Senin, 23 Maret 2015

Tarian Naga




Oleh: Thoni Mukarrom

Tubuh naganya meliuk-liuk indah ke angkasa. Menembus awan putih hingga melelapkan mentari. Siang begitu menggoda. Tarian keindahan mementaskan harapan. Mencakar langit.
1.
Gadis itu sungguh memesona. Saat ia menari, tariannya menjelma naga. Setiap kali aku melihatnya dari kampung satu ke kampung lain, ia memanjakan setiap mata penonton. Menyihir mata orang-orang yang butuh hiburan. Memang, tak mudah cari hiburan di desa. Mungkin TV, itu kalau yang punya uang banyak. Kebanyakan orang di desaku hidup di bawah garis kemiskinan. Benar, seperti orang-orang di desa lain.
Butuh kesabaran ekstra untuk mencintai gadis seperti Ning. Bagaimana tidak, setiap hari aku harus menerima cacian dari tetanggaku, dari kerabatku, dari teman-temanku. Apa tidak ada gadis lain saja di desa ini?  Kata bapakku suatu waktu. Aku tak peduli kata-kata itu. Tak ada yang bisa memisahkan cinta kita. Tak ada.
Begitulah kira-kira rasa jatuh cinta pada wanita yang kurasakan sekarang. Semuanya terasa indah. Setiap kali ia selesai manggung, aku selalu menunggunya. Ia tak begitu peduli dengan apa yang kunaiki. Ia tak menuntut banyak dariku. Mungkin aku lelaki beruntung di dunia. Hanya sepeda jengki ini sudah membuat seorang gadis itu mau jadi pacarku. Kami selalu menikmati hal-hal kecil yang ada. Aku pun juga tak menuntut banyak darinya. Biar pun ia seorang ledek, aku tak peduli.
Berhari kulewati dengannya. Memang, terkadang semuanya berlalu begitu saja. Kadang cinta begitu rumit. Mungkin juga banyaknya penderitaan yang telah kulewati bersamanya. Jurang pemisah dan status sosial yang sering kali membuat kita selalu menikmati getir cinta. Bukankah cinta selalu membahagiakan? Tuhan menciptakan cinta untuk menemani manusia agar tidak bosan hidup di dunia. Tuhan menciptakan cinta agar membuat manusia saling menghargai, saling menghormati, saling membutuhkan. Tapi, semua itu terkadang kupertanyakan. Bukan kutakmengimani cinta yang telah diciptakan Tuhan. Bukan pula aku tak pernah merasakan itu. Tapi saat kubersamanya, kau tahu, semua itu telah membuatku tak tahu arti sebuah cinta. Penuh misteri, betul kata pujangga terdahulu, cinta itu buta. Tak jarang kuberpikir mengapa banyak orang berperang. Padahal mereka sendiri menyeru betapa indahnya perdamaian. Mungkin mereka juga bingung atau tak mengerti arti cinta, seperti apa yang kurasakan sekarang. Hmm.
2.
 “Kenapa Kau masih berhubungan dengan gadis murahan itu?” Kata bapakku di suatu malam, setelah aku mengantar pulang  pujaan hatiku.
“Apa tidak ada gadis lain di desa ini, Nak..” Sahut ibuku.
“Bu, biarkan aku pilih hidupku sendiri, aku sudah besar, Bu..” Jawabku.
Kedua orangtuaku memang tak pernah tahu apa yang kurasakan. Aku mencintainya, bukan karena ia mencintaiku. Aku mencintainya, bukan karena ia cantik. Aku mencintainya karena aku memang benar-benar cinta. Cuma itu. Benar sekali, jika ada orang yang menyebutku munafik untuk mengakui bahwa ia cantik.
Aku tak menyalahkan bila orang-orang mengira bahwa aku lelaki kotor yang mencintai wanita—yang mereka pikir juga kotor. Yang penting aku bisa mencintainya seperti mencintai tubuhku sendiri. Tak penting semuanya yang telah ia berikan padaku. Memang semuanya pantas kudapatkan karena mencintainya.
Asal tahu saja, mereka juga suka menonton Langen Tayub. Aku tahu itu, siapa kemarin yang mabuk dan tertidur di pinggir jalan sampai pagi. Sekarang aku hanya bisa tertawa jika mereka mengejekku lagi. Mereka memang hewan berwajah manusia. Jangan heran jika Darwin pernah menyebut mereka bernenek moyang kera.
3.
Suatu malam saat ia selesai tanggapan acara anak khitan. Aku menunggunya di balik pepohonan. Orang yang tak tahu pasti mengiraku sedang mencari wangsit untuk nomor undian. Atau dikira penyair yang sedang mencari imajinasi. Mungkin juga arwah penasaran. Biarlah, aku diam saja.
“Mas, sudah dari tadi? ”
“Sekitar sejam, Dik.. ”
“Ayo, Mas pulang. Aku lelah sekali.”
Malam itu kami berdua menyusuri malam. Menikmati hawa dingin yang menelisik di balik kaos oblong. Ning merasa kedinginan. Ia memeluk erat perutku. Aku gemetar. Baru kali ini aku merasakan sesuatu yang aneh. Sepanjang perjalanan pulang, aku dibuatnya merinding penuh keanehan. Aku menyanyikan lagu kesukaannya. Lewat serak pita suara, aku mencoba membuatnyua sedikit tersenyum. Ia terkekeh mendengar suaraku. Malam itu sangat aneh, untuk sebuah cinta yang aneh. Rembulan pun sedang aneh—berbentuk hati.
4.
“Kalau kamu tak meninggalkannya, lebih baik kamu pergi saja dan jangan pernah kembali!!” Suara bapakku seperti petir di siang bolong.
“Pak, sabar Pak..meskipun begitu ia anak kita sendiri, Pak..”
“Persetan!!! Ia sudah tak menghargai kita sebagai orang tua, Bu.”
“Pak, jangan begitu…” Belum selesai ibu bicara, bapak mengambil sebilah pisau yang tergeletak di atas meja. Lalu mengacungkannya padaku.
“Pak, sabar, Pakkkk…”
Malam itu juga aku lari meninggalkan rumah. Ibu mengejarku, ia memberi beberapa uang. Aku pamit dengan iringan airmata. Ibu juga.
“Bu, maafkan aku, aku anak tak berbakti pada orangtua…” Aku langsung lari sebelum ibu menyahut kata-kataku.
5.
 “Mas, kenapa berbuat senekat itu?”
“Aku tak tahu, Dik”
“Kenapa sih, Mas? ”
“Aku tak bisa menjelaskan semuanya...”
Entah kenapa, aku selalu tak punya alasan jika ia menanyakan tentang hal yang telah kulakukan. Sebelum itu, aku juga pernah memukul tetanggaku, saat ia mengejekku. Aku juga tak punya alasan mengapa aku melakukannya. Saat itu yang ada di pikiranku hanya ingin memukulnya saja. Beberapa waktu sebelum itu, aku juga telah berani mengoboskan ban sepeda motor Kepala Desa. Ia tak mengata-ngataiku seperti tetanggaku tadi. Ia hanya melirikku sambil tersenyum. Entah, saat ia masuk ke Balai Desa, jemari menuntunku untuk menancapkan jarum. Semua kejadian itu tak seberapa jika dibandingkan dengan pengusiran bapak malam tadi. Dan lagi-lagi aku tak punya alasan untuk kujelaskan padanya. Sudahlah, aku sudah cukup senang dengan ketidakpahamanku tentang cinta. Tapi aku akan selalu menikmati ini walau sangat rumit.
“ Ya udah Mas, o ya, besok aku ada tanggapan di telaga lho, desa sebelah.”
“Jam berapa, Dik?”
“Jam satu siang, Mas…”
Sudah dua kali ini ia dan kelompok tayubnya diundang untuk syukuran di telaga. Di sekitar desaku masih mempertahankan tradisi nenek moyang. Salah satunya ya itu, menggelar pertunjukkan langen tayub dan sesaji alam di sekitar telaga. Biasanya acara seperti itu dilaksanakan setahun sekali, setelah panen raya. Terkadang juga ada yang menggelar syukuran saat mendapat rezeki lebih. Semua mereka lakukan untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan Sang pemberi hidup.
Beberapa warga menyumbangkan sebagian harta untuk acara itu. Ada beras, ayam, dan berbagai macam makanan tradisional. Mereka membagikan bancak’an kepada seluruh warga yang hadir. Sebuah sarana untuk mempererat tali persaudaraan yang efektif. Dan itu sudah berlaku ribuan tahun lalu, sebelum orang mengenal nasionalisme. Aku bangga dengan apa yang mereka lakukan. Sayang acara seperti ini kurang disukai para remaja. Mereka lebih suka dangdut koplo. Kau tahu, goyangan biduan cantik itu mengebor hati mereka.
Dengan baju warna krim kekuning-kuningan, Ning kuantar ke telaga. Siang yang panas, matahari mungkin sedang membuka bajunya. Aku terseok-seok mengantar Ning ke telaga. Jalan ke telaga tak semulus jalan raya. Banyak batu kecil, batu besar yang tertimbun tanah, juga tanaman berduri di pingirnya. Akhirnya dengan perjuangan yang melelahkan, aku sampai juga di telaga. Di sini sudah banyak sekali warga desa berkumpul. Di masing-masing tangannya ada yang membawa bucu lengkap dengan ayam panggang. Di antara mereka kulihat juga ada yang membawa bunga-bungaan, aku tak tahu akan dibuat apa. Persis di samping bucu-bucu itu ada peralatan gamelan lengkap. Telah sedari tadi pagi dipersiapkan. 
Pertunjukkan akan segera dimulai. Para panjak telah siap dengan alatnya masing-masing. Ning satu-satunya ledek muda yang masih bertahan. Teman-temannya banyak yang keluar karena tidak tahan omongan warga yang tak suka. Tak heran jika ia kerap menjadi sasaran omongan tak sedap. Tapi aku tak terlalu peduli dengan itu semua. Cintaku padanya tak ada yang memisahkan. Biar anjing menggonggong kafilah berlalu. Apa urusan mereka.
 Pertunjukkan kali ini sangat memukau. Ning berubah jadi naga biru, meliuk-liukkan tubuhnya ke angkasa. Menyemburkan api. Menari di antara awan yang beriringan. Sungguh pemandangan yang membuat mataku enggan berkedip. Suaranya merayap senyap. Naga biru itu menyelaraskan gerakan tari disisipi nyanyian duka. Aku terharu dengan semua itu. Ia mendendangkan dukanya di angkasa. Api biru menjilat-jilat menyentuh tanah. Perlahan air bening memaksa keluar. Pertunjukkan luar biasa!
“Ayo Mas, pulang..” Suaranya menghamburkan imajiku. Aku tak bisa menyembunyikan airmata padanya.
“Mas kenapa?” Tanyanya pelan.
“Ehm, tadi mata mas kelilipan, Dik.” Jawabku terbata.
“O, kirain kenapa. Ayo Mas pulang, acara sudah selesai.”
“iya, Dik..” Saking terbawa suasana yang luar biasa, aku tak sadar pertunjukkan telah selesai.
6.
Meskipun kadang aku berpikir, mengapa aku begitu nurut padanya, padahal dalam hubungan ini tak ada yang merestui. Aku benar-benar tak tahu alasannya. Semuanya kujalani dengan begitu ihklas, ihklas mencintai apa adanya. Kalau ada orang bilang aku telah dibutakan cinta, mungkin itu benar. Mungkin juga tidak. Ah, dari pada pusing memikirkan itu, lebih baik aku jalani semua ini dengan tulus. Di zaman sekarang tak mudah menemukan gadis seperti dia. Aku beruntung bisa berpacar dengannya. Setiap kali kucoba menggungkapkan apa yang kurasakan, ia selalu tersenyum, tersenyum kecut. Biarlah, memang beginilah cinta, indah dan misteri.
“Bu, ada apa dengan anak kita. Mengapa anak kita bisa  kepincut dengan ledek sialan itu.”
“Ibu tidak tahu, Pak. Mengapa Bapak tega mungusirnya. Dia kan anak kita satu-satunya. Penerus kita.”
“Bapak tak peduli Bu, anak itu sekali-kali harus mendapat pelajaran, agar ia dapat merasakan susahnya menjalani hidup. Biar ia tahu hidup yang singkat ini jangan dibuat main-main. Ibu paham kan maksud bapak?”
“Paham, Pak.. tapi ibu khawatir dengan apa yang terjadi pada anak kita sekarang..,”
“Ibu jangan terbawa perasaan. Ia akan balik saat ia lapar dan membutuhkan uang. Tenang saja, Bu.”
“Bapak tidak boleh begitu, siapa tahu Iwan benar-benar nekat dan tidak mau kembali lagi ke rumah ini”
“Ibu percaya bapak, dalam waktu dekat Iwan pasti akan kembali.”
Mendengar pembicaraan kedua orangtuaku itu, aku enggan masuk rumah. Kutulis sepucuk surat untuk ibu. Kukabarkan keadaanku, bahwa aku baik-baik saja. Aku sudah dapat pekerjaan. Walau sebagai penjaga warung makan lesehan. Aku sudah bersyukur. Kuharap ibu tak terlalu mencemaskan keadaanku sekarang. Dan rencananya tahun depan aku akan melamar Ning. Mungkin ibu merestui. Tapi bapak, aku kurang yakin pada beliau. Semoga saja dengan ketidakpulanganku, bapak bisa luluh hatinya dan merestui pernikahanku.
Aku tidak jadi masuk rumah. Kuselipkan sepucuk surat di bawah pintu. Semoga besok saat ibu menyapu, menemukan dan membacanya. Semoga bapak tak menemukannya lebih dulu, agar darah tingginya tidak kumat. Aku mengayuh pelan sepeda jengkiku menuju warung lesehan tempatku bekerja. Selain tempat kerja, di warung itu juga di sediakan kamar buat karyawan. Aku tinggal sementara di situ, sambil mengumpulkan uang untuk persiapan pernikahan.
7.
Rasanya sekarang aku sudah menjadi mempelai pria. Menggunakan peci hitam dengan jas hitam. Rasanya aku menjadi pangeran dari negeri dongeng yang tanpa sengaja menemukan putri tidur, lalu membangunkannya dengan ciuman. Indah rasanya. Serasa aku tidak hidup di dunia ini.  Aku hidup di dunia lain dengan suasana lain pula. Bak pangeran dari kerajaan Antah Berantah menemukan putri pilihannya. Lalu mempersuntingnya dan hidup bahagia selamanya.
 Sekarang kufokuskan untuk giat bekerja. Aku tak ingin mengecewakan Ning saat pernikahan nanti. Aku ingin membahagiakannya. Hanya itu, aku ingin menghapus airmatanya yang selalu ia keluarkan setiap malam. Ketika ia mengingat kedua orangtuanya yang telah meninggal dunia. Aku ingin menghapus keringatnya. Memerasnya lalu kalau ia mengijinkan, ingin kuminum keringat itu. Ya, aku akan meminumnya. Terdengar gombal memang, tapi biar ia tahu, aku juga merasakan apa yang sedang ia rasakan.
 “Ning, tunggu mas...,” bisikku  sebelum memejamkan mata.
***

Catatan:
Tanggapan   :  pertunjukkan (tontonan)
Ledek           :  penari dalam pertunjukkan Langen Tayub
Panjak         :  penabuh gamelan dalam pertunjukkan Langen Tayub
Bucu (jawa): tumpeng, nasi yang dibentuk seperti kerucut.      Biasanya disajikan saat ada acara penting atau selamatan.

Tuban, mei 2011

Pemenang harapan lomba cipta cerpen remaja tingkat nasional, Lip ace golden award

Tidak ada komentar:

Posting Komentar