Senin, 23 Maret 2015

Lagu untuk Ibu


Oleh: Thoni Mukharrom I.A


Setiap pagi, sebelum matahari menukik tepat di kepalaku, aku sudah berada di jalan—dekat lampu merah. Menyanyikan lagu-lagu ciptaanku sendiri. Terkadang orang yang mendengar nyanyianku merasa kasihan, terkadang merekam dengan benda berbentuk kotak kecil. Orang itu terlihat menikmati apa yang kudendangkan. Kelihatannya dia merasakan apa yang aku rasakan. Setelah itu aku menerima dari saku celananya selembar uang berwarna biru, bergambar orang membawa pedang.
Tak jarang ada juga orang yang tidak menghargai karyaku. Mereka langsung mengangkat tangannya lalu menggerakkan kekiri-kekanan. Padahal aku baru mau mendekati mobilnya. Aku tak peduli, aku tetap bernyanyi. Aku tak butuh uangmu, aku hanya ingin memberi hiburan telingamu yang terlihat merah. Lalu dengan klakson mobil sedannya, mengagetkanku. Biarlah, mungkin dia butuh obat penenang agar kuat menghadapi masalah di kota besar seperti ini. Mobil yang biasa kuberi hiburan rata-rata bercat mengkilap, berkaca gelap. Aku tak peduli, aku hanya ingin memberi hiburan pada mereka. Kalau mereka tiba-tiba memuntahkan ludah atau mengangkat tangan, dengan hormat aku akan pergi. Yang penting aku sudah mengobati telinganya yang butuh hiburan.
Dari sekian banyak orang yang pernah kuhibur itu, ada yang mempunyai pikiran bahwa aku adalah salah satu agen rahasia. Yang disetir oleh mafia jahat berambut gondrong. Dan berusaha mencari uang dengan cara mengemis di pinggir jalan. Memohon rasa kasihan pada setiap orang. Lalu setelah mendapat banyak uang, akan menyetorkan kepada bosnya yang berambut gondrong. Aku tidak seperti itu. Aku punya niat tulus, yaitu membantu mengobati telinga orang-orang itu agar tak terlalu menahan berat persoalan rakyat. Bukankah perbuatanku ini mencerminkan sebagai warga negara yang baik?
Kalau ditanya mengapa aku tidak sekolah. Aku akan menjawab bahwa aku sudah tak butuh sekolah. Mangapa? Aku sudah sekolah. Hanya berbeda tempatnya saja. Kebanyakan anak-anak penunggang kuda besi itu sekolah di tempat yang ada guru cantik dan tempat menarik. Aku sekolah di tempat yang penuh keramaian dan kendaraan. Dan ini sudah sangat cukup bahkan lebih dalam memberiku pelajaran hidup.
Beberapa kali aku pernah melihat oarang-orang itu terlihat lelah. Terutama di telinganya. Maka dari itu aku ingin menghiburnya. Masalah dikasih imbalan ataupun tidak itu tergantung hati mereka. Aku hanya ingin menghibur mereka. Kalau toh kehadiranku membawa pemandangan semakin keruh, aku akan meminta maaf.
Setiap kali. Bahkan setiap waktu selalu kulihat mata dan telinga mereka tidak sama. Terkadang kumelihat bertelinga gajah tapi bermata kelelawar. Lain lagi kulihat bermata elang tapi bermulut Kerang. Dan ada juga yang berhidung Anjing, bertelinga kelelawar tapi tak bermata. Di jalan ini ini sering kulihat mahkluk-mahkluk aneh itu. Tak jarang mereka melirikku dengan mata Elangnya terlihat siap memangsa anak ayam yang ditinggal induknya.
“Ngapain kamu di sini?” tanya salah seorang telinga kelelawar bermata kerang.
“Aku hanya ingin menghibur orang-orang.” Jawabku tanpa beban.
 “Mengapa tak kau hibur dirimu sendiri? Kau hanya merusak pemandangan!”
“Aku tak berniat seperti itu.”
“Kau mengganggu jalan. Mengganggu lalu lintas!”
“Mengganggu jalan dan mengganggu lalu lintas?”
“Iya. Mengganggu jalan dan mengganggu lalu lintas.”
“Aku hanya ingin menghibur orang-orang yang kupingnya butuh hiburan.”
“Hiburanmu hanya akan membuat kuping orang-orang bertambah parah.”
“Aku tak peduli. Itu urusan mereka. Aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai warga negara yang baik.” Lampu merah sudah nyala. Orang bertelinga kelelawar dan bermata kerang itu langsung tancap gas tanpa meninggalkan sesuatu yang berharga untukku.
Memang dari sekian orang yang kutemuai ada yang suka dengan kehadiranku, ada pula yang gerah melihat tampangku. Mungkin karena pikiran mereka yang sudah dicekoki ilmu dari tembok dan lantai keramik itu. Sehingga tak pernah tahu perasaan orang sepertiku. Biarlah, mereka tak mengerti apa yang kurasakan. Yang penting aku sudah melaksanakan kewajiban, sebagai warga negara yang baik tentunya.
***
Aku tak pernah tahu ibu kerja dimana. Saat malam menggaruk pagi, kulihat ibu berjalan simpang-siur dan mulutnya bau minuman. Aku berkali-kali tanya, tapi ibu tak pernah menjelaskan dan menjawab pertanyaanku. Dan bapak, sudah setahun lalu tak pernah kembali. Katanya mau berkerja cari uang banyak di luar negeri. Aku langsung membopong ibu ke kamarnya. Ibu masih cantik meski di usia kepala tiga. Aku melihat guratan kecantikannya tak memudar meski kesadarannya hilang. Ibu langsung tertidur pulas. Aku tidur di luar, agar tak ada seorangpun yang mengganggu istirahat ibu.
Pagi-pagi sekali kuberangkat. Aku punya ciptaan lagu baru. Akan kudendangkan pada setiap manusia yang lewat. Aku tak peduli mereka memberi imbalan uang atau hanya senyuman. Yang penting aku sudah menghibur mereka, entah mereka terhibur atau tidak  itu urusan mereka. Yang penting aku sudah melakukan kewajiban, sebagai warga negara yang baik tentunya. Pasti ibu guru yang pernah mengajariku waktu SD dulu akan bangga melihat muridnya mengamalkan perintahnya. Dan akan berucap padaku; kau adalah muridku yang paling kubanggakan, kau mengamalkan apa yang kuperintahkan. Dengan senang hati aku akan menjawabnya; ini semua berkat kerja keras Ibu, meski Ibu tak banyak uang tapi banyak memberiku pelajaran. Pasti ibu guruku tersebut akan tersenyum bangga karena muridnya sudah jadi orang.
Jika ada yang menyuruhku sekolah. Dibayar sekalipun sekolahku itu sampai SMA, aku tak akan mau. Aku tak ingin melihat ibuku, meneteskan air mata lagi. Karena saat pulang sekolah pasti akan kutanyakan pada ibu; mengapa anak-anak lain punya sepatu bagus, tas bagus, baju bagus, sedang aku tidak? Aku tak ingin mendengar jawaban ibu dengan lirih; mereka anak orang kaya, nak. Jadi kamu tak pantas meniru mereka. Kejadian seperti itu sudah kualami selama enam tahun di SD. Aku tak ingin melihat air mata perempuan cantik itu mengalir lagi. Lebih baik aku belajar di luar gedung berkeramik itu. Aku di sini bisa mempelajari kehidupan sesungguhnya, tanpa topeng, tanpa apapun yang menghalanginya. Dan jika orang-orang itu bertanya padaku apakah aku tidak punya orang tua, akan kujawab bahwa aku punya ibu yang cantik dan bapak yang gagah. Tak seperti orang yang menanyaiku yang berperut buncit itu.
            “Ibu, dimana Bapak?”
“Bapakmu kerja, Nak. Cari uang buat kita.”
“Tapi kenapa Ibu selalu keluar malam dan pulang pagi? Apa ikut Bapak cari uang?”
“Nak, ini semua demi kamu. Kalau Ibu sudah punya uang banyak, ibu akan menyekolahkanmu dengan sepatu bagus, tas bagus, dan seragam bagus.”
“Tidak perlu, Bu. Aku tak ingin sekolah lagi. Aku tak ingin menjadi seperti orang-orang yang kupingnya butuh hiburan.”
“Maksud kamu apa, Nak?”
“Aku tak ingin  sekolah lagi, Bu…,” sambil kupijati kaki  perempuan yang masih cantik ini. “Aku sudah bisa membaca, menulis, menciptakan lagu sendiri, menghibur orang-orang dan melakukan apa yang belum tentu bisa dilakukuan oleh anak-anak yang sekolah.”
“Kamu berkata apa, Nak! Ibu sudah capek-capek mencari uang setiap malam, ini demi sekolah kamu. Agar tidak bodoh seperti ibu. Agar kamu jadi orang pintar dan diterima bekerja di perusahaan. Itu akan membuatmu punya banyak uang.”
“Ibu, aku tak mau sekolah kalau ibu kerja malam-malam lagi!” Aku lepaskan pijitanku seketika.
“Nak, maafkan Ibu.”
“Seharusnya aku yang mengatakan itu, Bu.., jika perlu akan kujilati kaki ibu, agar aku bisa melihat surga.”
Ibu tak membalas kata-kataku lagi. Malam sudah hampir pagi. Ibu mendekap bantal yang dari tadi tergeletak tak digunakan. Sedangkan aku keluar dari kamarnya menuju bale di ruang tamu. Memejamkan mata sejenak.
Aku tak ingin keluar menghibur orang-orang. Aku ingin menghibur ibu di rumah. Aku tak mau ibu bertambah tua karena memikirkanku. Aku cinta ibu. Aku janji tak akan tanya lagi perihal dimana ibu kerja. Atau kenapa baru pulang ketika jam menunjukkan angka tiga. Atau kenapa ibu sering dicari laki-laki tua berkumis lebat dan berperut buncit. Atau hal-hal lain yang membuat ibu tidak bisa menjawab pertanyaanku.
“Ibu, kenapa badan ibu hangat sekali, Ibu sakit ya?”
“Badan ibu agak tidak enak.”
“Ayo kuantar ke Puskesmas, Bu..”
“Tidak usah nanti juga sembuh sendiri.”
Aku bergegas membelikan obat penurun panas di warung sebelah. Ibu langsung meminumnya. Tapi setelah sore menjelang, badan ibu tak kunjung membaik, malah semakin panas.
Aku tak tahu siapa orang tua yang datang menjenguk ibu. Orang itu memakai jaket kulit warna hitam berkumis panjang, menyeramkan. Kulihat orang itu menyelipkan amplop di dekat ibu. Sambil mengecup ibu, lalu pergi.
Kuberniat memanggil dokter terdekat. Karena ku tak tega melihat keadaan ibu yang kian parah.
“Bu, aku tinggal sebentar ya…”
“Mau kemana. Nak?”
“Sebentar saja, Bu.”
“Ibu tak mau sendirian, Nak…”
Aku bergegas keluar kamar. Membuka pintu rumah, menutupnya kembali. Menuju dokter terdekat. Aku ingin tahu ibu sakit apa. Aku harap Pak Dokter bisa memberi obat yang membuat ibu sehat.
“Kemana Pak Dokter pergi?” Kataku saat pembantunya memberi tahu kalau majikannya pergi naik mobil.
“Aku tidak tahu, Dik. Katanya mau memeriksa orang sakit di desa sebelah.”
“Di mana desanya?”
“Bapak tak memberi tahu, Dik.”
Sial. Harus kucari dimana lagi dokter di dekat sini. Aku teringat bidan bersalin yang dulu—kata ibu pernah membantu mengeluarkanku dari perutnya. Tapi sampai sekarang ibu tak pernah mau cerita perihal dari mana aku keluar.
Setelah mempersiapkan alat periksanya. Bidan itu kuajak naik angkot menuju rumahku. Tak kusangka. Aku kaget. Melihat ibu tak ada di tempat tidurnya. Aku cari di kolong kasur, tak ada. Kucari di kamar mandi juga tak ada. Kutanya pada tetangga, tak ada yang tahu. Kulihat pakaian ibu masih tergeletak di atas kasur. Mungkin ibu sedang mandi. Tapi di kamar mandi tak ada. Sudah kucari kemana-mana, ibu tetap tidak ada. Ku persilahkan agar Bu Bidan mau menunggu Ibu pulang.
Aku tak melihat tanda-tanda ibu akan pulang. Malam telah larut. Bu Bidan ijin pulang. Aku lihat ada seekor kupu-kupu menclok di jendela kamar ibu. Kutangkap, kumasukkan ke dalam toples bekas permen. Siapa tahu, dia tahu kemana ibu pergi. Sebab hanya dia yang ada di rumah ini.

Tuban, 205401072011

Pernah dimuat Bali Post, 22 Desember 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar