Oleh; Thoni Mukharrom
I.A.
“Ayo semua, malam nanti kita akan
main ke rumah Kang Lamsir. Jadi segala sesuatunya kita persiapkan sekarang,
jangan lupa sesajen dan kembang.” Kata Kang Sakrun— pimpinan sandur Ronggo
Budoyo yang kuikuti.
“Iyo,
Kang.” Jawab yang lain.
Malam mulai menghitam, mendung yang tadi
menempel lekat di langit, perlahan memudar. Beberapa pemain telah siap dengan
pakaiannya masing-masing.
Panjak hore
mempersiapkan diri duduk melingkar mengitari rontek yang ditancapkan di tengah arena. Sambil menyanyikan lagu “nyanyian basmalah”, mereka mencari
tempat, lalu nggelar klasa. Penonton
mulai berdatangan. Seperti semut mencium bau permen. Suasana terasa hangat dan
damai. Beberapa anak kecil datang dengan
ibu-bapaknya.
Sebelum
dirias, kami berjalan mengikuti irama lagu dengan urutan; tukang oncor, tukang
upet, empat pemain sandur lainnya, tukang kadut, germo dan diakhiri tukang oncor. Tukang oncor depan dan pemain
sandur paling depan berjalan mundur. Setelah itu kami dibawa ke ruang rias
dengan urutan baris yang sama. Pada saat kami dirias, panjak hore masih melantunkan lagu-lagu. Hingga kami memakai busana
sesuai karakter. Aku sendiri berperan sebagai Pethak, anak petani miskin,
memakai baju layaknya tokoh wayang, tapi dengan ciri khas sendiri, memakai
kacamata hitam bulat. Ketiga temanku lainnya, memerankan Balong, Tangsil serta yang
perempuan memerankan Cawik—perempuan cantik sebagai sindir ikut bernyanyi dengan
panjak hore. Kami semua belum akil balig. Sebab persyaratan menjadi pemain
sandur harus belum akil balig—masih suci. Setelah selesai rias, kami kembali
masuk ke arena pentas. Sambil memakai kerudung, lebih tepatnya taplak meja—
kami berdiri berjajar di tengah arena.
Germo
mulai membaca mantra dengan suara lantang;
Thanduk;
derek-derek pinarak lenggah mriki
sedaya..,nggihh..derek kula sak njawine kentheng, sak lebetipun kentheng,
mboten wonten kulo westani ugi, sedaya kula westani, nggiiih. Kula bade
mretalakaken lare angen sesanduran. Yen rina gumelar ing teba, yen sore
jejogedan ing tengahing latar, nggiiih. Derek kula sampun nglepak kersa
ngadegaken tratag lambat, kersa obong-obong menyan madu, nggiiih.
Penonton
terhipnotis. Terbawa alunan mantra yang dinyanyikan sedemikian rupa. Tidak ada
jarak antara penonton dan kami. Mereka melebur dalam satu gelas, seperti kopi
larut dengan gula. Setelah mantra dibacakan, Mbok Sri Widodari turun dari
langit. Dia mencium bau menyan madu. Turun menghampiri pertunjukan,
perawakannya ringin sunsang, matanya damar kanginan,alisnya tanggal satu
rembulan. Turun memberi kekuatan kepada kami. Kami seperti mendapat guyuran
hujan setelah musim panas yang panjang. Kekuatan ghaib merasuk perlahan.
Pertunjukkan sandur siap dimainkan.
Setelah
kami mendapat kekuatan, barulah kerudung dibuka oleh germo. Balong mulai membaca mantra “aji jaran goyang” untuk mendapatkan kekuatan. Temanku yang lain
mulai menari mengelilingi rontek yang
dirubung oleh panjak hore. Kemudian
menyanyikan lagu untuk meminta ijin kepada pendayangan
ampung setempat agar selama pertunjukkan tidak terjadi hal yang tidak
diinginkan.
Cerita
dimulai dengan perjalanan seorang anak petani melarat. Kesana kemari mencari ngengeran dengan pekerjaan besik, ngrakal, ngluku, ngaru, undoh-undoh layaknya
pekerjaan anak desa. Selalu bersabar meskipun dalam kondisi yang keras dan
sulit.
Hingga
tiba saat yang ditunggu-tunggu, Bandhan. Merupakan
saat yang tegang di akhir cerita. Bagian ini menjadi titik klimaks dari
keseluruhan adegan. Para sesepuh melihat salah satu dari kami akan dadhi atau trans. Tubuhku seperti ada
hawa dingin masuk melalui ubun-ubun. Tubuhku menjadi sangat ringan bagai kapas
diterjang angin. Aku tidak sadar.
Mbok Sri Widodari bandakna sandurku
iki....
A la ya ke lo lah ra se lo lah....
Kembang jambu mbok Widodari sampun
mlebu....
Kembang creme sing nyalahi digawa
mrene....
Suara
panjak hore melagukan gamburan
berulang-ulang.
Tubuhku
diambil dari kotak. Dibopong berputar-putar diikuti oleh sandur yang lain. Lalu
dibawa ke tempat tali yang telah dihubungkan dengan tali lain dan diikatkan di kedua
ujung bambu. Aku langsung merambat naik menuju puncak bambu yang diikatkan
tali. Semua penonton tegang bercampur takut. Di samping itu juga lega, karena
adegan ini merupakan adegan pamungkas. Terdengar penonton menyanyikan lagu;
“Kalongking, kalongking, jambune
wis ra ana, do-da-lit do-let-, do-da-lit do-let....”
menguncapkannya berulang-ulang dengan berbagai teriakan untuk turun; cung-mudun-cung.
Setelah
aku turun, segera dipapah oleh sesepuh
untuk disadarkan.
“Mbok Sri Widodari lilirna sandurku
iki....Kembang wahur, mbok Widodari balik menduwur....” Suara
panjak hore melengking, memenuhi pertunjukkan yang semakin malam.
Aku terjaga dari mimpi. Tetes hujan menerobos welit, menyadarkanku. Malam menghantam
dengan serbuan kenangan. Betapa dulu aku adalah pemain sandur yang lincah. Bisa
meloncat ke sana kemari. Aku kembali membaringkan tubuh, hembusan angin
menembus gebyok kamarku. Sekarang tak
ada lagi yang berminat menonton sandur. Mereka lebih suka hiburan orkes
elekton, tentu saja dengan biduan seksi itu. Dan kamu, ah aku semakin luka jika
mengingatmu. Sudahlah. Aku kembali tidur saja, semoga mimpi indah dan bertemu
kamu.
***
Mungkin kamu telah jauh pergi. Meninggalkan
luka yang terus menganga ketika kerinduan datang memenuhi mata. Kamu tak lagi
menggubrisku. Jalan semakin jauh. Gila, ini gila! Semua kenangan muncul
seketika. Kepadamu sayang, aku masih mengharapmu menghapus luka dalam dada. Aku
masih di sini, di rumah yang lebih pantas bernama gubuk. Tepat di pinggir
tempat pembuangan akhir sampah. Aku kembali teringat kamu yang saat itu pernah
berjanji; akan menonton pementasan sandur untuk terakhir kali. Mungkin ini
gara-gara mimpi tadi malam. Kamu tahu, saat itu aku sudah tak menjadi sandur
kecil yang lincah. Sebab sudah tak ada lagi anak kecil yang mau memainkannya.
Takut diledek teman-temannya karena dianggap memuja setan. Terpaksa aku yang
memainkannya. Demi memenuhi undangan dinas pariwisata dalam acara tahunan. Aku
sudah berusaha mencari anak-anak yang mau memainkannya, namun sia-sia. Tak satu
pun anak yang kutemui mau menerima tawaranku, walaupun aku iming-iming uang dan
mainan.
Akhirnya
aku mengalah. Ketika sudah siap main, aku
tak melihat kehadiranmu hingga pertunjukkan usai. Terakhir kudengar kabar bahwa
kamu sudah tak menempati rumahmu, pergi entah kemana. Aku dengar kau dibawa
seseorang, entah siapa, bersama seluruh keluargamu juga. Pergi tanpa pesan atau
sesuatu yang bisa kuharapkan kepulanganmu. Betapa kecantikan telah membawa luka
yang amat dalam terukhir di hati. Tak pernah hilang, rindu selalu memutarnya
sendiri—kala malam larut dan nyamuk datang meribut. Wajahmu menempel lekat di welit kamarku.
***
Jalan semakin liku. Aku tak
menemukan apapun kecuali kegamangan. Kerisauan. Penipuan. Kemunafikan. Aku tak
ingin dilahirkan dengan keadaan seperti ini. Terkadang aku berpikir kenapa
Tuhan menciptakanku. Kenapa? Padahal sebelumnya aku tidak ada. Dan entah tanpa
kutahu alasannya tiba-tiba dari rahim ibu, terbit aku. Sungguh aku tak paham. Andaikan
bisa memilih, aku ingin lahir dari rahim istri seorang raja. Bebas memilih
pujaan hati yang kusuka. Bebas memiliki apa saja. Dan tentunya bisa pergi ke
mana pun yang kusuka.
Tanpa
bisa kumengerti kenapa. Segalanya yang terjadi terkadang memaksaku merenungkannya.
Melahirkan segala sesuatu yang membawaku mendesahkan jalan yang semakin panjang.
Merindu jarak yang tak tentu ujungnya. Suatu ketika gigil muncul dari balik
dada. Jika harus aku lukai itu—yang mendamba kebahagiaan. Biarlah, mungkin
Tuhan punya rencana lebih indah dari yang kukira. Mungkin Tuhan percaya bahwa
aku akan menjadi pemenang. Aku tak tahu kenapa aku diciptakan. Dan dari itu aku
tahu kenapa aku diciptakan. Absurd.
Memang terkadang aneh. Benar-benar
aneh saat melihat berbagai macam manusia membabibuta mencari harta dunia, mengorbankan
segala. Membunuh, merampok, mencuri. Semua keharaman dihalalkan. Demi nafsu
sesaat. Mungkin mereka akan hidup selamanya. Menyangka tak ada pengadilan
setelah dunia. Atau mungkin benar kematian adalah tidur panjang tanpa ada
pertanggung jawaban kepada Tuhan.
Jalan begitu terjal kususuri. Hingga
pada suatu mimpi, aku pernah melihat kekasih dengan wajah tersenyum. Berusaha
memanggilku, tapi aku tak mampu mendengarnya. Dia mencoba mengatakan sesuatu
yang tak mampu kupahami. Aku tak menghiraukannya. Aku pikir itu setan yang
mencoba mengganggu tidurku. Entah di mana aku sekarang. Penuh kerikil tajam. Malam
semakin suntuk. Aku terus melanjutkan mimpi.
Jalanan
sepi, para pemuda desa telah pergi merantau ke kota-kota asing, dengan bekal
ijazah SD dan SMP. Para perawan pergi menjadi TKI. Entah ke negeri mana, kadang
aku ngeri mendengar pemberitaan tentang nasib mereka. Meskipun tak ada kabar
TKI dari desaku menjadi korban. Mengapa tak ada pemberitaan TKI yang berhasil.
Seperti semua adalah kekhawatiran saja. Mulai yang bunuh diri loncat dari atap
gedung sampai diperkosa lalu dibunuh. Aku tak tahu, mungkin saja kamu salah
satu dari mereka, Ras. Oh, betapa rindu ini telah menjelma lahar yang kapan pun
siap meledak dalam dada.
Memang
bodoh, mengapa tak kuterima tawaran Mak Item suatu ketika. Pernah ada anak
temannya yang siap menikah, ditawawarkannya padaku. Tapi saat itu aku menolak.
Wajahnya tak buruk-buruk amat. Sebanding denganku, malah lebih lumayan dia.
Tapi aku sama sekali tak berminat dengannya. Aku masih menunggumu, Ras. Sampai
aku yakin dengan kabarmu. Masih hidupkah kau di mana pun itu. Aku mencoba
mengingat lagi bagaimana rambutmu menerpa wajahku di malam sepi itu. Aku cium
dahimu lalu kamu peluk mesra tubuhku. Serasa ada air meluncur membasahi dada
yang telah lama di huni musim panas.
Sehari
sebelum aku mementaskan sandur untuk terakhir kali di acara ulang tahun kota.
Kamu menerbitkan kata-kata yang tak mampu aku lupa hingga sekarang. Kata-katamu
memaksa masuk ke memori otak, tinggal di sana hingga sekarang.
“Ojo nganthi lalikno aku yo, Mas..,”
katamu dengan tubuh melekat di tubuhku. “Aku
ora isa urip tanpo awakmu, Mas.” Aku mengangguk, pertanda paham dengan apa
yang kamu rasakan. Aku tersenyum kecil sambil kuusap rambutmu yang mirip iklan
shampo. Aku masih sangat ingat malam itu. Paginya dan hari-hari setelah itu,
aku tak lagi menemukan kabarmu. Di manakah kamu sekarang. Aku tanyakan kepada
setiap tetanggamu, mereka selalu memberi jawaban tak memuaskan. Aku hanya diam
tak berani berkata lagi. Lagi pula aku pun menyadari, kalau aku bukanlah orang
yang bisa membelikan segala benda-benda dalam toko. Ah, lagi-lagi aku tertawa
sendiri, tertawa yang sebenarnya kesedihan yang amat dalam. Bila kamu masih
hidup, aku masih menunggumu. Bila kamu sudah mati, mengapa tak pernah mengabarkan
walau hanya lewat mimpi. Mengapa tak pernah hadir dalam mimpiku. Mengapa,
mengapa, mengapa. Ya sudah, mungkin nanti mimpi akan membusuk—dalam kepalaku
yang suntuk.
Waktu
berjalan sangat lambat. Seperti jam kehabisan baterai. Dan kamu yang aku
rindukan tak kunjung memunculkan tanda-tanda. Kenangan sebagai pemain sandur
makmaksaku menceritakannya pada seorang anak di warung kopi saat itu. Sekarang
banyak orang yang salah paham, banyak orang modern menganggap sandur adalah
ritual pemujaan setan. Aduh, semakin gila dunia ini. Dulu ketika aku masih
kecil, banyak orang yang menggelar syukuran dengan bermain sandur, bahkan
setahun sampai enam kali. Menyukuri rezeki Illahi. Dan itu pun menggunakan
biaya sendiri dan pemainnya cukup diberi makan dan jajanan. Dulu banyak sekali
yang berminat dengan pertunjukkan sandur, sebelum menempel stigma pemujaan setan.
Sebelum ada mesin yang bisa mengeluarkan segala suara dan nada. Sebelum
penyanyi lebih suka memamerkan paha daripada suara.
***
Aku
memunguti lembaran kisah yang tercecer di belahan malam. Tentang kamu yang
pergi tiba-tiba. Segala menghitam dalam hidup dan napas yang semakin tua. Setiap
sore setelah sholat ashar, aku selalu pergi ke warung kopi Mak Item—di seberang
pasar desa.
Mak
Item, ya dulu dialah satu-satunya penjual kopi ketika ada pentas sandur. Belum
ada pedagang dari entah yang datang seperti sekarang ini. Mak Item
satu-satunya. Sekarang kalau ada acara elekton saja, entah mendengar kabar dari
siapa, banyak pedagang yang datang berduyun hingga memenuhi jalan desa. Mereka
seperti berasal dari kota penuh gemerlap, menjual barang-barang yang belum
pernah aku lihat.
Keluarga
Mak Item telah meninggal terkena letusan gunung dan banjir bandang. Termasuk
suami dan ke dua anaknya. Puluhan tahun hidup sendiri bukanlah waktu mudah
baginya. Aku sering mendengar berbagai cerita darinya, di warung kopi ini.
Setiap senja mengintip, aku selalu bergegas—punya uang ataupun tidak, aku tak
peduli, aku ingin mendengar segala ceritanya. Umurnya kira-kira dua puluh tahun
lebih tua dariku. Dia tak pernah pasti menyebutkan kapan sebenarnya dia
dilahirkan. Dia tak punya akte, semua ditelan bencana. Setelah tak ada harapan
di kotanya, dia berhijrah menuju kota kecil di pucuk pantura, di perbatasan
Jawa Timur-Jawa Tengah, Tuban. Di kotaku inilah dia seakan menemukan lagi
kebahagiaannya yang hilang. Sebelum akhirnya hilang kembali.
“Di
sini, dulu, sebelum banyak pabrik berdiri, udara masih ramah. Kuhirup
dalam-dalam setiap pagi dan senja. Debu-debu belum banyak berterbangan. Gunung-gunung
masih gagah berdiri. Sekarang sudah luluh lantak, menjadi bahan bangunan yang
dijual mahal. Kemajuan kerap menimbulkan banyak korban. Sampai suatu saat tak ada
yang bisa dimanfaatkan. Anak cucu mewarisi kehancuran. Mungkin. Tapi ah, aku
tak terlalu memikirkannya. Aku tak punya anak, apalagi cucu. Biarlah,” kata Mak
Item dengan menahan beban dan mata berkaca-kaca, menerawang jauh ke angkasa.
Mak
Item selalu membuatku bersabar hingga sekarang. Lewat cerita dari bibir
keriputnya, dia berjanji tak ingin menikah lagi. Dia mencintai suaminya, sangat
dalam. Dia tak ingin mengingkari janjinya—sebelum menikah dulu. Dia akan
menjadi istri yang setia. Meskipun sekarang suaminya sudah berkawan tanah. Itu
tak membuatnya berpikir mencari pengganti suami yang bisa mencukupi kebutuhan
sehari-hari. Walau terkadang aku kasihan melihat tulangnya yang semakin rapuh,
rambutnya yang di hinggapi warna putih. Dia tak peduli dengan semua itu, selama
masih ada tenaga, dia tak ingin ada orang yang mengasihinya.
Aku selalu menanti cerita-ceritanya. Sewaktu
perawan, ah begitu manisnya. Begitu indahnya, saling mengirim surat yang
diantar seorang teman, menanti dengan rindu berdebar, menunggu
berminggu-minggu. Beda dengan sekarang bukan, sekali SMS tak dibalas saja sudah
bingung minta ampun. Galau istilah trennya. Aku semakin sadar dangan arti
penantian. Dengan rindu yang datang. Kesabaran adalah titik dimana cinta diuji
dan diperjuangkan. Dirasakan kesuciannya, kesungguhannya.
Malam
telah luruh menutup senja. Suara adzan magrib sayup terdengar. Aku bergegas
pulang. Di rumah, ibuku sudah menungguku di teras. Seperti ingin menyampaikan
sesuatu. Tubuhnya yang bungkuk, mengingatkanku kepada Mak Item.
“Le, tadi emak menemukan ini di depan
rumah.” Meskipun aku sudah menjadi orang, dia tetap saja memanggilku seperti
anak kecil.
“Dari
siapa, Mak?”
“Ora weruh, Le.” Wajahnya terlihat sangat
polos.
Kubuka
perlahan. Surat ini menarikku ke dalam kenangan. Memberi aroma kesunyian.
Menyalakan lilin penunjuk jalan pulang. Ini seperti cincin perakku dulu. Tidak.
Aku sedang bermimpi sekarang. Aku bermimpi. Kamu!!! Tak mungkin.
***
Aku
juga ingin seperti mereka. Setiap waktu bisa mengajak kekasihnya jalan-jalan.
Saling bertatap dan cerita. Bergandengan tangan. Menikmati senja di pelabuhan.
Tapi, semua tak bisa kulakukan. Kamu tak pernah kembali. Biarlah rindu ini
menemukan ibunya. Agar aku tahu betapa indah arti temu dan waktu. Sekarang
usiaku sudah tak muda lagi. Semua menguap menjadi mimpi tak terpenuhi. Surat
dan cincin perak kemarin itu milik siapa. Tak ada yang bisa kuingat kecuali
dia. Permaisuriku yang pergi tak kembali.
Pintu
rumahku diketuk seseorang. Kubuka, kulihat ada seorang setengah baya, rambutnya
panjang. Hidungnya bangir. Langsung memelukku. Katanya dia baru saja pulang
dari perantauan. Aku masih tak percaya, apa aku bermimpi. Aku cubit pipinya,
aku cubit pipiku. Sakit ternyata.
“Jadi
Kamu yang meninggalkan cincin ini ya?” suaraku terdengar seperti polisi
mengintrogasi maling ayam.
“Cincin
apa?” matanya terbelalak melihat cincin yang kukeluarkan.
“Bukan. Aku baru saja menemukan rumahmu
setelah bertanya kesana-kemari.”
“Lalu
milik siapa cincin ini? Dan kamu siapa?” apa aku telah pikun sehingga tak mampu
mengenali wajah perempuan di depanku. Sebelum pertanyaanku dijawab ada
seseorang yang berteriak dari kejauhan.
“Punyaku...!!”
Tak jelas wajahnya, perlahan mendekati rumahku.
“Cawik!?”
Tuban, 22022012
Pernah dimuat dalam antologi cerpen Nyanyian Kesetiaan, STAIN Purwokerto
Catatan:
Nglindur:
Mengigau,
mimpi buruk.
Sandur:
Kesenian tradisi atau drama rakyat yang menceritakan kehidupan masyarakat
petani daerah Tuban dengan empat pemain utama; Balong, Tangsil, Pethak dan
Cawik.
Germo:
Dalang
yang mengatur jalannya pertunjukkan sandur.
Panjak
hore: Sekelompok penyanyi dalam pertunjukkan sandur, sekitar 30-40 orang.
Mbok
Sri Widodari: Tokoh mistis yang dipercaya sebagai
pemberi kekuatan kepada pemain sandur.
Nggelar
klasa: Menempatkan tikar di tanah untuk diduduki.
Damar
kanginan: Lampu minyak yang diterpa angin.
Ringin
sunsang: Pohon beringin terbalik.
Rontek: Bendera kecil
yang dihiaskan pada tombak.
Ngengeran:
Pembantu
pekerjaan petani.
Besik:
Membersihkan rumput dalam tanaman padi.
Ngrakal: Membajak tanah
sebelum pembenihan.
Ngluku, Ngaru: Mengolah
tanah.
Undoh-undoh:
Panen.
Ora
weruh, Le: Tidak tanu, Nak.
Gebyok:
Dinding
rumah yang terbuat dari anyaman bambu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar