Buku dan Rencana Masa Depan
Di kota T aku tidak menemukan toko buku yang menjual buku sastra. Ada satu dua toko yang menjual buku pelajaran sekolah yang setiap tahun berubah namun isinya itu-itu saja. Sepanjang jalan berjejer warung dengan aneka makanan. Selalu ramai, apalagi menjelang malam. Semua penjual dari delapan penjuru angin seperti datang ke kota itu. Memenuhi kota kecil yang semakin sesak dengan debu dan asap pabrik yang tumbuh dan beranak-pinak. Semua orang hanya tahu kerja dan makan. Menghabiskan sore dengan memandang pantai yang di jalannya penuh warung kopi. Senja di kota itu begitu indah.
Dulu memang ada toko buku, namun hanya bertahan dua tahun dan akhirnya tutup. Isi bukunya banyak, lengkap dan banyak menjual buku sastra. Mungkin harganya terlalu mahal bagi masyarakat yang belum memasukkan buku sebagai kebutuhan. Setelah tutup, toko itu berubah menjadi warung makan.
Di kota T, setiap siang dan malam banyak sekali tukang becak berlalu lalang menaik-turunkan peziarah yang datang dari berbagai kota. Mereka berdoa di makam orang suci di belakang masjid agung. Setiap kali mereka datang, senanglah hati para tukang becak itu. Sehari tak kurang uang lima puluh ribu mereka kantongi. Jumlah yang lumayan daripada gaji guru honorer. Selain tukang becak, pengemis juga memperoleh berkah. Sehari minimal mendapat delapan puluh ribu. Begitu mereka menukar kepada pedagang kakilima dengan wajah memelas dan berkata: hari ini sepi. Biasanya mereka mendapat paling tidak seratus ribu atau lebih dalam sehari.
Buku memang tidak terlalu penting kecuali bagi mahasiswa yang akan mengerjakan skripsi. Aku tidak pernah melihat orang dengan serius membaca buku entah itu di perpustakaan, di angkot, ataupun didiskusikan di kampus. Seolah buku adalah mahkluk langka dan hanya ditemui di forum khusus pecinta buku. Pernah suatu hari aku dapat undangan workshop cerpen koran K di kota B. Perjalanan pertamakali ke kota B. Aku beruntung bisa ikut workshop yang dihadiri sastrawan besar Indonesia yang namanya sudah seperti legenda bagi kalangan penyuka sastra. Di kota B banyak turis asing membaca, entah itu saat menunggu pesawat, di dalam pesawat, di pantai, di jalanan. Mereka selalu membaca buku. Sangat berbeda ketika melihat turis lokal di sekitarnya.
Cerita lain yang agak mengerikan, di sebuah perpustakaan bukan digunakan sebagai tempat membaca tapi ada sebagian remaja yang nekat bermesraan di dalamnya. Untung ada cctv yang dipasang di pojok ruangan sehingga bisa langsung ditegur dan media dengan sigap memuatnya sebagai berita yang menarik dibaca.
Buku-buku di perpustakaan kota T terlihat jarang terjamah dan berjejer rapi di raknya. Orang yang datang kebanyakan hanya bermain game via internet gratis yang disediakan. Membuka media sosial atau malah mengunduh film, entah itu yang bewarna biru atau warna warni. Beberapa orang lain sibuk membuka-buka surat kabar mencari berita menarik yang hanya dibaca judulnya setelah itu ditinggalkan. Sementara di bagian rak buku untuk anak hanya beberapa ibu atau bapak yang mengajak anaknya untuk sekadar bermain atau membacakan cerita atau melihat gambar sampul buku yang menarik.
Aku ingat dulu ketika masuk TK, meski belum bisa membaca—bapak suka membawakan majalah anak-anak seperti Kuncung. Majalah itu disertai gambar-gambar lucu, kuminta ibu membacakan cerita di dalamnya. Ketika kelas dua SD dan sudah bisa membaca sendiri, majalah tersebut sudah tidak ada lagi. Entah dimakan tikus, rayap, atau berpindah tempat di pengepul rongsokan. Untung pada waktu itu pamanku berlangganan majalah Bobo dan Mentari. Cerita bersambung tentang gajah selalu membuat penasaran dan beberapa berita terkini tentang teknologi yang dikemas menarik. Alhamdulillah, majalah tersebut hingga kini masih terbit.
Ketika masuk SMA aku tak lagi membaca buku. Maksudnya buku bacaan seperti cerita bergambar, komik, atau apa saja selain buku pelajaran sekolah. Bapak kadang membawa majalah daerah yang beritanya membosankan. Aku masih membacanya karena ada rubrik humor, puisi, bahkan cerpen.
***
“Kalau pulang pasti bawa banyak buku.” Kata ibu seperti kasihan melihatku membawa beban berat atau kecewa karena aku tidak membawa buah tangan makanan. Aku hanya diam tersenyum sedikit lalu masuk kamar.
Memang kamarku sudah penuh dengan buku apa saja yang kuanggap penting. Mulai buku bagaimana cara menjadi guru yang baik sampai menjadi penulis cerpen yang dipercaya pembaca. Buku-buku tersebut kudapat dari bazar, toko buku bekas, pemberian teman dan beberapa hadiah lomba menulis. Rata-rata berbandrol Rp.10.000-25.000 harga yang masuk akal buat mahasiswa. Alhasil dari kegilaanku membeli buku membuat tidak sadar kalau almari kayu telah penuh buku bahkan menjadi tempat rayap membuat sarang.
Aku dan buku seperti punya ikatan batin. Sehari sebelum kubongkar buku-buku itu aku merasa ada yang mesti kubuca dari buku yang teronggok di almari kayu bekas tempat makan yang dicat ulang tersebut. Benar sekali, rayap-rayap itu telah bersarang serta membuat jalan melewati buku. Untung tidak sampai ke dalam karena sebagian besar sudah kuberi sampul plastik mika.
Sampai sekarang aku masih gemar mengumpulkan buku apa saja. Rencana ke depan aku ingin membuat rumah baca dari hasil buku yang kukumpulkan. Aku tak ingin membuat lembaga swadaya atau meminta sumbangan pemerintah. Aku ingin melakukan hal kecil tapi berarti minimal buat keluarga, teman dekat, atau tetangga sebelah.
Sekarang sudah lebih dari dua almari besar buku-buku itu kusimpan. Kadang aku sendiri tak menamatkan buku-buku itu bahkan ada yang belum kubaca sama sekali— masih tersegel rapi.
***
Kota T telah digilas berbagai macam pabrik kelas nasional dan multinasional. Rumahku berada di antara dua pabrik besar. Dihimpit dua pelabuhan. Semakin terjepit di antara debu dan asap serta bising suara mesin yang bekerja dua puluh empat jam.
Menyikapi perubahan besar itu kusiapkan buku untuk membentengi dari kebodohan. Masa depan setidaknya bisa kupersiapkan dengan mengumpulkan buku-buku apa saja yang bermanfaat.