Oleh: Thoni
Mukharrom I.A
Setiap pagi, sebelum matahari menukik tepat di kepalaku, aku sudah
berada di jalan—dekat lampu merah. Menyanyikan lagu-lagu ciptaanku sendiri.
Terkadang orang yang mendengar nyanyianku merasa kasihan, terkadang merekam
dengan benda berbentuk kotak kecil. Orang itu terlihat menikmati apa yang
kudendangkan. Kelihatannya dia merasakan apa yang aku rasakan. Setelah itu aku
menerima dari saku celananya selembar uang berwarna biru, bergambar orang
membawa pedang.
Tak jarang ada juga orang yang tidak menghargai karyaku.
Mereka langsung mengangkat tangannya lalu menggerakkan kekiri-kekanan. Padahal
aku baru mau mendekati mobilnya. Aku tak peduli, aku tetap bernyanyi. Aku tak
butuh uangmu, aku hanya ingin memberi hiburan telingamu yang terlihat merah.
Lalu dengan klakson mobil sedannya, mengagetkanku. Biarlah, mungkin dia butuh
obat penenang agar kuat menghadapi masalah di kota besar seperti ini. Mobil yang biasa
kuberi hiburan rata-rata bercat mengkilap, berkaca gelap. Aku tak peduli, aku
hanya ingin memberi hiburan pada mereka. Kalau mereka tiba-tiba memuntahkan
ludah atau mengangkat tangan, dengan hormat aku akan pergi. Yang penting aku
sudah mengobati telinganya yang butuh hiburan.
Dari sekian banyak orang yang pernah kuhibur itu, ada
yang mempunyai pikiran bahwa aku adalah salah satu agen rahasia. Yang disetir
oleh mafia jahat berambut gondrong. Dan berusaha mencari uang dengan cara
mengemis di pinggir jalan. Memohon rasa kasihan pada setiap orang. Lalu setelah
mendapat banyak uang, akan menyetorkan kepada bosnya yang berambut gondrong. Aku
tidak seperti itu. Aku punya niat tulus, yaitu membantu mengobati telinga
orang-orang itu agar tak terlalu menahan berat persoalan rakyat. Bukankah
perbuatanku ini mencerminkan sebagai warga negara yang baik?
Kalau ditanya mengapa aku tidak sekolah. Aku akan
menjawab bahwa aku sudah tak butuh sekolah. Mangapa? Aku sudah sekolah. Hanya
berbeda tempatnya saja. Kebanyakan anak-anak penunggang kuda besi itu sekolah
di tempat yang ada guru cantik dan tempat menarik. Aku sekolah di tempat yang
penuh keramaian dan kendaraan. Dan ini sudah sangat cukup bahkan lebih dalam memberiku
pelajaran hidup.
Beberapa kali aku pernah melihat oarang-orang itu
terlihat lelah. Terutama di telinganya. Maka dari itu aku ingin menghiburnya.
Masalah dikasih imbalan ataupun tidak itu tergantung hati mereka. Aku hanya
ingin menghibur mereka. Kalau toh kehadiranku membawa pemandangan semakin
keruh, aku akan meminta maaf.
Setiap kali. Bahkan setiap waktu selalu kulihat mata dan
telinga mereka tidak sama. Terkadang kumelihat bertelinga gajah tapi bermata
kelelawar. Lain lagi kulihat bermata elang tapi bermulut Kerang. Dan ada juga
yang berhidung Anjing, bertelinga kelelawar tapi tak bermata. Di jalan ini ini
sering kulihat mahkluk-mahkluk aneh itu. Tak jarang mereka melirikku dengan
mata Elangnya terlihat siap memangsa anak ayam yang ditinggal induknya.
“Ngapain kamu di sini?” tanya salah seorang telinga
kelelawar bermata kerang.
“Aku hanya ingin menghibur orang-orang.” Jawabku tanpa
beban.
“Mengapa tak kau
hibur dirimu sendiri? Kau hanya merusak pemandangan!”
“Aku tak berniat seperti itu.”
“Kau mengganggu jalan. Mengganggu lalu lintas!”
“Mengganggu jalan dan mengganggu lalu lintas?”
“Iya. Mengganggu jalan dan mengganggu lalu lintas.”
“Aku hanya ingin menghibur orang-orang yang kupingnya
butuh hiburan.”
“Hiburanmu hanya akan membuat kuping orang-orang
bertambah parah.”
“Aku tak peduli. Itu urusan mereka. Aku hanya
menjalankan kewajibanku sebagai warga negara yang baik.” Lampu merah sudah
nyala. Orang bertelinga kelelawar dan bermata kerang itu langsung tancap gas
tanpa meninggalkan sesuatu yang berharga untukku.
Memang dari sekian orang yang kutemuai ada yang suka
dengan kehadiranku, ada pula yang gerah melihat tampangku. Mungkin karena pikiran
mereka yang sudah dicekoki ilmu dari tembok dan lantai keramik itu. Sehingga
tak pernah tahu perasaan orang sepertiku. Biarlah, mereka tak mengerti apa yang
kurasakan. Yang penting aku sudah melaksanakan kewajiban, sebagai warga negara
yang baik tentunya.
***
Aku tak pernah tahu ibu kerja dimana. Saat malam
menggaruk pagi, kulihat ibu berjalan simpang-siur dan mulutnya bau minuman. Aku
berkali-kali tanya, tapi ibu tak pernah menjelaskan dan menjawab pertanyaanku.
Dan bapak, sudah setahun lalu tak pernah kembali. Katanya mau berkerja cari
uang banyak di luar negeri. Aku langsung membopong ibu ke kamarnya. Ibu masih
cantik meski di usia kepala tiga. Aku melihat guratan kecantikannya tak memudar
meski kesadarannya hilang. Ibu langsung tertidur pulas. Aku tidur di luar, agar
tak ada seorangpun yang mengganggu istirahat ibu.
Pagi-pagi sekali kuberangkat. Aku punya ciptaan lagu
baru. Akan kudendangkan pada setiap manusia yang lewat. Aku tak peduli mereka
memberi imbalan uang atau hanya senyuman. Yang penting aku sudah menghibur
mereka, entah mereka terhibur atau tidak
itu urusan mereka. Yang penting aku sudah melakukan kewajiban, sebagai
warga negara yang baik tentunya. Pasti ibu guru yang pernah mengajariku waktu SD
dulu akan bangga melihat muridnya mengamalkan perintahnya. Dan akan berucap
padaku; kau adalah muridku yang paling kubanggakan, kau mengamalkan apa yang
kuperintahkan. Dengan senang hati aku akan menjawabnya; ini semua berkat kerja
keras Ibu, meski Ibu tak banyak uang tapi banyak memberiku pelajaran. Pasti ibu
guruku tersebut akan tersenyum bangga karena muridnya sudah jadi orang.
Jika ada yang menyuruhku sekolah. Dibayar sekalipun
sekolahku itu sampai SMA, aku tak akan mau. Aku tak ingin melihat ibuku,
meneteskan air mata lagi. Karena saat pulang sekolah pasti akan kutanyakan pada
ibu; mengapa anak-anak lain punya sepatu bagus, tas bagus, baju bagus, sedang
aku tidak? Aku tak ingin mendengar jawaban ibu dengan lirih; mereka anak orang
kaya, nak. Jadi kamu tak pantas meniru mereka. Kejadian seperti itu sudah
kualami selama enam tahun di SD. Aku tak ingin melihat air mata perempuan
cantik itu mengalir lagi. Lebih baik aku belajar di luar gedung berkeramik itu.
Aku di sini bisa mempelajari kehidupan sesungguhnya, tanpa topeng, tanpa apapun
yang menghalanginya. Dan jika orang-orang itu bertanya padaku apakah aku tidak
punya orang tua, akan kujawab bahwa aku punya ibu yang cantik dan bapak yang
gagah. Tak seperti orang yang menanyaiku yang berperut buncit itu.
“Ibu, dimana
Bapak?”
“Bapakmu kerja, Nak. Cari uang buat kita.”
“Tapi kenapa Ibu selalu keluar malam dan pulang pagi?
Apa ikut Bapak cari uang?”
“Nak, ini semua demi kamu. Kalau Ibu sudah punya uang
banyak, ibu akan menyekolahkanmu dengan sepatu bagus, tas bagus, dan seragam bagus.”
“Tidak perlu, Bu. Aku tak ingin sekolah lagi. Aku tak
ingin menjadi seperti orang-orang yang kupingnya butuh hiburan.”
“Maksud kamu apa, Nak?”
“Aku tak ingin
sekolah lagi, Bu…,” sambil kupijati kaki
perempuan yang masih cantik ini. “Aku sudah bisa membaca, menulis,
menciptakan lagu sendiri, menghibur orang-orang dan melakukan apa yang belum
tentu bisa dilakukuan oleh anak-anak yang sekolah.”
“Kamu berkata apa, Nak! Ibu sudah capek-capek mencari
uang setiap malam, ini demi sekolah kamu. Agar tidak bodoh seperti ibu. Agar
kamu jadi orang pintar dan diterima bekerja di perusahaan. Itu akan membuatmu
punya banyak uang.”
“Ibu, aku tak mau sekolah kalau ibu kerja malam-malam
lagi!” Aku lepaskan pijitanku seketika.
“Nak, maafkan Ibu.”
“Seharusnya aku yang mengatakan itu, Bu.., jika perlu
akan kujilati kaki ibu, agar aku bisa melihat surga.”
Ibu tak membalas kata-kataku lagi. Malam sudah hampir
pagi. Ibu mendekap bantal yang dari tadi tergeletak tak digunakan. Sedangkan
aku keluar dari kamarnya menuju bale di ruang tamu. Memejamkan mata sejenak.
Aku tak ingin keluar menghibur orang-orang. Aku ingin
menghibur ibu di rumah. Aku tak mau ibu bertambah tua karena memikirkanku. Aku
cinta ibu. Aku janji tak akan tanya lagi perihal dimana ibu kerja. Atau kenapa baru
pulang ketika jam menunjukkan angka tiga. Atau kenapa ibu sering dicari
laki-laki tua berkumis lebat dan berperut buncit. Atau hal-hal lain yang
membuat ibu tidak bisa menjawab pertanyaanku.
“Ibu, kenapa badan ibu hangat sekali, Ibu sakit ya?”
“Badan ibu agak tidak enak.”
“Ayo kuantar ke Puskesmas, Bu..”
“Tidak usah nanti juga sembuh sendiri.”
Aku bergegas membelikan obat penurun panas di warung
sebelah. Ibu langsung meminumnya. Tapi setelah sore menjelang, badan ibu tak
kunjung membaik, malah semakin panas.
Aku tak tahu siapa orang tua yang datang menjenguk ibu.
Orang itu memakai jaket kulit warna hitam berkumis panjang, menyeramkan.
Kulihat orang itu menyelipkan amplop di dekat ibu. Sambil mengecup ibu, lalu
pergi.
Kuberniat memanggil dokter terdekat. Karena ku tak tega
melihat keadaan ibu yang kian parah.
“Bu, aku tinggal sebentar ya…”
“Mau kemana. Nak?”
“Sebentar saja, Bu.”
“Ibu tak mau sendirian, Nak…”
Aku bergegas keluar kamar. Membuka pintu rumah,
menutupnya kembali. Menuju dokter terdekat. Aku ingin tahu ibu sakit apa. Aku
harap Pak Dokter bisa memberi obat yang membuat ibu sehat.
“Kemana Pak Dokter pergi?” Kataku saat pembantunya memberi
tahu kalau majikannya pergi naik mobil.
“Aku tidak tahu, Dik. Katanya mau memeriksa orang sakit
di desa sebelah.”
“Di mana desanya?”
“Bapak tak memberi tahu, Dik.”
Sial. Harus kucari dimana lagi dokter di dekat sini. Aku
teringat bidan bersalin yang dulu—kata ibu pernah membantu mengeluarkanku dari
perutnya. Tapi sampai sekarang ibu tak pernah mau cerita perihal dari mana aku
keluar.
Setelah mempersiapkan alat periksanya. Bidan itu kuajak
naik angkot menuju rumahku. Tak kusangka. Aku kaget. Melihat ibu tak ada di
tempat tidurnya. Aku cari di kolong kasur, tak ada. Kucari di kamar mandi juga
tak ada. Kutanya pada tetangga, tak ada yang tahu. Kulihat pakaian ibu masih
tergeletak di atas kasur. Mungkin ibu sedang mandi. Tapi di kamar mandi tak
ada. Sudah kucari kemana-mana, ibu tetap tidak ada. Ku persilahkan agar Bu
Bidan mau menunggu Ibu pulang.
Aku tak melihat tanda-tanda ibu akan pulang. Malam telah
larut. Bu Bidan ijin pulang. Aku lihat ada seekor kupu-kupu menclok di jendela
kamar ibu. Kutangkap, kumasukkan ke dalam toples bekas permen. Siapa tahu, dia
tahu kemana ibu pergi. Sebab hanya dia yang ada di rumah ini.
Tuban, 205401072011
Pernah dimuat Bali Post, 22 Desember 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar