Oleh: Thoni Mukarrom
Ia tak pulang-pulang. Padahal malam akan menelan
pagi. Lelaki itu tak mau pulang. Sudah dari jam tujuh tadi. Tubuhnya tegap,
kumis tipis dengan rambut cepak. Umurnya kira-kira 22 tahun lebih. Aku tak tahu
namanya. Lelaki itu sungguh menyebalkan. Karena ia, aku tak dapat tamu malam
ini. Ia menungguku terus, merayuku. Aku katakan, aku hanyalah perempuan
murahan. Ia tak peduli.
“Hai Sih!, siapa dia?” bentak salah seorang di
sampingku.
“Aku tak tau.”
Ia tetap saja tak mau pergi. Padahal sudah kuceritakan
darimana asal-usulku. Seperti apa pekerjaanku dan semua kejelekanku. Ia tetap
saja tidak mau pergi. Lelaki itu sudah dari kemarin kulihat duduk di sekitar
bangku teras. Kalau terus seperti ini, pelangganku akan lari. Kemana aku harus
cari makan esok hari. Lelaki kurang kerjaan itu sungguh menyebalkan. Ia mencuri
jatah makanku malam ini. Dari tadi kulihat lima pelangganku enggan masuk.
“He kamu, pergi sana! Ngapain menungguku di sini?”
Sekali lagi
kusuruh ia pergi, hasilnya sama, ia tetap berdiri di depan pintu. Ya Tuhan,
makhluk apakah ia? Apakah ia tak punya telinga. Ataukah ia memang makhluk tak
bertelinga. Suaraku dari tadi tidak dipedulikannya. Kucoba panggil petugas
keamanan. Malah petugas itu tak ada di tempat, mungkin sibuk melerai orang bertengkar.
Teman sampingku juga diam saja. Ia terlihat gembira karena pelangganku lari
padanya.
Pagi sudah mengintip malu di ujung sofa. Udara
dingin merasuk perlahan menusuk tubuh. Lelaki itu tetap menatap mataku, tanpa
peduli pagi siap menjelang. Kutanya apa maunya, ia tak menjawab. Kutanya
darimana ia datang, ia tetap diam. Ah, aku tak peduli. Kulangkahkah saja kakiku
keluar. Ia mengikuti. Biar, mungkin ia tak percaya dengan semua ceritaku tadi.
Senja datang lagi. Sinar keemasannya membawa
angin, membelaiku mesra. Kupu-kupu mulai datang berdandan. Sinar remang
menyelimuti penjuru kompleks. Bintang agak malu-malu menampakkan diri. Sejak
mahgrib tadi, aku telah menghias wajahku dengan berbagai merk make up.
Jarak kostku dengan kompleks tak begitu jauh, sepuluh
menit jalan kaki. Tapi itu terasa sangat jauh. Malam nanti akan kulalui—
seperti mendaki gunung tanpa peta dan bekal. Aku tak tahu ada apakah di atas
sana. Mungkin angin akan menghempaskanku, atau ada binatang liar menerkam dan
memakanku. Kalau nasibku sedang sedikit baik, aku akan menemukan
buah-buahan—setelah itu menunggu pertolongan dan kalau tidak ada, tinggal
menunggu ajal. Banyak orang berkata hidup adalah pilihan, tapi itu tak berlaku
bagiku. Aku tak punya pilihan. Sajak kecil aku sudah seperti ini. Melihat
hitamnya malam dengan cahaya warna-warni, padahal malam tetap hitam. Hmm, jika
mengingat itu aku tak mampu menangis lagi. Airmata telah habis kuperas setiap
malam. Tapi, selalu saja ada sisa
airmata yang harus kuperas. Hidup memang tak ada pilihan. Tak seperti banyak
orang katakan— itu tak berlaku bagiku.
Sejak kecil ibu telah membiarkanku di tempat ini.
Tempat penuh kebahagiaan semu. Terkadang kuberpikir memang lebih enak bekerja
seperti ini. Tidak bersusah payah seperti orang lain. Enak kan, kerja cuma
begitu saja sudah bisa dapat uang banyak. Zaman sekarang sulit cari kerja,
apalagi hanya berbekal ijasah SMP sepertiku. Lagi pula Ibu telah meninggalkan
sejak 5 tahun lalu, saatku berumur 15 tahun. Setelah pergi sampai sekarang, ibu
tak pernah memberi kabar padaku. Ya, beginilah hidupku, hidup tanpa pilihan.
Tanpa tahu ayah dan ditinggalkan ibu.
Ibu meninggalkanku saat aku belum mengerti tentang
kehidupan. Seingatku, ibu menitipkanku di tempat ini. Tempat penuh warna hitam
yang dinyalakan dengan warna-warni kehidupan. Hidup menyelusuri hitam tanpa
tahu jalan keluar. Masih adakah cahaya di seberang lorong sana. Sedang tubuhku
telah beradaptasi dengan berjuta warna hitam. Warna yang terlihat sebagian
orang sebagai warna penghuni neraka paling bawah. Sebagian lagi menganggap
warna kenikmatan— yang tak pernah dirasakan oleh orang yang menyebut dirinya
penghuni surga. Terkadang kuberpikir sebenarnya surga dan neraka diciptakan
untuk siapa? Biarlah, Tuhan sendiri yang menentukannya. Aku tak pantas mencampuri
urusan tersebut.
Ini kehidupanku, aku harus menjalaninya sekuat
hati. Tapi inilah hidupku, hidup tanpa pilihan. Aku tidak tahu, di jalan apa
sekarang. Kuharap Tuhan masih bisa mendengar dan melihatku. Aku hanya mengais rizki, meskipun rizki yang kudapat, mereka menyebutnya dosa.
Derap kakiku disambut dentuman musik disko.
Tiba-tiba lelaki brengsek itu datang lagi. Ia membawa sebuah senyum. Aku
berusaha tak melihatnya. Ia melirik. Aku langsung masuk kompleks. Tanpa
kuketahui ia telah di depan pintu kamarku. Ia seperti hantu, ia datang dengan
begitu cepat tanpa sepengetahuanku.
“Kenapa sih elo ngikutin gue mulu?”
“?”
“Kenapa diam saja? Punya telinga nggak sih!!”
Lelaki itu sungguh brengsek. Benar-benar brengsek
dari semua tamu yang pernah kulayani.
***
Ia diam saja melihatku. Padahal dari tadi aku
ingin ngomong sesuatu padanya. Wanita muda itu,
sungguh— ia mirip pacarku. Umurnya kira-kia 20 tahun. Sudah setahun aku mencari
keberadaannya. Di kota besar seperti ini, tak mudah mencari seorang manusia. Aku
sudah berpikir, mungkin ia telah diculik. Dikirim ke luar negeri. Dijadikan
pembantu rumah tangga tanpa bayaran, itu kalau nasibnya sedikit mujur. Kalau
nasibnya sial, ia mungkin dijadikan budak nafsu, atau paling tidak diperkosa oleh penculiknya. Ditinggal begitu saja.
Tidak!
Semua itu salah. Malam ini aku menemukan lagi pacarku yang menghilang setahun
lalu. Mungkin ia kaget dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Mungkin juga ia malu
dengan melihatku datang. Tapi aku tak peduli semua itu. Meskipun ia telah
menjadi—apapun itu. Aku tak peduli.
Aku tetap saja berdiri di depan pintu kamarnya.
Aku tak peduli dengan lelaki yang datang silih berganti. Aku tak peduli
teriakkannya ketika menyuruhku pergi.
“Asih, ini mas. Ayo ikut mas pulang. Emak
mencarimu. Apa kamu nggak kasihan melihat Emak sakit karena memikirkanmu? Ayo
ikut mas pulang..”
“Aku bukan Asih!!”
“Nggak usah malu, sih. Nanti aku akan menjelaskan
semuanya ke Emak. Kujamin Emak nggak akan marah.”
“Benar, aku bukan Asih. Sekarang cepat pergi,
nanti tamu-tamuku akan lari.”
“Sih...ini mas... mas sudah mencari kamu selama 6
bulan lalu. Mas sudah menanyakan ke berbagai orang di kota ini, tapi mereka
semua menjawab tidak tahu. Lalu kuputuskan untuk pergi kesini, siapa tahu ada
kamu. Ternyata benar, kamu ada di sini.”
“Aku tak peduli dengan ceritamu. Yang penting aku
bukan Asih yang kamu cari, titik!”
Aku tetap menunggunya. Siapa tahu nanti
malam dia mau mengaku saat sepi orang.
***
Orang ini benar-benar brengsek. Kemarin ia sudah
kumaafkan. Sekarang malah datang lagi. Aku harus bertindak tegas. Kusewa preman
yang biasa mangkal di depan. Kusuruh mengusirnya, kalau tetap tidak mau, biar
ia rasakan bogem mentah. Haha, sekali-kali aku harus sedikit keras. Kalau tidak
begini, bisa-bisa aku tak dapat uang lagi. Bolehlah melakukan sedikit kejahatan
asalkan demi kebaikan, bukan begitu?
Sebenarnya aku kasihan melihat lelaki kurus itu
diseret dan dipukuli preman. Biarlah, semua demi kebaikanku. Kudengar ia
memanggil— yang
menurutnya namaku, aku tak
peduli. Yang penting sekarang pengganggu itu sudah pergi.
Pelangganku sudah banyak mengantri. Malam ini akan
sangat melelahkan.
***
Aku rela. Aku sungguh rela. Demi dapat
menyenangkan hatinya. Mungkin ini sambutan yang bisa ia berikan padaku saat
ini. Tubuhku tergeletak lemah di ujung jalan. Meski banyak orang lewat, mereka
tak peduli denganku. Aku dianggap bangkai tikus.
Mengapa ia begitu tega padaku. Ataukah ia lupa
denganku. Mungkin saja ia habis tertabrak sepeda motor dan itu menimbulkan
amnesia. Biarlah, mungkin ia shock melihat kadatangnku. Padahal aku tak
akan menceritakan apapun yang terjadi di sini kepada keluarganya. Tentang
pekerjaanya. Tentang dandanannya. Tentang perlakuannya padaku.
Apakah ia ingin balas dendam padaku. Dulu memang
pernah kutinggalkannya. Padahal saat itu aku hanya ingin pergi sementara—
mencari pekerjaan. Setelah lulus SMA aku langsung pergi ke luar pulau. Menjadi
kuli bangunan. Setelah dua tahun berlalu, aku kembali ke kampung halaman. Aku
kaget setelah mendengar cerita dari Emaknya, bahwa Asih ingin pergi ke kota
untuk mencari pekerjaan. Beliau sudah melarangnya, tapi Asih tetap bersikeras.
Akhirnya beliau melepasnya dengan derai airmata.
“Nak, lekas temukan Asih.” Begitulah pesan terakhir
emaknya saat kuberpamitan mencarinya.
***
“Ayo, Sih, ikut mas pulang... Emak sakit lo...di
rumah tak ada siapa-siapa.” Ajaknya, sambil sangat memelas.
“Aku bukan Asih.”
“Kamu tak usah begitu, aku tak akan menceritakan
pada emak kamu, beneran..,”
“Sekali lagi ya! aku BUKAN ASIH!!!”
Mengapa lelaki itu begitu menginginkanku. Padahal
aku bukan orang yang dicarinya. Mungkin, ia frustasi, atau gila karena
ditinggal pacarnya yang kebetulan mirip wajahku. Dasar, dunia memang sudah
lebih gila dari yang kuduga.
***
Malam semakin kelam. Lelaki-perempuan pengunjung
pesta mulai pulang. Tinggal seorang pemuda dan seorang wanita muda. Mereka adu
mulut hebat sekali. Petugas keamanan tak peduli. Waktu sudah mendekati jam dua pagi. Mereka terlihat menyembunyikan sesuatu. Lelaki muda
dan wanita muda itu akhirnya pulang dengan jalan masing-masing. Tak ada salam,
tak ada kata- kata terakhir.
Tuban, 08-09 04 2011
Pernah dimuat Majalah Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar