Senin, 23 Maret 2015

Wajah Asih




Oleh: Thoni Mukarrom
Ia tak pulang-pulang. Padahal malam akan menelan pagi. Lelaki itu tak mau pulang. Sudah dari jam tujuh tadi. Tubuhnya tegap, kumis tipis dengan rambut cepak. Umurnya kira-kira 22 tahun lebih. Aku tak tahu namanya. Lelaki itu sungguh menyebalkan. Karena ia, aku tak dapat tamu malam ini. Ia menungguku terus, merayuku. Aku katakan, aku hanyalah perempuan murahan. Ia tak peduli.
“Hai Sih!, siapa dia?” bentak salah seorang di sampingku.
“Aku tak tau.”
Ia tetap saja tak mau pergi. Padahal sudah kuceritakan darimana asal-usulku. Seperti apa pekerjaanku dan semua kejelekanku. Ia tetap saja tidak mau pergi. Lelaki itu sudah dari kemarin kulihat duduk di sekitar bangku teras. Kalau terus seperti ini, pelangganku akan lari. Kemana aku harus cari makan esok hari. Lelaki kurang kerjaan itu sungguh menyebalkan. Ia mencuri jatah makanku malam ini. Dari tadi kulihat lima pelangganku enggan masuk.
“He kamu, pergi sana! Ngapain menungguku di sini?”
 Sekali lagi kusuruh ia pergi, hasilnya sama, ia tetap berdiri di depan pintu. Ya Tuhan, makhluk apakah ia? Apakah ia tak punya telinga. Ataukah ia memang makhluk tak bertelinga. Suaraku dari tadi tidak dipedulikannya. Kucoba panggil petugas keamanan. Malah petugas itu tak ada di tempat, mungkin sibuk melerai orang bertengkar. Teman sampingku juga diam saja. Ia terlihat gembira karena pelangganku lari padanya.
Pagi sudah mengintip malu di ujung sofa. Udara dingin merasuk perlahan menusuk tubuh. Lelaki itu tetap menatap mataku, tanpa peduli pagi siap menjelang. Kutanya apa maunya, ia tak menjawab. Kutanya darimana ia datang, ia tetap diam. Ah, aku tak peduli. Kulangkahkah saja kakiku keluar. Ia mengikuti. Biar, mungkin ia tak percaya dengan semua ceritaku tadi.
Senja datang lagi. Sinar keemasannya membawa angin, membelaiku mesra. Kupu-kupu mulai datang berdandan. Sinar remang menyelimuti penjuru kompleks. Bintang agak malu-malu menampakkan diri. Sejak mahgrib tadi, aku telah menghias wajahku dengan berbagai merk make up.
Jarak kostku dengan kompleks tak begitu jauh, sepuluh menit jalan kaki. Tapi itu terasa sangat jauh. Malam nanti akan kulalui— seperti mendaki gunung tanpa peta dan bekal. Aku tak tahu ada apakah di atas sana. Mungkin angin akan menghempaskanku, atau ada binatang liar menerkam dan memakanku. Kalau nasibku sedang sedikit baik, aku akan menemukan buah-buahan—setelah itu menunggu pertolongan dan kalau tidak ada, tinggal menunggu ajal. Banyak orang berkata hidup adalah pilihan, tapi itu tak berlaku bagiku. Aku tak punya pilihan. Sajak kecil aku sudah seperti ini. Melihat hitamnya malam dengan cahaya warna-warni, padahal malam tetap hitam. Hmm, jika mengingat itu aku tak mampu menangis lagi. Airmata telah habis kuperas setiap malam. Tapi, selalu saja  ada sisa airmata yang harus kuperas. Hidup memang tak ada pilihan. Tak seperti banyak orang katakan— itu tak berlaku bagiku.
Sejak kecil ibu telah membiarkanku di tempat ini. Tempat penuh kebahagiaan semu. Terkadang kuberpikir memang lebih enak bekerja seperti ini. Tidak bersusah payah seperti orang lain. Enak kan, kerja cuma begitu saja sudah bisa dapat uang banyak. Zaman sekarang sulit cari kerja, apalagi hanya berbekal ijasah SMP sepertiku. Lagi pula Ibu telah meninggalkan sejak 5 tahun lalu, saatku berumur 15 tahun. Setelah pergi sampai sekarang, ibu tak pernah memberi kabar padaku. Ya, beginilah hidupku, hidup tanpa pilihan. Tanpa tahu ayah dan ditinggalkan ibu.
Ibu meninggalkanku saat aku belum mengerti tentang kehidupan. Seingatku, ibu menitipkanku di tempat ini. Tempat penuh warna hitam yang dinyalakan dengan warna-warni kehidupan. Hidup menyelusuri hitam tanpa tahu jalan keluar. Masih adakah cahaya di seberang lorong sana. Sedang tubuhku telah beradaptasi dengan berjuta warna hitam. Warna yang terlihat sebagian orang sebagai warna penghuni neraka paling bawah. Sebagian lagi menganggap warna kenikmatan— yang tak pernah dirasakan oleh orang yang menyebut dirinya penghuni surga. Terkadang kuberpikir sebenarnya surga dan neraka diciptakan untuk siapa? Biarlah, Tuhan sendiri yang menentukannya. Aku tak pantas mencampuri urusan tersebut.
Ini kehidupanku, aku harus menjalaninya sekuat hati. Tapi inilah hidupku, hidup tanpa pilihan. Aku tidak tahu, di jalan apa sekarang. Kuharap Tuhan masih bisa mendengar dan melihatku. Aku hanya mengais rizki, meskipun rizki yang kudapat, mereka menyebutnya dosa.
Derap kakiku disambut dentuman musik disko. Tiba-tiba lelaki brengsek itu datang lagi. Ia membawa sebuah senyum. Aku berusaha tak melihatnya. Ia melirik. Aku langsung masuk kompleks. Tanpa kuketahui ia telah di depan pintu kamarku. Ia seperti hantu, ia datang dengan begitu cepat tanpa sepengetahuanku.
“Kenapa sih elo ngikutin gue mulu?”
“?”
“Kenapa diam saja? Punya telinga nggak sih!!”
Lelaki itu sungguh brengsek. Benar-benar brengsek dari semua tamu yang pernah kulayani.
***
Ia diam saja melihatku. Padahal dari tadi aku ingin ngomong sesuatu padanya. Wanita muda itu, sungguh— ia mirip pacarku. Umurnya kira-kia 20 tahun. Sudah setahun aku mencari keberadaannya. Di kota besar seperti ini, tak mudah mencari seorang manusia. Aku sudah berpikir, mungkin ia telah diculik. Dikirim ke luar negeri. Dijadikan pembantu rumah tangga tanpa bayaran, itu kalau nasibnya sedikit mujur. Kalau nasibnya sial, ia mungkin dijadikan budak nafsu, atau paling tidak diperkosa  oleh penculiknya. Ditinggal begitu saja.
 Tidak! Semua itu salah. Malam ini aku menemukan lagi pacarku yang menghilang setahun lalu. Mungkin ia kaget dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Mungkin juga ia malu dengan melihatku datang. Tapi aku tak peduli semua itu. Meskipun ia telah menjadi—apapun itu. Aku tak peduli.
Aku tetap saja berdiri di depan pintu kamarnya. Aku tak peduli dengan lelaki yang datang silih berganti. Aku tak peduli teriakkannya ketika menyuruhku pergi.
“Asih, ini mas. Ayo ikut mas pulang. Emak mencarimu. Apa kamu nggak kasihan melihat Emak sakit karena memikirkanmu? Ayo ikut mas pulang..”
“Aku bukan Asih!!”
“Nggak usah malu, sih. Nanti aku akan menjelaskan semuanya ke Emak. Kujamin Emak nggak akan marah.”
“Benar, aku bukan Asih. Sekarang cepat pergi, nanti tamu-tamuku akan lari.”
“Sih...ini mas... mas sudah mencari kamu selama 6 bulan lalu. Mas sudah menanyakan ke berbagai orang di kota ini, tapi mereka semua menjawab tidak tahu. Lalu kuputuskan untuk pergi kesini, siapa tahu ada kamu. Ternyata benar, kamu ada di sini.”
“Aku tak peduli dengan ceritamu. Yang penting aku bukan Asih yang kamu cari, titik!
Aku tetap menunggunya. Siapa tahu nanti malam dia mau mengaku saat sepi orang.
***
Orang ini benar-benar brengsek. Kemarin ia sudah kumaafkan. Sekarang malah datang lagi. Aku harus bertindak tegas. Kusewa preman yang biasa mangkal di depan. Kusuruh mengusirnya, kalau tetap tidak mau, biar ia rasakan bogem mentah. Haha, sekali-kali aku harus sedikit keras. Kalau tidak begini, bisa-bisa aku tak dapat uang lagi. Bolehlah melakukan sedikit kejahatan asalkan demi kebaikan, bukan begitu?
Sebenarnya aku kasihan melihat lelaki kurus itu diseret dan dipukuli preman. Biarlah, semua demi kebaikanku. Kudengar ia memanggil— yang menurutnya namaku, aku tak peduli. Yang penting sekarang pengganggu itu sudah pergi.
Pelangganku sudah banyak mengantri. Malam ini akan sangat melelahkan.
***
Aku rela. Aku sungguh rela. Demi dapat menyenangkan hatinya. Mungkin ini sambutan yang bisa ia berikan padaku saat ini. Tubuhku tergeletak lemah di ujung jalan. Meski banyak orang lewat, mereka tak peduli denganku. Aku dianggap bangkai tikus.
Mengapa ia begitu tega padaku. Ataukah ia lupa denganku. Mungkin saja ia habis tertabrak sepeda motor dan itu menimbulkan amnesia. Biarlah, mungkin ia shock melihat kadatangnku. Padahal aku tak akan menceritakan apapun yang terjadi di sini kepada keluarganya. Tentang pekerjaanya. Tentang dandanannya. Tentang perlakuannya padaku.
Apakah ia ingin balas dendam padaku. Dulu memang pernah kutinggalkannya. Padahal saat itu aku hanya ingin pergi sementara— mencari pekerjaan. Setelah lulus SMA aku langsung pergi ke luar pulau. Menjadi kuli bangunan. Setelah dua tahun berlalu, aku kembali ke kampung halaman. Aku kaget setelah mendengar cerita dari Emaknya, bahwa Asih ingin pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Beliau sudah melarangnya, tapi Asih tetap bersikeras. Akhirnya beliau melepasnya dengan derai airmata.
“Nak, lekas temukan Asih. Begitulah pesan terakhir emaknya saat kuberpamitan mencarinya.
***
“Ayo, Sih, ikut mas pulang... Emak sakit lo...di rumah tak ada siapa-siapa.” Ajaknya, sambil sangat memelas.
“Aku bukan Asih.”
“Kamu tak usah begitu, aku tak akan menceritakan pada emak kamu, beneran..,”
“Sekali lagi ya! aku BUKAN ASIH!!!”
Mengapa lelaki itu begitu menginginkanku. Padahal aku bukan orang yang dicarinya. Mungkin, ia frustasi, atau gila karena ditinggal pacarnya yang kebetulan mirip wajahku. Dasar, dunia memang sudah lebih gila dari yang kuduga.
***
Malam semakin kelam. Lelaki-perempuan pengunjung pesta mulai pulang. Tinggal seorang pemuda dan seorang wanita muda. Mereka adu mulut hebat sekali. Petugas keamanan tak peduli. Waktu sudah mendekati jam dua pagi. Mereka terlihat menyembunyikan sesuatu. Lelaki muda dan wanita muda itu akhirnya pulang dengan jalan masing-masing. Tak ada salam, tak ada kata- kata terakhir.
Tuban, 08-09 04 2011


 Pernah dimuat Majalah Akbar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar