Oleh: Thoni Mukarrom
Tubuh naganya meliuk-liuk indah ke
angkasa. Menembus awan putih hingga melelapkan mentari. Siang begitu menggoda.
Tarian keindahan mementaskan harapan. Mencakar langit.
1.
Gadis itu sungguh memesona. Saat ia
menari, tariannya menjelma naga. Setiap kali aku melihatnya dari kampung satu
ke kampung lain, ia memanjakan setiap mata penonton. Menyihir mata orang-orang
yang butuh hiburan. Memang, tak mudah cari hiburan di desa. Mungkin TV, itu
kalau yang punya uang banyak. Kebanyakan orang di desaku hidup di bawah garis
kemiskinan. Benar, seperti orang-orang di desa lain.
Butuh kesabaran ekstra untuk mencintai
gadis seperti Ning. Bagaimana tidak, setiap hari aku harus menerima cacian dari
tetanggaku, dari kerabatku, dari teman-temanku. Apa tidak ada gadis lain saja
di desa ini? Kata bapakku suatu waktu.
Aku tak peduli kata-kata itu. Tak ada yang bisa memisahkan cinta kita. Tak ada.
Begitulah kira-kira rasa jatuh cinta pada
wanita yang kurasakan sekarang. Semuanya terasa indah. Setiap kali ia selesai
manggung, aku selalu menunggunya. Ia tak begitu peduli dengan apa yang kunaiki.
Ia tak menuntut banyak dariku. Mungkin aku lelaki beruntung di dunia. Hanya
sepeda jengki ini sudah membuat seorang gadis itu mau jadi pacarku. Kami selalu
menikmati hal-hal kecil yang ada. Aku pun juga tak menuntut banyak darinya.
Biar pun ia seorang ledek, aku tak
peduli.
Berhari kulewati dengannya. Memang,
terkadang semuanya berlalu begitu saja. Kadang cinta begitu rumit. Mungkin juga
banyaknya penderitaan yang telah kulewati bersamanya. Jurang pemisah dan status
sosial yang sering kali membuat kita selalu menikmati getir cinta. Bukankah
cinta selalu membahagiakan? Tuhan menciptakan cinta untuk menemani manusia agar
tidak bosan hidup di dunia. Tuhan menciptakan cinta agar membuat manusia saling
menghargai, saling menghormati, saling membutuhkan. Tapi, semua itu terkadang
kupertanyakan. Bukan kutakmengimani cinta yang telah diciptakan Tuhan. Bukan
pula aku tak pernah merasakan itu. Tapi saat kubersamanya, kau tahu, semua itu
telah membuatku tak tahu arti sebuah cinta. Penuh misteri, betul kata pujangga
terdahulu, cinta itu buta. Tak jarang kuberpikir mengapa banyak orang
berperang. Padahal mereka sendiri menyeru betapa indahnya perdamaian. Mungkin
mereka juga bingung atau tak mengerti arti cinta, seperti apa yang kurasakan
sekarang. Hmm.
2.
“Kenapa Kau masih berhubungan dengan gadis
murahan itu?” Kata bapakku di suatu malam, setelah aku mengantar pulang pujaan hatiku.
“Apa tidak ada gadis lain di desa ini,
Nak..” Sahut ibuku.
“Bu, biarkan aku pilih hidupku sendiri,
aku sudah besar, Bu..” Jawabku.
Kedua orangtuaku memang tak pernah tahu
apa yang kurasakan. Aku mencintainya, bukan karena ia mencintaiku. Aku
mencintainya, bukan karena ia cantik. Aku mencintainya karena aku memang
benar-benar cinta. Cuma itu. Benar sekali, jika ada orang yang menyebutku
munafik untuk mengakui bahwa ia cantik.
Aku tak menyalahkan bila orang-orang
mengira bahwa aku lelaki kotor yang mencintai wanita—yang mereka pikir juga
kotor. Yang penting aku bisa mencintainya seperti mencintai tubuhku sendiri.
Tak penting semuanya yang telah ia berikan padaku. Memang semuanya pantas
kudapatkan karena mencintainya.
