Bangku Taman
Oleh: Thoni Mukarrom
Di taman kota itu ada suatu benda
keramat. Di sana ada bangku, hanya ada satu. Kau bisa merenung tentang apapun.
Tak ada orang yang berani mengolokmu. Kau bebas berpikir apapun, tentang siapapun.
Hanya saja, kau perlu hati-hati jika
malam telah merubung di taman itu. Tak ada alasan bagimu untuk bisa lari dari
kenyataan. Bahwa kaulah satu-satunya yang ada di taman itu. Tak ada suara
apapun. Dan lampu kuning mengamini kesendirianmu. Kau akan terkurung dalam
kesunyian yang dalam. Jika terus merenung nasib yang menimpa dirimu, tak ada
jalan lain kecuali lari dari kehidupan menuju kehidupan lain, mungkin kaulah
orang yang akan tahu negeri hujan itu. Malam akan tiba, namun kau tetap merasa
bahwa tak pernah ada perubahan. Mungkin hanya sedikit perubahan pencahayaan
saja, hanya itu. Kau akan menjadi bayangan. Bayangan yang lari dari kehidupan
nyata. Mencari kebahagiaan di dunia lain.
Ternyata kau berani duduk di bangku
taman itu sendirian, sebab tak ada orang yang berani duduk di sana. Dan bangku
itu sudah berada di sana sebelum taman di tengah kota itu dibangun. Entah siapa
yang menaruh bangku kayu yang cukup diduduki dua orang. Tapi kau hanya sendiri
duduk di sana. Kau berpikir dunia memang sesunyi ini. Jalan yang membentang,
rintangan yang menghalang. Semua menjadi sangat sulit bagimu untuk
melaluluinya, gelap matamu. Malam gelap. Dalam kesunyian kau sempat berpikir
untuk bunuh diri. Mengakhiri segala penderitaan. Mengakhiri penantian. Menuju
kebahagiaan baru. Mungkin saja.
Angin bergerak, menggerakkan daun
beringin. Suara kelelawar sibuk mencari bebuah. Tak ada seorang pun lewat di
depanmu. Kau benar-benar merasa dunia hanya ada kau dan bangku kayu rongsokan
itu. Tapi, kau sempat berpikir kekasihmu akan datang. Kau tetap menantinya.
Mungkin saja dia telah berubah pikiran dan menyusulmu. Kau akan sangat senang dengan semua itu. Kau tetap
berharap. Terus berharap hingga tak menyadari malam semakin pucat.
***
“Apa yang Kau inginkan dari seorang
perempuan busuk sepertiku?”
“Aku mencintaimu.”
“Masih banyak perempuan lain yang lebih
cantik dan suci. Aku perempuan kotor. Kau tak pantas mencintaiku.”
“Aku benar-benar mencintaimu.”
“Jangan memaksaku berteriak. Aku tak
suka dipaksa.”
“Tapi aku sungguh mencintaimu.”
“Hahahaha. Sudah ratusan lelaki yang
mengatakan itu. Sudah ratusan. Aku sudah muak dengan kata gombal semacam itu.”
“Aku lain. Aku bukan mereka.”
“Kau sama. Karena kau lelaki. Sama
seperti mereka semua.”
“Kau sungguh tak pernah menghargai
ketulusan.”
“Aku sudah muak. Tunggu saja, beberapa
hari lagi kau akan bosan denganku.”
“Aku tak bosan, karena aku mencintaimu.”
“Apa matamu sudah buta. Aku ini kotor,
lebih kotor dari mahkluk apapun di jagat raya ini.”
“Tapi aku mencintaimu. Apa jika
mencintai itu harus sesuatu yang indah dan menentramkan mata. Menyejukkan jiwa.
Suci tak pernah melakukan dosa apapun. Kukira hanya malaikat yang bisa
melakukannya.”
“Tentu saja. Itu yang dicari manusia
hidup di dunia.”
“Lantas, mengapa kau rela tubuhmu
dihisap oleh setiap lelaki yang datang ke sini.”
“Aku hanya mencari nafkah.”
“Kenapa tak pilih jalan lain yang lebih
baik?”
“Hidup adalah pilihan. Dan aku memilih
ini sebagai hidupku. Aku sudah terlanjur kotor.”
“Mengapa kau tak mencoba mensucikan diri
dan ikut denganku lari dari sini.”
“Tak semudah itu. Semua orang di kota
ini sudah tahu siapa aku. Mereka menikmati dan juga membenciku.”
“Tapi aku bukan seperti itu. aku
mencintaimu. Sungguh.”
“Simpan saja kata manis itu untuk
perempaun baik-baik.”
“Kau juga perempuan baik.”
“Kelihatannya saja. Setelah uang
kuterima semua akan kembali seperti semula. Mereka aku mengolokku. Seolah aku
sampah.”
“Kecuali aku. Aku menganggapmu bintang
yang berkelap-kelip di gelapnya malam.”
“Hahaha, kau pintar merayu juga.”
“Karena aku benar-benar mencintaimu. Ayo
kita pergi dari sini.”
“Jangan memaksaku lagi. Aku cukup senang
di sini. Aku tak ingin hidup dengan
orang munafik.”
“Kita akan lari dari kota ini.”
“Semua kota sama. Hanya kelihatannya
saja baik. Bungkusnya saja yang baik. Isinya sama semua. Busuk.”
“Kenapa kau berkeras. Apa kau tak pernah
berpikir kehidupanmu ini busuk?”
“Aku tidak munafik. Aku akui semua. Aku
perempuan kotor. Busuk.”
“Apa kau akan terus seperti ini hingga
tua nanti?”
“Mungkin, selama mereka masih berpikir
aku bisa memuaskan.”
“Lalu setelah semua bosan?”
“Kupikir aku akan tetap saja di sini. Menunggu
seseorang yang telah berjanji menjemputku.”
“Apakah seseorang itu aku?”
“Bukan. Dia tak sepertimu. Dia kekasihku
yang setia.”
“Kau hanya mengarang alasan. Mana
mungkin kekasih setia membiarkanmu terjebak di dunia hitam.”
“Kau jangan menghinanya! Tak ada lelaki
yang lebih setia di dunia ini kecuali dia.”
“Siapa dia?!”
***
Di bangku itu hanya ada seorang lelaki.
Mungkin itu kau. Ya, memang benar itu kau. Telah 10 tahun kamu duduk di sana.
Kau menanti kekasih yang berjanji menjemputmu. Kau tak pernah lupa janjinya. Di
malam minggu, tiga puluh tahun lalu. Saat semua masih dalam keadaan baik-baik
saja.
Sementara kekasih yang kau nantikan
kehadirannya itu juga menanti kehadiranmu. Dia duduk di sebuah kamar. Hanya ada
dia. Rambutnya sudah mulai memutih. Kerut di pipinya sudah mulai tumbuh. Tapi
sisa kencantikan masih terlihat jelas. Matanya tak pernah berhenti bercerita
bagi siapa saja yang bisa memahaminya.
***
“Apa pentingnya bagimu?”
“Tentu saja sangat penting. Aku bisa
tahu ciri-ciri lelaki yang setia sehingga aku bisa belajar darinya.”
“Semua orang berkata seperti itu. Kau
sama saja dengan mereka.”
“Maksudmu? Ayo cepat katakan apa
ciri-cirinya.”
“Aku tak mau. Aku hanya akan mengatakan
sesuatu yang sia-sia belaka.”
“Kenapa?”
“Setiap lelaki akan berkata sepertimu.
Dan mereka akan tetap seperti itu. Hanya dipakai untuk merayu perempuan saja.”
“Tapi aku lain.”
“Cukup! Aku sudah tahu semua akal
busukmu. Lekas pergi dari sini.”
“Kau mengidap trauma berat.”
“Cukup!! Apa aku harus berteriak keras
untuk mengusirmu.”
“Sekali lagi aku memohon padamu, ayo
ikut denganku. Mari hidup normal, tenang dan nyaman.”
“Aku tak akan pernah percaya. Jadi lekas
pergi. Tinggalkan aku.”
“Sekali lagi aku mohon. Ayo ikutlah
denganku. Kita akan hidup bahagia.”
“Cukup! Tolongggggggg!!!!”
***
Pada malam bulan purnama. Bangku kosong
itu seolah ada yang duduk berdua. Satu perempuan, satu lelaki. Mereka bercumbu
mesra. Seolah dunia begitu mengasikkan. Tak ada yang mengganggunya. Tak ada.
Angin pun berhenti. Lampu kuning di pinggir jalan perlahan redup. Malam kian
pekat. Udara membeku.
Cerita seperti itu sudah cukup untuk
menjadi legenda di kota itu. Hingga bertahun-tahun setelahnya. Seluruh lelaki
di kota itu menjadi setia. Tak ada lagi perempuan yang tersakiti hatinya. Bangku
di taman kota itu menjadi lambang kesetiaan.
Kd,
21092012
Pernah dimuat Bangka Pos 21 Desember 2014