Oleh: Thoni Mukarrom
Masa-masa indah jalinan cinta begitu indah, keindahan
itu lebih dari keindahan yang kubayangkan sebelumnya. Aku seakan melihat dunia
hanya sebagian kecil dari cinta itu sendiri. Melihat ayam-ayam yang setiap hari
kerjaannya hanya memberikan kotorannya di teras rumahku, seperti melihat
gumpalan “emas” yang tak ternilai harganya. Apalagi emas itu berada tepat di
depan pintu kamar tidurku. Bahkan aku mendengar omelan-omelan Ibuku seperti
suara nyanyian yang sangat merdu. Kalau boleh kukatakan suara itu seperti
Celine Dion sewaktu menyanyikan lagu “My
heart will go on”. Sangat romantis.
Hari ini adalah hari minggu hari yang aku tunggu-tunggu
dalam seminggu. Hari yang dinantikan para remaja
di kotaku untuk pergi bersama kekasihnya. Melepas penat.
Tuban, kota yang berada di pesisir pantai utara pulau
Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Persis di utara alun-alun kota terdapat bekas
pelabuhan yang jaman kerajaan dulu dipakai pusat perdagangan penting. Tapi
sekarang beralih fungsi menjadi tempat rekreasi para remaja. Terkenal dengan
sebutan pantai “Boom” Tuban. Di sebelah barat ada bangunan masjid, kalau
dilihat sekilas seperti istana di negeri dongeng. Di pelataran masjid terdapat
banyak sekali orang-orang peminta sedekah. Mulai dari anak kecil sampai orang
tua. Terkadang aku kasihan melihat mereka, seakan airmatanya sudah habis. Tapi
tetap saja orang yang lewat di depannya tak memberi perhatian. Barangkali sudah
suatu kebiasaan jadi tak perlu diperhatikan.
Banyak yang menyebut Kabupaten Tuban dengan julukan kota
“Tuak”. Walaupun memang benar di sini banyak sekali ditemui orang-orang—hampir
setiap hari “Tahlilan” di pinggir jalan sambil memegangang centak. Libur-libur kalau ada penertiban Satpol PP. Tapi setelah
itu mereka kembali lagi seperti biasa. Aku lebih setuju kalau kotaku dijuluki
sebagai kota Wali atau paling tidak kota Santri. Ini bukan tanpa alasan, sebab
di sini terdapat banyak sekali makam-makam wali yang tersebar mulai dari pusat
kota sampai pelosok desa. Termasuk juga makam salah satu wali Songo, yaitu
makam sunan Bonang. Julukan ini mungkin juga bisa membuat para penduduknya
lebih sadar dan tidak sering-sering berbuat maksiat.
Sejak Sabtu kemarin aku sudah membuat janji dengan
pacarku untuk pergi jalan-jalan di pantai Boom, kata pacarku sih kalau jalan-jalan
di pantai Boom itu enaknya waktu sore sambil melihat matahari terbenam. Aku
menurut saja apa yang dia katakan.. Aku semakin tidak sabar menunggu sore tiba,
ingin cepat-cepat kuputar jarum jam itu yang kelihatannya mulai malas bergerak.
Akhirnya senja tiba juga. Aku kaget ketika melihat
pacarku berdandan tidak seperti biasanya, dia memakai pakaian serba hitam lebih
tepatnya mamakai sandal hitam, celana pensil hitam, kemeja hitam dan
kerudungnya juga hitam.
“Eh kamu habis melayat siapa? Siapa to yang meninggal
dunia?” Tanyaku mengintrogasinya.
“Tidak kok Mas, aku pengen ae pake pakaian begini, apa
aku tidak cantik lagi ya kalau pake baju seperti ini?” Sambil tersenyum malu.
“Tidak kok dek, kamu malah semakin manis kok kalau pake
baju seperti itu, lihat aja tu banyak semut sudah mengantri mau ngerubutin
kamu. He..he..he… O ya, tadi katanya mau ngomong sesuatu, mau ngomong apa sih?
kelihatannya kok serius banget.” Kataku sambil menatap mata indahnya.
“Oh.. aku cuma mau pamit aja mas, kalau sebulan kedepan
aku mau pergi ke Malang di rumah mbahku, aku diajak liburan sama mak’e kesana.”
“Lho kok nggak ngajak-ngajak aku to dek?” Jawabku
menggoda.
“Nggak mas, aku cuma sama mak’e thok, bapak sama adek aja nggak diajak.”
“Kok lama banget sih?” Tanyaku lagi.
“Nggak tahu mas, aku cuma nurutin perintah mak’e.”
“Yo weslah kalo gitu, aku nggak bisa nglarang kamu.”
“Mas marah ya..”
“Nggak kok aku nggak marah, beneran.” Sambil kusedot
batang terakhir kretekku. Aku menatap matanya, mata yang sangat indah seperti
kilau permata.
Senja perlahan menutup siang menjadi malam, menutup
terang menjadi gelap. Barisan burung Kuntul beriringan menambah indahnya senja
sore ini. Lampu-lampu di pinggir pantai Boom mulai dinyalakan. Sinar matahari
berganti lampu-lampu oranye di pinggir jalan. Tak terasa malam telah tiba, kami
bergegas pulang.
Waktu aku jalan-jalan bersamanya di pantai Boom, tak
kulihat dia memberikan tanda-tanda kegelisahan, atau kegundahan hati yang
dipaksa disembunyikan. Dia hanya tersenyum meskipun terkadang kulihat senyuman
itu dipaksa-paksakan. Entah apa yang telah terjadi pada dirinya, aku sama
sekali tak tahu.
Setelah itu, ku selalu terpikirkan wajahnya dalam setiap
malam, di saat mata tak mampu lagi menahan kelopaknya yang semakin berat, di
saat mahkluk kecil penghisap darah yang selalu setia menemani tidur datang
mengerubuti tubuhku. Wajah yang indah itu selalu menempel lekat-lekat di
mataku, tak bisa kuhapus dengan memejamkannya apalagi hanya mengedipkannya.
Sungguh tak bisa. Entah apa yang kurasakan ini? Inikah cinta yang kata
orang-orang sungguh indah dan serasa dunia milik berdua. Tapi apa. Semua itu
tak lagi kurasakan.
Sungguh kutak berdaya dibuatnya. Hari-hari berlalu
begitu saja tanpa ada rasa bahagia, hanya rasa sedih yang selalu hadir
menemani. Tatapan mataku selalu kosong, otak juga tak mampu bekerja maksimal,
yang ada hanya lamunan.
*
Sebulan sudah virus
cinta ini melumpuhkanku, mengunci kaki, menutup mata dan yang terakhir
hampir membunuhku. Sampai saat ini akupun tidak tahu mengapa dia meninggalkanku
tanpa memberi alasan yang bisa membuat hati rela melepasnya. Kuhubungi nomer
HP-nya tidak pernah aktif, kudatangi rumahnya juga tidak pernah ada. Saat
kutanya orangtuanya, beliau tak pernah memberi jawaban yang memuaskan. Dan
seakan-akan mencari-cari alas an.
Siang yang panas ini serasa ada petir menyambar tepat di
depan rumahku. Dan memunculkan seorang gadis, gadis yang datang dengan membawa
secarik kertas bewarna merah dibungkus plastik murahan. Seorang gadis yang
pernah kulihat sebelumnya. Benar sekali, dia adalah wanita yang selama ini
menganggu tidurku, merusak mimpiku, menghancurkan semangatku. Kucoba menguatkan
hati di depan matanya, kutarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya
pelan-pelan.
“Assalamu`alaikum…”
Suaranya yang lembut tiba-tiba menghapus rasa rinduku selama ini.
”Wa`alaikumsalam…, kemarin-kemarin kemana aja, kok nggak
pernah ada kabarnya?” Tanyaku penasaran.
“Mau maen aja
kok, sekalian mau ngasih ini.” Sambil menyodorkan kertas yang ada di genggaman tangannya.
Ku langsung menyambarnya, seperti burung Elang menyambar
anak ayam yang sedang jalan-jalan sendirian. Ku buka pelan-pelan, ternyata ada
listrik 1000 watt masuk melalui
jari-jari tanganku langsung melesat memporak-porandakan semua isi di dalam
hati, lalu naik ke otak mengagetkan sel-sel otak yang dari kemarin tidak
bekerja.
“Undangan
pernikahan?” Kucoba menguatkan hati, agar airmataku tidak meledak tepat di
depan matanya.
“I, i, iya Mas,
itu surat undangan pernikahanku. Maaf ya, kalau selama ini aku tidak jujur
padamu, kutakut Mas, kalau aku langsung berterus-terang itu akan lebih
menyakitimu. Maaf ya Mas…” Bicaranya seperti ibu yang akan melepas anaknya
kerja ke luar negeri. “Terima kasih atas kebaikan Mas selama ini. Sebenarnya
aku sendiri tidak menginginkan pernikahan ini, tapi apa dayaku, aku tak bisa
berbuat apa-apa, orangtuaku menjodohkanku. Dan aku sadar selama ini aku tak
pernah membahagiakannya, mungkin dengan ini mereka bisa bahagia walaupun aku
tersiksa. Kuharap Mas bisa memahami posisiku sekarang ini.” Sambil mengusap airmata
yang dari tadi sudah tidak sabar mau
keluar.
Aku akan menerima kenyataan ini, menerima dengan
seikhlas-ikhlasnya. Meskipun sebenarnya aku tak rela dengan takdirku seperti
ini. Tapi apa mau dikata, Tuhan telah berkehendak lain, Tuhan sedang menjalankan
takdirnya—takdir yang tak bisa dirubah hambanya—takdir yang pasti dan aku harus
menjalaninya.
“Aku tahu, kamu
di posisi yang sangat sulit saat ini, dan aku juga bisa merasakannya bila aku
di posisimu sekarang, tapi inilah kenyataan yang harus kita jalani. Dan kita
harus ikhlas menerima semua kenyataan ini. Sebelum kamu pergi, apa aku boleh
meminta satu permintaan padamu?.
“Apa itu Mas..
Kalau aku bisa melakukannya pasti akan ku lakukan.?” Suaranya lembut sekali.
“Aku hanya minta kepadamu agar kamu bisa mencintai
dengan setulus cinta sejati kepada orang yang akan kamu nikahi, jangan
sekali-kali kamu mengkhianatinya. Karena cinta yang sesungguhnya adalah di saat
kamu bersumpah sehidup semati ketika akad nikah nanti. Apakah kamu bisa
melakukan itu?” Kucoba setegar-tegarnya mengucapkan kata-kata ajaib itu, dan
aku sendiri tak yakin bisa melaksanakan apa yang baru ku ucapkan.
“Ya Mas, doakan
saja aku bisa melewati bahtera rumah tangga nanti dengan selamat dan bisa
menjadi keluarga sakinah, mawadah dan warohmah. Ya sudah Mas, kalau gitu aku pamit pulang dulu ya.., itu
sudah ditunggu pamanku dari tadi.” Sambil mengusap pipinya yang basah dengan tisu.
“Jangan lupa
datang ya Mas, di pesta pernikahanku nanti.” Sambil melambaikan tangan.
Suaranya terasa lembut membelai telingaku.
“Iya.., Hati-hati
ya.” Jawabku sekenanya.
Itulah kata-kata terakhir yang diucapkannya kepadaku
sebelum kumelihatnya bersanding di pelaminan. Kata-kata itu seperti bunga
mawar. Sampai-sampai aku tidak tahu di balik keindahannya itu terdapat
duri-duri yang siap kapan saja menusuk-nusuk hati dan perasaanku.
Sambil menaiki sepedamotor dia melambaikan tangannya
dengan tersenyum manis. Manis sekali senyumnya, baru kali ini aku melihat
senyuman yang begitu manis yang terasa sampai ke dalam hati. Semoga kamu
bahagia bersama pilihanmu sekarang.
Sebenarnya hatiku tidak bisa menerima semua kenyataan
ini, tapi apa yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa menatapnya bahagia di atas remuknya
hatiku, biarlah semua kisah ini berakhir seperti ini, aku akan ihklas
menerimanya. Dan kuyakin suatu saat nanti akan ada seorang bidadari yang setia
menemaniku di akhir pencarian cinta sejati.
***
Malam tiba-tiba datang dengan membawa perhiasan beserta
pernak-perniknya. Sang rembulan tersenyum, bintang-bintang berkelap-kelip,
persis lampu ulang tahunku tahun lalu. Semilir angin menyapu kegelisahan hati.
Perpaduan suara mahkluk-mahkluk malam menyayikan lagu pengantar tidur. Kucoba
pejamkan mata sambil membaca lagi tanggal yang tertera di cover undangan tadi, di situ tertulis rabu, 28 September 2008. Aku
teringat, kalau tanggal itu mengigatkanku kembali pada saat pertama kali
kuucapkan cinta dengannya: 28 September2006. Dan mengingatkanku pada sebuah nama
yang terukir indah di dalam hati, nama yang tak pernah kuceritakan pada
siapapun, nama yang takkan hilang dan akan terus menjadi rahasia indah cintaku,
selamanya…
Tuban, Juni 2009
Pernah dimuat Surabaya Post
Tidak ada komentar:
Posting Komentar