, aku sama sekali tak tahu.
Setelah itu, ku selalu terpikirkan wajahnya dalam setiap malam, di saat mata tak mampu lagi menahan kelopaknya yang semakin berat, di saat mahkluk kecil penghisap darah yang selalu setia menemani tidur datang mengerubuti tubuhku. Wajah yang indah itu selalu menempel lekat-lekat di mataku, tak bisa kuhapus dengan memejamkannya apalagi hanya mengedipkannya. Sungguh tak bisa. Entah apa yang kurasakan ini? Inikah cinta yang kata orang-orang sungguh indah dan serasa dunia milik berdua. Tapi apa. Semua itu tak lagi kurasakan.
Sungguh kutak berdaya dibuatnya. Hari-hari berlalu begitu saja tanpa ada rasa bahagia, hanya rasa sedih yang selalu hadir menemani. Tatapan mataku selalu kosong, otak juga tak mampu bekerja maksimal, yang ada hanya lamunan.
*
Sebulan sudah virus cinta ini melumpuhkanku, mengunci kaki, menutup mata dan yang terakhir hampir membunuhku. Sampai saat ini akupun tidak tahu mengapa dia meninggalkanku tanpa memberi alasan yang bisa membuat hati rela melepasnya. Kuhubungi nomer HP-nya tidak pernah aktif, kudatangi rumahnya juga tidak pernah ada. Saat kutanya orangtuanya, beliau tak pernah memberi jawaban yang memuaskan. Dan seakan-akan mencari-cari alas an.
Siang yang panas ini serasa ada petir menyambar tepat di depan rumahku. Dan memunculkan seorang gadis, gadis yang datang dengan membawa secarik kertas bewarna merah dibungkus plastik murahan. Seorang gadis yang pernah kulihat sebelumnya. Benar sekali, dia adalah wanita yang selama ini menganggu tidurku, merusak mimpiku, menghancurkan semangatku. Kucoba menguatkan hati di depan matanya, kutarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan. 
 “Assalamu`alaikum…” Suaranya yang lembut tiba-tiba menghapus rasa rinduku selama ini.
”Wa`alaikumsalam…, kemarin-kemarin kemana aja, kok nggak pernah ada kabarnya?” Tanyaku penasaran.
 “Mau maen aja kok, sekalian mau ngasih ini.” Sambil menyodorkan kertas yang ada di genggaman tangannya.  
Ku langsung menyambarnya, seperti burung Elang menyambar anak ayam yang sedang jalan-jalan sendirian. Ku buka pelan-pelan, ternyata ada listrik 1000 watt masuk melalui jari-jari tanganku langsung melesat memporak-porandakan semua isi di dalam hati, lalu naik ke otak mengagetkan sel-sel otak yang dari kemarin tidak bekerja.
 “Undangan pernikahan?” Kucoba menguatkan hati, agar airmataku tidak meledak tepat di depan matanya.
 “I, i, iya Mas, itu surat undangan pernikahanku. Maaf ya, kalau selama ini aku tidak jujur padamu, kutakut Mas, kalau aku langsung berterus-terang itu akan lebih menyakitimu. Maaf ya Mas…” Bicaranya seperti ibu yang akan melepas anaknya kerja ke luar negeri. “Terima kasih atas kebaikan Mas selama ini. Sebenarnya aku sendiri tidak menginginkan pernikahan ini, tapi apa dayaku, aku tak bisa berbuat apa-apa, orangtuaku menjodohkanku. Dan aku sadar selama ini aku tak pernah membahagiakannya, mungkin dengan ini mereka bisa bahagia walaupun aku tersiksa. Kuharap Mas bisa memahami posisiku sekarang ini.” Sambil mengusap airmata yang dari tadi sudah tidak sabar mau keluar.
Aku akan menerima kenyataan ini, menerima dengan seikhlas-ikhlasnya. Meskipun sebenarnya aku tak rela dengan takdirku seperti ini. Tapi apa mau dikata, Tuhan telah berkehendak lain, Tuhan sedang menjalankan takdirnya—takdir yang tak bisa dirubah hambanya—takdir yang pasti dan aku harus menjalaninya.
 “Aku tahu, kamu di posisi yang sangat sulit saat ini, dan aku juga bisa merasakannya bila aku di posisimu sekarang, tapi inilah kenyataan yang harus kita jalani. Dan kita harus ikhlas menerima semua kenyataan ini. Sebelum kamu pergi, apa aku boleh meminta satu permintaan padamu?.
 “Apa itu Mas.. Kalau aku bisa melakukannya pasti akan ku lakukan.?” Suaranya lembut sekali.
“Aku hanya minta kepadamu agar kamu bisa mencintai dengan setulus cinta sejati kepada orang yang akan kamu nikahi, jangan sekali-kali kamu mengkhianatinya. Karena cinta yang sesungguhnya adalah di saat kamu bersumpah sehidup semati ketika akad nikah nanti. Apakah kamu bisa melakukan itu?” Kucoba setegar-tegarnya mengucapkan kata-kata ajaib itu, dan aku sendiri tak yakin bisa melaksanakan apa yang baru ku ucapkan.
 “Ya Mas, doakan saja aku bisa melewati bahtera rumah tangga nanti dengan selamat dan bisa menjadi keluarga sakinah, mawadah dan warohmah. Ya sudah Mas, kalau gitu aku pamit pulang dulu ya.., itu sudah ditunggu pamanku dari tadi.” Sambil mengusap pipinya yang basah dengan tisu
 “Jangan lupa datang ya Mas, di pesta pernikahanku nanti.” Sambil melambaikan tangan. Suaranya terasa lembut membelai telingaku.                                                                     
 “Iya.., Hati-hati ya.” Jawabku sekenanya.
Itulah kata-kata terakhir yang diucapkannya kepadaku sebelum kumelihatnya bersanding di pelaminan. Kata-kata itu seperti bunga mawar. Sampai-sampai aku tidak tahu di balik keindahannya itu terdapat duri-duri yang siap kapan saja menusuk-nusuk hati dan perasaanku.
Sambil menaiki sepedamotor dia melambaikan tangannya dengan tersenyum manis. Manis sekali senyumnya, baru kali ini aku melihat senyuman yang begitu manis yang terasa sampai ke dalam hati. Semoga kamu bahagia bersama pilihanmu sekarang.
Sebenarnya hatiku tidak bisa menerima semua kenyataan ini, tapi apa yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa menatapnya bahagia di atas remuknya hatiku, biarlah semua kisah ini berakhir seperti ini, aku akan ihklas menerimanya. Dan kuyakin suatu saat nanti akan ada seorang bidadari yang setia menemaniku di akhir pencarian cinta sejati.
***
Malam tiba-tiba datang dengan membawa perhiasan beserta pernak-perniknya. Sang rembulan tersenyum, bintang-bintang berkelap-kelip, persis lampu ulang tahunku tahun lalu. Semilir angin menyapu kegelisahan hati. Perpaduan suara mahkluk-mahkluk malam menyayikan lagu pengantar tidur. Kucoba pejamkan mata sambil membaca lagi tanggal yang tertera di cover undangan tadi, di situ tertulis rabu, 28 September 2008. Aku teringat, kalau tanggal itu mengigatkanku kembali pada saat pertama kali kuucapkan cinta dengannya: 28 September2006. Dan mengingatkanku pada sebuah nama yang terukir indah di dalam hati, nama yang tak pernah kuceritakan pada siapapun, nama yang takkan hilang dan akan terus menjadi rahasia indah cintaku, selamanya…
 Tuban, Juni 2009
 Pernah dimuat Surabaya Post







Tidak ada komentar:

Posting Komentar