Asal tahu saja, mereka juga suka menonton
Langen Tayub. Aku tahu itu, siapa kemarin yang mabuk dan tertidur di pinggir
jalan sampai pagi. Sekarang aku hanya bisa tertawa jika mereka mengejekku lagi.
Mereka memang hewan berwajah manusia. Jangan heran jika Darwin pernah menyebut
mereka bernenek moyang kera.
3.
Suatu malam saat ia selesai tanggapan
acara anak khitan. Aku menunggunya di balik pepohonan. Orang yang tak tahu
pasti mengiraku sedang mencari wangsit untuk nomor undian. Atau dikira penyair
yang sedang mencari imajinasi. Mungkin juga arwah penasaran. Biarlah, aku diam
saja.
“Mas, sudah dari tadi? ”
“Sekitar sejam, Dik.. ”
“Ayo, Mas pulang. Aku lelah sekali.”
Malam itu kami berdua menyusuri malam.
Menikmati hawa dingin yang menelisik di balik kaos oblong. Ning merasa
kedinginan. Ia memeluk erat perutku. Aku gemetar. Baru kali ini aku merasakan
sesuatu yang aneh. Sepanjang perjalanan pulang, aku dibuatnya merinding penuh
keanehan. Aku menyanyikan lagu kesukaannya. Lewat serak pita suara, aku mencoba
membuatnyua sedikit tersenyum. Ia terkekeh mendengar suaraku. Malam itu sangat
aneh, untuk sebuah cinta yang aneh. Rembulan pun sedang aneh—berbentuk hati.
4.
“Kalau kamu tak meninggalkannya, lebih
baik kamu pergi saja dan jangan pernah kembali!!” Suara bapakku seperti petir
di siang bolong.
“Pak, sabar Pak..meskipun begitu ia anak
kita sendiri, Pak..”
“Persetan!!! Ia sudah tak menghargai kita
sebagai orang tua, Bu.”
“Pak, jangan begitu…” Belum selesai ibu
bicara, bapak mengambil sebilah pisau yang tergeletak di atas meja. Lalu
mengacungkannya padaku.
“Pak, sabar, Pakkkk…”
Malam itu juga aku lari meninggalkan
rumah. Ibu mengejarku, ia memberi beberapa uang. Aku pamit dengan iringan
airmata. Ibu juga.
“Bu, maafkan aku, aku anak tak berbakti
pada orangtua…” Aku langsung lari sebelum ibu menyahut kata-kataku.
5.
“Mas, kenapa berbuat senekat itu?”
“Aku tak tahu, Dik”
“Kenapa sih, Mas? ”
“Aku tak bisa menjelaskan semuanya...”
Entah kenapa, aku selalu tak punya alasan
jika ia menanyakan tentang hal yang telah kulakukan. Sebelum itu, aku juga
pernah memukul tetanggaku, saat ia mengejekku. Aku juga tak punya alasan
mengapa aku melakukannya. Saat itu yang ada di pikiranku hanya ingin memukulnya
saja. Beberapa waktu sebelum itu, aku juga telah berani mengoboskan ban sepeda
motor Kepala Desa. Ia tak mengata-ngataiku seperti tetanggaku tadi. Ia hanya
melirikku sambil tersenyum. Entah, saat ia masuk ke Balai Desa, jemari
menuntunku untuk menancapkan jarum. Semua kejadian itu tak seberapa jika
dibandingkan dengan pengusiran bapak malam tadi. Dan lagi-lagi aku tak punya
alasan untuk kujelaskan padanya. Sudahlah, aku sudah cukup senang dengan
ketidakpahamanku tentang cinta. Tapi aku akan selalu menikmati ini walau sangat
rumit.
“ Ya udah Mas, o ya, besok aku ada
tanggapan di telaga lho, desa sebelah.”
“Jam berapa, Dik?”
“Jam satu siang, Mas…”
Sudah dua kali ini ia dan kelompok
tayubnya diundang untuk syukuran di telaga. Di sekitar desaku masih
mempertahankan tradisi nenek moyang. Salah satunya ya itu, menggelar
pertunjukkan langen tayub dan sesaji alam di sekitar telaga. Biasanya acara
seperti itu dilaksanakan setahun sekali, setelah panen raya. Terkadang juga ada
yang menggelar syukuran saat mendapat rezeki lebih. Semua mereka lakukan untuk
mensyukuri nikmat yang telah diberikan Sang pemberi hidup.
Beberapa warga menyumbangkan sebagian
harta untuk acara itu. Ada beras, ayam, dan berbagai macam makanan tradisional.
Mereka membagikan bancak’an kepada
seluruh warga yang hadir. Sebuah sarana untuk mempererat tali persaudaraan yang
efektif. Dan itu sudah berlaku ribuan tahun lalu, sebelum orang mengenal
nasionalisme. Aku bangga dengan apa yang mereka lakukan. Sayang acara seperti
ini kurang disukai para remaja. Mereka lebih suka dangdut koplo. Kau tahu,
goyangan biduan cantik itu mengebor hati mereka.
Dengan baju warna krim kekuning-kuningan,
Ning kuantar ke telaga. Siang yang panas, matahari mungkin sedang membuka
bajunya. Aku terseok-seok mengantar Ning ke telaga. Jalan ke telaga tak semulus
jalan raya. Banyak batu kecil, batu besar yang tertimbun tanah, juga tanaman
berduri di pingirnya. Akhirnya dengan perjuangan yang melelahkan, aku sampai
juga di telaga. Di sini sudah banyak sekali warga desa berkumpul. Di
masing-masing tangannya ada yang membawa bucu
lengkap dengan ayam panggang. Di antara mereka kulihat juga ada yang membawa
bunga-bungaan, aku tak tahu akan dibuat apa. Persis di samping bucu-bucu itu
ada peralatan gamelan lengkap. Telah sedari tadi pagi dipersiapkan.
Pertunjukkan akan segera
dimulai. Para panjak telah siap dengan alatnya masing-masing. Ning
satu-satunya ledek muda yang masih
bertahan. Teman-temannya banyak yang keluar karena tidak tahan omongan warga
yang tak suka. Tak heran jika ia kerap menjadi sasaran omongan tak sedap. Tapi
aku tak terlalu peduli dengan itu semua. Cintaku padanya tak ada yang
memisahkan. Biar anjing menggonggong kafilah berlalu. Apa urusan mereka.
Pertunjukkan kali ini sangat memukau. Ning
berubah jadi naga biru, meliuk-liukkan tubuhnya ke angkasa. Menyemburkan api.
Menari di antara awan yang beriringan. Sungguh pemandangan yang membuat mataku
enggan berkedip. Suaranya merayap senyap. Naga biru itu menyelaraskan gerakan
tari disisipi nyanyian duka. Aku terharu dengan semua itu. Ia mendendangkan dukanya
di angkasa. Api biru menjilat-jilat menyentuh tanah. Perlahan air bening
memaksa keluar. Pertunjukkan luar biasa!
“Ayo Mas, pulang..” Suaranya menghamburkan
imajiku. Aku tak bisa menyembunyikan airmata padanya.
“Mas kenapa?” Tanyanya pelan.
“Ehm, tadi mata mas kelilipan, Dik.”
Jawabku terbata.
“O, kirain kenapa. Ayo Mas pulang, acara
sudah selesai.”
“iya, Dik..” Saking terbawa suasana yang
luar biasa, aku tak sadar pertunjukkan telah selesai.
6.
Meskipun kadang aku berpikir, mengapa aku
begitu nurut padanya, padahal dalam hubungan ini tak ada yang merestui. Aku
benar-benar tak tahu alasannya. Semuanya kujalani dengan begitu ihklas, ihklas
mencintai apa adanya. Kalau ada orang bilang aku telah dibutakan cinta, mungkin
itu benar. Mungkin juga tidak. Ah, dari pada pusing memikirkan itu, lebih baik
aku jalani semua ini dengan tulus. Di zaman sekarang tak mudah menemukan gadis
seperti dia. Aku beruntung bisa berpacar dengannya. Setiap kali kucoba
menggungkapkan apa yang kurasakan, ia selalu tersenyum, tersenyum kecut.
Biarlah, memang beginilah cinta, indah dan misteri.
“Bu, ada apa dengan anak kita.
Mengapa anak kita bisa kepincut dengan
ledek sialan itu.”
“Ibu tidak tahu, Pak. Mengapa
Bapak tega mungusirnya. Dia kan anak kita satu-satunya. Penerus kita.”
“Bapak tak peduli Bu, anak itu
sekali-kali harus mendapat pelajaran, agar ia dapat merasakan susahnya
menjalani hidup. Biar ia tahu hidup yang singkat ini jangan dibuat main-main.
Ibu paham kan maksud bapak?”
“Paham, Pak.. tapi ibu khawatir
dengan apa yang terjadi pada anak kita sekarang..,”
“Ibu jangan terbawa perasaan. Ia
akan balik saat ia lapar dan membutuhkan uang. Tenang saja, Bu.”
“Bapak tidak boleh begitu, siapa
tahu Iwan benar-benar nekat dan tidak mau kembali lagi ke rumah ini”
“Ibu percaya bapak, dalam waktu
dekat Iwan pasti akan kembali.”
Mendengar pembicaraan kedua
orangtuaku itu, aku enggan masuk rumah. Kutulis sepucuk surat untuk ibu.
Kukabarkan keadaanku, bahwa aku baik-baik saja. Aku sudah dapat pekerjaan.
Walau sebagai penjaga warung makan lesehan. Aku sudah bersyukur. Kuharap ibu
tak terlalu mencemaskan keadaanku sekarang. Dan rencananya tahun depan aku akan
melamar Ning. Mungkin ibu merestui. Tapi bapak, aku kurang yakin pada beliau.
Semoga saja dengan ketidakpulanganku, bapak bisa luluh hatinya dan merestui
pernikahanku.
Aku tidak jadi masuk rumah.
Kuselipkan sepucuk surat di bawah pintu. Semoga besok saat ibu menyapu,
menemukan dan membacanya. Semoga bapak tak menemukannya lebih dulu, agar darah
tingginya tidak kumat. Aku mengayuh pelan sepeda jengkiku menuju warung lesehan
tempatku bekerja. Selain tempat kerja, di warung itu juga di sediakan kamar
buat karyawan. Aku tinggal sementara di situ, sambil mengumpulkan uang untuk
persiapan pernikahan.
7.
Rasanya sekarang aku
sudah menjadi mempelai pria. Menggunakan peci hitam dengan jas hitam. Rasanya
aku menjadi pangeran dari negeri dongeng yang tanpa sengaja menemukan putri
tidur, lalu membangunkannya dengan ciuman. Indah rasanya. Serasa aku tidak
hidup di dunia ini. Aku hidup di dunia
lain dengan suasana lain pula. Bak pangeran dari kerajaan Antah Berantah
menemukan putri pilihannya. Lalu mempersuntingnya dan hidup bahagia selamanya.
Sekarang kufokuskan untuk giat bekerja. Aku
tak ingin mengecewakan Ning saat pernikahan nanti. Aku ingin membahagiakannya.
Hanya itu, aku ingin menghapus airmatanya yang selalu ia keluarkan setiap
malam. Ketika ia mengingat kedua orangtuanya yang telah meninggal dunia. Aku
ingin menghapus keringatnya. Memerasnya lalu kalau ia mengijinkan, ingin
kuminum keringat itu. Ya, aku akan meminumnya. Terdengar gombal memang, tapi
biar ia tahu, aku juga merasakan apa yang sedang ia rasakan.
“Ning, tunggu mas...,” bisikku sebelum memejamkan mata.
***
Catatan:
Tanggapan :
pertunjukkan (tontonan)
Ledek : penari dalam pertunjukkan Langen Tayub
Panjak : penabuh gamelan dalam pertunjukkan Langen Tayub
Bucu (jawa): tumpeng, nasi yang dibentuk seperti kerucut. Biasanya disajikan saat ada acara penting
atau selamatan.
Tuban, mei 2011
Pemenang harapan lomba cipta cerpen remaja tingkat nasional, Lip ace golden award
Tidak ada komentar:
Posting Komentar