Senin, 23 Maret 2015

Nglindur Sandur



Oleh; Thoni Mukharrom I.A.

            “Ayo semua, malam nanti kita akan main ke rumah Kang Lamsir. Jadi segala sesuatunya kita persiapkan sekarang, jangan lupa sesajen dan kembang.” Kata Kang Sakrun— pimpinan sandur Ronggo Budoyo yang kuikuti.
            “Iyo, Kang.” Jawab yang lain.
 Malam mulai menghitam, mendung yang tadi menempel lekat di langit, perlahan memudar. Beberapa pemain telah siap dengan pakaiannya masing-masing.
Panjak hore mempersiapkan diri duduk melingkar mengitari rontek yang ditancapkan di tengah arena. Sambil menyanyikan lagu “nyanyian basmalah”, mereka mencari tempat, lalu nggelar klasa. Penonton mulai berdatangan. Seperti semut mencium bau permen. Suasana terasa hangat dan damai.  Beberapa anak kecil datang dengan ibu-bapaknya.
Sebelum dirias, kami berjalan mengikuti irama lagu dengan urutan; tukang oncor, tukang upet, empat pemain sandur lainnya, tukang kadut, germo dan diakhiri tukang oncor. Tukang oncor depan dan pemain sandur paling depan berjalan mundur. Setelah itu kami dibawa ke ruang rias dengan urutan baris yang sama. Pada saat kami dirias, panjak hore masih melantunkan lagu-lagu. Hingga kami memakai busana sesuai karakter. Aku sendiri berperan sebagai Pethak, anak petani miskin, memakai baju layaknya tokoh wayang, tapi dengan ciri khas sendiri, memakai kacamata hitam bulat. Ketiga temanku lainnya, memerankan Balong, Tangsil serta yang perempuan memerankan Cawik—perempuan cantik sebagai sindir ikut bernyanyi dengan panjak hore. Kami semua belum akil balig. Sebab persyaratan menjadi pemain sandur harus belum akil balig—masih suci. Setelah selesai rias, kami kembali masuk ke arena pentas. Sambil memakai kerudung, lebih tepatnya taplak meja— kami berdiri berjajar di tengah arena.
Germo mulai membaca mantra dengan suara lantang;
 Thanduk; derek-derek pinarak lenggah mriki sedaya..,nggihh..derek kula sak njawine kentheng, sak lebetipun kentheng, mboten wonten kulo westani ugi, sedaya kula westani, nggiiih. Kula bade mretalakaken lare angen sesanduran. Yen rina gumelar ing teba, yen sore jejogedan ing tengahing latar, nggiiih. Derek kula sampun nglepak kersa ngadegaken tratag lambat, kersa obong-obong menyan madu, nggiiih.
Penonton terhipnotis. Terbawa alunan mantra yang dinyanyikan sedemikian rupa. Tidak ada jarak antara penonton dan kami. Mereka melebur dalam satu gelas, seperti kopi larut dengan gula. Setelah mantra dibacakan, Mbok Sri Widodari turun dari langit. Dia mencium bau menyan madu. Turun menghampiri pertunjukan, perawakannya ringin sunsang, matanya damar kanginan,alisnya tanggal satu rembulan. Turun memberi kekuatan kepada kami. Kami seperti mendapat guyuran hujan setelah musim panas yang panjang. Kekuatan ghaib merasuk perlahan. Pertunjukkan sandur siap dimainkan.
Setelah kami mendapat kekuatan, barulah kerudung dibuka oleh germo. Balong mulai membaca mantra “aji jaran goyang” untuk mendapatkan kekuatan. Temanku yang lain mulai menari mengelilingi rontek yang dirubung oleh panjak hore. Kemudian menyanyikan lagu untuk meminta ijin kepada pendayangan ampung setempat agar selama pertunjukkan tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Cerita dimulai dengan perjalanan seorang anak petani melarat. Kesana kemari mencari ngengeran dengan pekerjaan besik, ngrakal, ngluku, ngaru, undoh-undoh layaknya pekerjaan anak desa. Selalu bersabar meskipun dalam kondisi yang keras dan sulit.
Hingga tiba saat yang ditunggu-tunggu, Bandhan. Merupakan saat yang tegang di akhir cerita. Bagian ini menjadi titik klimaks dari keseluruhan adegan. Para sesepuh melihat salah satu dari kami akan dadhi atau trans. Tubuhku seperti ada hawa dingin masuk melalui ubun-ubun. Tubuhku menjadi sangat ringan bagai kapas diterjang angin. Aku tidak sadar.  
Mbok Sri Widodari bandakna sandurku iki....
A la ya ke lo lah ra se lo lah....
Kembang jambu mbok Widodari sampun mlebu....
Kembang creme sing nyalahi digawa mrene....
Suara panjak hore melagukan gamburan berulang-ulang.
Tubuhku diambil dari kotak. Dibopong berputar-putar diikuti oleh sandur yang lain. Lalu dibawa ke tempat tali yang telah dihubungkan dengan tali lain dan diikatkan di kedua ujung bambu. Aku langsung merambat naik menuju puncak bambu yang diikatkan tali. Semua penonton tegang bercampur takut. Di samping itu juga lega, karena adegan ini merupakan adegan pamungkas. Terdengar penonton menyanyikan lagu;
“Kalongking, kalongking, jambune wis ra ana, do-da-lit do-let-, do-da-lit do-let....” menguncapkannya berulang-ulang dengan berbagai teriakan untuk turun; cung-mudun-cung.
Setelah aku  turun, segera dipapah oleh sesepuh untuk disadarkan.
“Mbok Sri Widodari lilirna sandurku iki....Kembang wahur, mbok Widodari balik menduwur....” Suara panjak hore melengking, memenuhi pertunjukkan yang semakin malam.
 Aku terjaga dari mimpi. Tetes hujan menerobos welit, menyadarkanku. Malam menghantam dengan serbuan kenangan. Betapa dulu aku adalah pemain sandur yang lincah. Bisa meloncat ke sana kemari. Aku kembali membaringkan tubuh, hembusan angin menembus gebyok kamarku. Sekarang tak ada lagi yang berminat menonton sandur. Mereka lebih suka hiburan orkes elekton, tentu saja dengan biduan seksi itu. Dan kamu, ah aku semakin luka jika mengingatmu. Sudahlah. Aku kembali tidur saja, semoga mimpi indah dan bertemu kamu.
***
 Mungkin kamu telah jauh pergi. Meninggalkan luka yang terus menganga ketika kerinduan datang memenuhi mata. Kamu tak lagi menggubrisku. Jalan semakin jauh. Gila, ini gila! Semua kenangan muncul seketika. Kepadamu sayang, aku masih mengharapmu menghapus luka dalam dada. Aku masih di sini, di rumah yang lebih pantas bernama gubuk. Tepat di pinggir tempat pembuangan akhir sampah. Aku kembali teringat kamu yang saat itu pernah berjanji; akan menonton pementasan sandur untuk terakhir kali. Mungkin ini gara-gara mimpi tadi malam. Kamu tahu, saat itu aku sudah tak menjadi sandur kecil yang lincah. Sebab sudah tak ada lagi anak kecil yang mau memainkannya. Takut diledek teman-temannya karena dianggap memuja setan. Terpaksa aku yang memainkannya. Demi memenuhi undangan dinas pariwisata dalam acara tahunan. Aku sudah berusaha mencari anak-anak yang mau memainkannya, namun sia-sia. Tak satu pun anak yang kutemui mau menerima tawaranku, walaupun aku iming-iming uang dan mainan.
Akhirnya aku mengalah. Ketika sudah siap main,  aku tak melihat kehadiranmu hingga pertunjukkan usai. Terakhir kudengar kabar bahwa kamu sudah tak menempati rumahmu, pergi entah kemana. Aku dengar kau dibawa seseorang, entah siapa, bersama seluruh keluargamu juga. Pergi tanpa pesan atau sesuatu yang bisa kuharapkan kepulanganmu. Betapa kecantikan telah membawa luka yang amat dalam terukhir di hati. Tak pernah hilang, rindu selalu memutarnya sendiri—kala malam larut dan nyamuk datang meribut. Wajahmu menempel lekat di welit kamarku.
***
            Jalan semakin liku. Aku tak menemukan apapun kecuali kegamangan. Kerisauan. Penipuan. Kemunafikan. Aku tak ingin dilahirkan dengan keadaan seperti ini. Terkadang aku berpikir kenapa Tuhan menciptakanku. Kenapa? Padahal sebelumnya aku tidak ada. Dan entah tanpa kutahu alasannya tiba-tiba dari rahim ibu, terbit aku. Sungguh aku tak paham. Andaikan bisa memilih, aku ingin lahir dari rahim istri seorang raja. Bebas memilih pujaan hati yang kusuka. Bebas memiliki apa saja. Dan tentunya bisa pergi ke mana pun yang kusuka.
Tanpa bisa kumengerti kenapa. Segalanya yang terjadi terkadang memaksaku merenungkannya. Melahirkan segala sesuatu yang membawaku mendesahkan jalan yang semakin panjang. Merindu jarak yang tak tentu ujungnya. Suatu ketika gigil muncul dari balik dada. Jika harus aku lukai itu—yang mendamba kebahagiaan. Biarlah, mungkin Tuhan punya rencana lebih indah dari yang kukira. Mungkin Tuhan percaya bahwa aku akan menjadi pemenang. Aku tak tahu kenapa aku diciptakan. Dan dari itu aku tahu kenapa aku diciptakan. Absurd.
            Memang terkadang aneh. Benar-benar aneh saat melihat berbagai macam manusia membabibuta mencari harta dunia, mengorbankan segala. Membunuh, merampok, mencuri. Semua keharaman dihalalkan. Demi nafsu sesaat. Mungkin mereka akan hidup selamanya. Menyangka tak ada pengadilan setelah dunia. Atau mungkin benar kematian adalah tidur panjang tanpa ada pertanggung jawaban kepada Tuhan.
            Jalan begitu terjal kususuri. Hingga pada suatu mimpi, aku pernah melihat kekasih dengan wajah tersenyum. Berusaha memanggilku, tapi aku tak mampu mendengarnya. Dia mencoba mengatakan sesuatu yang tak mampu kupahami. Aku tak menghiraukannya. Aku pikir itu setan yang mencoba mengganggu tidurku. Entah di mana aku sekarang. Penuh kerikil tajam. Malam semakin suntuk. Aku terus melanjutkan mimpi.
Jalanan sepi, para pemuda desa telah pergi merantau ke kota-kota asing, dengan bekal ijazah SD dan SMP. Para perawan pergi menjadi TKI. Entah ke negeri mana, kadang aku ngeri mendengar pemberitaan tentang nasib mereka. Meskipun tak ada kabar TKI dari desaku menjadi korban. Mengapa tak ada pemberitaan TKI yang berhasil. Seperti semua adalah kekhawatiran saja. Mulai yang bunuh diri loncat dari atap gedung sampai diperkosa lalu dibunuh. Aku tak tahu, mungkin saja kamu salah satu dari mereka, Ras. Oh, betapa rindu ini telah menjelma lahar yang kapan pun siap meledak dalam dada.
Memang bodoh, mengapa tak kuterima tawaran Mak Item suatu ketika. Pernah ada anak temannya yang siap menikah, ditawawarkannya padaku. Tapi saat itu aku menolak. Wajahnya tak buruk-buruk amat. Sebanding denganku, malah lebih lumayan dia. Tapi aku sama sekali tak berminat dengannya. Aku masih menunggumu, Ras. Sampai aku yakin dengan kabarmu. Masih hidupkah kau di mana pun itu. Aku mencoba mengingat lagi bagaimana rambutmu menerpa wajahku di malam sepi itu. Aku cium dahimu lalu kamu peluk mesra tubuhku. Serasa ada air meluncur membasahi dada yang telah lama di huni musim panas.
Sehari sebelum aku mementaskan sandur untuk terakhir kali di acara ulang tahun kota. Kamu menerbitkan kata-kata yang tak mampu aku lupa hingga sekarang. Kata-katamu memaksa masuk ke memori otak, tinggal di sana hingga sekarang.
Ojo nganthi lalikno aku yo, Mas..,” katamu dengan tubuh melekat di tubuhku. “Aku ora isa urip tanpo awakmu, Mas.” Aku mengangguk, pertanda paham dengan apa yang kamu rasakan. Aku tersenyum kecil sambil kuusap rambutmu yang mirip iklan shampo. Aku masih sangat ingat malam itu. Paginya dan hari-hari setelah itu, aku tak lagi menemukan kabarmu. Di manakah kamu sekarang. Aku tanyakan kepada setiap tetanggamu, mereka selalu memberi jawaban tak memuaskan. Aku hanya diam tak berani berkata lagi. Lagi pula aku pun menyadari, kalau aku bukanlah orang yang bisa membelikan segala benda-benda dalam toko. Ah, lagi-lagi aku tertawa sendiri, tertawa yang sebenarnya kesedihan yang amat dalam. Bila kamu masih hidup, aku masih menunggumu. Bila kamu sudah mati, mengapa tak pernah mengabarkan walau hanya lewat mimpi. Mengapa tak pernah hadir dalam mimpiku. Mengapa, mengapa, mengapa. Ya sudah, mungkin nanti mimpi akan membusuk—dalam kepalaku yang suntuk.
Waktu berjalan sangat lambat. Seperti jam kehabisan baterai. Dan kamu yang aku rindukan tak kunjung memunculkan tanda-tanda. Kenangan sebagai pemain sandur makmaksaku menceritakannya pada seorang anak di warung kopi saat itu. Sekarang banyak orang yang salah paham, banyak orang modern menganggap sandur adalah ritual pemujaan setan. Aduh, semakin gila dunia ini. Dulu ketika aku masih kecil, banyak orang yang menggelar syukuran dengan bermain sandur, bahkan setahun sampai enam kali. Menyukuri rezeki Illahi. Dan itu pun menggunakan biaya sendiri dan pemainnya cukup diberi makan dan jajanan. Dulu banyak sekali yang berminat dengan pertunjukkan sandur, sebelum menempel stigma pemujaan setan. Sebelum ada mesin yang bisa mengeluarkan segala suara dan nada. Sebelum penyanyi lebih suka memamerkan paha daripada suara.
***
Aku memunguti lembaran kisah yang tercecer di belahan malam. Tentang kamu yang pergi tiba-tiba. Segala menghitam dalam hidup dan napas yang semakin tua. Setiap sore setelah sholat ashar, aku selalu pergi ke warung kopi Mak Item—di seberang pasar desa.
Mak Item, ya dulu dialah satu-satunya penjual kopi ketika ada pentas sandur. Belum ada pedagang dari entah yang datang seperti sekarang ini. Mak Item satu-satunya. Sekarang kalau ada acara elekton saja, entah mendengar kabar dari siapa, banyak pedagang yang datang berduyun hingga memenuhi jalan desa. Mereka seperti berasal dari kota penuh gemerlap, menjual barang-barang yang belum pernah aku lihat.
Keluarga Mak Item telah meninggal terkena letusan gunung dan banjir bandang. Termasuk suami dan ke dua anaknya. Puluhan tahun hidup sendiri bukanlah waktu mudah baginya. Aku sering mendengar berbagai cerita darinya, di warung kopi ini. Setiap senja mengintip, aku selalu bergegas—punya uang ataupun tidak, aku tak peduli, aku ingin mendengar segala ceritanya. Umurnya kira-kira dua puluh tahun lebih tua dariku. Dia tak pernah pasti menyebutkan kapan sebenarnya dia dilahirkan. Dia tak punya akte, semua ditelan bencana. Setelah tak ada harapan di kotanya, dia berhijrah menuju kota kecil di pucuk pantura, di perbatasan Jawa Timur-Jawa Tengah, Tuban. Di kotaku inilah dia seakan menemukan lagi kebahagiaannya yang hilang. Sebelum akhirnya hilang kembali.
“Di sini, dulu, sebelum banyak pabrik berdiri, udara masih ramah. Kuhirup dalam-dalam setiap pagi dan senja. Debu-debu belum banyak berterbangan. Gunung-gunung masih gagah berdiri. Sekarang sudah luluh lantak, menjadi bahan bangunan yang dijual mahal. Kemajuan kerap menimbulkan banyak korban. Sampai suatu saat tak ada yang bisa dimanfaatkan. Anak cucu mewarisi kehancuran. Mungkin. Tapi ah, aku tak terlalu memikirkannya. Aku tak punya anak, apalagi cucu. Biarlah,” kata Mak Item dengan menahan beban dan mata berkaca-kaca, menerawang jauh ke angkasa.
Mak Item selalu membuatku bersabar hingga sekarang. Lewat cerita dari bibir keriputnya, dia berjanji tak ingin menikah lagi. Dia mencintai suaminya, sangat dalam. Dia tak ingin mengingkari janjinya—sebelum menikah dulu. Dia akan menjadi istri yang setia. Meskipun sekarang suaminya sudah berkawan tanah. Itu tak membuatnya berpikir mencari pengganti suami yang bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Walau terkadang aku kasihan melihat tulangnya yang semakin rapuh, rambutnya yang di hinggapi warna putih. Dia tak peduli dengan semua itu, selama masih ada tenaga, dia tak ingin ada orang yang mengasihinya.
 Aku selalu menanti cerita-ceritanya. Sewaktu perawan, ah begitu manisnya. Begitu indahnya, saling mengirim surat yang diantar seorang teman, menanti dengan rindu berdebar, menunggu berminggu-minggu. Beda dengan sekarang bukan, sekali SMS tak dibalas saja sudah bingung minta ampun. Galau istilah trennya. Aku semakin sadar dangan arti penantian. Dengan rindu yang datang. Kesabaran adalah titik dimana cinta diuji dan diperjuangkan. Dirasakan kesuciannya, kesungguhannya.
Malam telah luruh menutup senja. Suara adzan magrib sayup terdengar. Aku bergegas pulang. Di rumah, ibuku sudah menungguku di teras. Seperti ingin menyampaikan sesuatu. Tubuhnya yang bungkuk, mengingatkanku kepada Mak Item.
Le, tadi emak menemukan ini di depan rumah.” Meskipun aku sudah menjadi orang, dia tetap saja memanggilku seperti anak kecil.
“Dari siapa, Mak?”
Ora weruh, Le.” Wajahnya terlihat sangat polos.
Kubuka perlahan. Surat ini menarikku ke dalam kenangan. Memberi aroma kesunyian. Menyalakan lilin penunjuk jalan pulang. Ini seperti cincin perakku dulu. Tidak. Aku sedang bermimpi sekarang. Aku bermimpi. Kamu!!! Tak mungkin.
***
Aku juga ingin seperti mereka. Setiap waktu bisa mengajak kekasihnya jalan-jalan. Saling bertatap dan cerita. Bergandengan tangan. Menikmati senja di pelabuhan. Tapi, semua tak bisa kulakukan. Kamu tak pernah kembali. Biarlah rindu ini menemukan ibunya. Agar aku tahu betapa indah arti temu dan waktu. Sekarang usiaku sudah tak muda lagi. Semua menguap menjadi mimpi tak terpenuhi. Surat dan cincin perak kemarin itu milik siapa. Tak ada yang bisa kuingat kecuali dia. Permaisuriku yang pergi tak kembali.
Pintu rumahku diketuk seseorang. Kubuka, kulihat ada seorang setengah baya, rambutnya panjang. Hidungnya bangir. Langsung memelukku. Katanya dia baru saja pulang dari perantauan. Aku masih tak percaya, apa aku bermimpi. Aku cubit pipinya, aku cubit pipiku. Sakit ternyata.
“Jadi Kamu yang meninggalkan cincin ini ya?” suaraku terdengar seperti polisi mengintrogasi maling ayam.
“Cincin apa?” matanya terbelalak melihat cincin yang kukeluarkan.
 “Bukan. Aku baru saja menemukan rumahmu setelah bertanya kesana-kemari.”
“Lalu milik siapa cincin ini? Dan kamu siapa?” apa aku telah pikun sehingga tak mampu mengenali wajah perempuan di depanku. Sebelum pertanyaanku dijawab ada seseorang yang berteriak dari kejauhan.
“Punyaku...!!” Tak jelas wajahnya, perlahan mendekati rumahku.
“Cawik!?”


Tuban, 22022012
Pernah dimuat dalam antologi cerpen Nyanyian Kesetiaan, STAIN Purwokerto




Catatan:
Nglindur: Mengigau, mimpi buruk.
Sandur: Kesenian tradisi atau drama rakyat yang menceritakan kehidupan masyarakat petani daerah Tuban dengan empat pemain utama; Balong, Tangsil, Pethak dan Cawik.
Germo: Dalang yang mengatur jalannya pertunjukkan sandur.
 Panjak hore: Sekelompok penyanyi dalam pertunjukkan sandur, sekitar 30-40 orang.
Mbok Sri Widodari: Tokoh mistis yang dipercaya sebagai pemberi kekuatan kepada pemain sandur.
Nggelar klasa: Menempatkan tikar di tanah untuk diduduki.
Damar kanginan: Lampu minyak yang diterpa angin.
Ringin sunsang: Pohon beringin terbalik.
Rontek: Bendera kecil yang dihiaskan pada tombak.
Ngengeran: Pembantu pekerjaan petani.
Besik: Membersihkan rumput dalam tanaman padi.
 Ngrakal: Membajak tanah sebelum pembenihan.
 Ngluku, Ngaru: Mengolah tanah.
Undoh-undoh: Panen.
Ora weruh, Le: Tidak tanu, Nak.

Gebyok: Dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar