Selasa, 14 April 2015

Bangku Taman  

Bangku Taman

Oleh: Thoni Mukarrom

Di taman kota itu ada suatu benda keramat. Di sana ada bangku, hanya ada satu. Kau bisa merenung tentang apapun. Tak ada orang yang berani mengolokmu. Kau bebas berpikir apapun, tentang siapapun.
Hanya saja, kau perlu hati-hati jika malam telah merubung di taman itu. Tak ada alasan bagimu untuk bisa lari dari kenyataan. Bahwa kaulah satu-satunya yang ada di taman itu. Tak ada suara apapun. Dan lampu kuning mengamini kesendirianmu. Kau akan terkurung dalam kesunyian yang dalam. Jika terus merenung nasib yang menimpa dirimu, tak ada jalan lain kecuali lari dari kehidupan menuju kehidupan lain, mungkin kaulah orang yang akan tahu negeri hujan itu. Malam akan tiba, namun kau tetap merasa bahwa tak pernah ada perubahan. Mungkin hanya sedikit perubahan pencahayaan saja, hanya itu. Kau akan menjadi bayangan. Bayangan yang lari dari kehidupan nyata. Mencari kebahagiaan di dunia lain.
Ternyata kau berani duduk di bangku taman itu sendirian, sebab tak ada orang yang berani duduk di sana. Dan bangku itu sudah berada di sana sebelum taman di tengah kota itu dibangun. Entah siapa yang menaruh bangku kayu yang cukup diduduki dua orang. Tapi kau hanya sendiri duduk di sana. Kau berpikir dunia memang sesunyi ini. Jalan yang membentang, rintangan yang menghalang. Semua menjadi sangat sulit bagimu untuk melaluluinya, gelap matamu. Malam gelap. Dalam kesunyian kau sempat berpikir untuk bunuh diri. Mengakhiri segala penderitaan. Mengakhiri penantian. Menuju kebahagiaan baru. Mungkin saja.
Angin bergerak, menggerakkan daun beringin. Suara kelelawar sibuk mencari bebuah. Tak ada seorang pun lewat di depanmu. Kau benar-benar merasa dunia hanya ada kau dan bangku kayu rongsokan itu. Tapi, kau sempat berpikir kekasihmu akan datang. Kau tetap menantinya. Mungkin saja dia telah berubah pikiran dan menyusulmu.  Kau akan sangat senang dengan semua itu. Kau tetap berharap. Terus berharap hingga tak menyadari malam semakin pucat.
***
“Apa yang Kau inginkan dari seorang perempuan busuk sepertiku?”
“Aku mencintaimu.”
“Masih banyak perempuan lain yang lebih cantik dan suci. Aku perempuan kotor. Kau tak pantas mencintaiku.”
“Aku benar-benar mencintaimu.”
“Jangan memaksaku berteriak. Aku tak suka dipaksa.”
“Tapi aku sungguh mencintaimu.”
“Hahahaha. Sudah ratusan lelaki yang mengatakan itu. Sudah ratusan. Aku sudah muak dengan kata gombal semacam itu.”
“Aku lain. Aku bukan mereka.”
“Kau sama. Karena kau lelaki. Sama seperti mereka semua.”
“Kau sungguh tak pernah menghargai ketulusan.”
“Aku sudah muak. Tunggu saja, beberapa hari lagi kau akan bosan denganku.”
“Aku tak bosan, karena aku mencintaimu.”
“Apa matamu sudah buta. Aku ini kotor, lebih kotor dari mahkluk apapun di jagat raya ini.”
“Tapi aku mencintaimu. Apa jika mencintai itu harus sesuatu yang indah dan menentramkan mata. Menyejukkan jiwa. Suci tak pernah melakukan dosa apapun. Kukira hanya malaikat yang bisa melakukannya.”
“Tentu saja. Itu yang dicari manusia hidup di dunia.”
“Lantas, mengapa kau rela tubuhmu dihisap oleh setiap lelaki yang datang ke sini.”
“Aku hanya mencari nafkah.”
“Kenapa tak pilih jalan lain yang lebih baik?”
“Hidup adalah pilihan. Dan aku memilih ini sebagai hidupku. Aku sudah terlanjur kotor.”
“Mengapa kau tak mencoba mensucikan diri dan ikut denganku lari dari sini.”
“Tak semudah itu. Semua orang di kota ini sudah tahu siapa aku. Mereka menikmati dan juga membenciku.”
“Tapi aku bukan seperti itu. aku mencintaimu. Sungguh.”
“Simpan saja kata manis itu untuk perempaun baik-baik.”
“Kau juga perempuan baik.”
“Kelihatannya saja. Setelah uang kuterima semua akan kembali seperti semula. Mereka aku mengolokku. Seolah aku sampah.”
“Kecuali aku. Aku menganggapmu bintang yang berkelap-kelip di gelapnya malam.”
“Hahaha, kau pintar merayu juga.”
“Karena aku benar-benar mencintaimu. Ayo kita pergi dari sini.”
“Jangan memaksaku lagi. Aku cukup senang di sini. Aku tak ingin hidup dengan  orang munafik.”
“Kita akan lari dari kota ini.”
“Semua kota sama. Hanya kelihatannya saja baik. Bungkusnya saja yang baik. Isinya sama semua. Busuk.”
“Kenapa kau berkeras. Apa kau tak pernah berpikir kehidupanmu ini busuk?”
“Aku tidak munafik. Aku akui semua. Aku perempuan kotor. Busuk.”
“Apa kau akan terus seperti ini hingga tua nanti?”
“Mungkin, selama mereka masih berpikir aku bisa memuaskan.”
“Lalu setelah semua bosan?”
“Kupikir aku akan tetap saja di sini. Menunggu seseorang yang telah berjanji menjemputku.”
“Apakah seseorang itu aku?”
“Bukan. Dia tak sepertimu. Dia kekasihku yang setia.”
“Kau hanya mengarang alasan. Mana mungkin kekasih setia membiarkanmu terjebak di dunia hitam.”
“Kau jangan menghinanya! Tak ada lelaki yang lebih setia di dunia ini kecuali dia.”
“Siapa dia?!”
***
Di bangku itu hanya ada seorang lelaki. Mungkin itu kau. Ya, memang benar itu kau. Telah 10 tahun kamu duduk di sana. Kau menanti kekasih yang berjanji menjemputmu. Kau tak pernah lupa janjinya. Di malam minggu, tiga puluh tahun lalu. Saat semua masih dalam keadaan baik-baik saja.
Sementara kekasih yang kau nantikan kehadirannya itu juga menanti kehadiranmu. Dia duduk di sebuah kamar. Hanya ada dia. Rambutnya sudah mulai memutih. Kerut di pipinya sudah mulai tumbuh. Tapi sisa kencantikan masih terlihat jelas. Matanya tak pernah berhenti bercerita bagi siapa saja yang bisa memahaminya.
***

“Apa pentingnya bagimu?”
“Tentu saja sangat penting. Aku bisa tahu ciri-ciri lelaki yang setia sehingga aku bisa belajar darinya.”
“Semua orang berkata seperti itu. Kau sama saja dengan mereka.”
“Maksudmu? Ayo cepat katakan apa ciri-cirinya.”
“Aku tak mau. Aku hanya akan mengatakan sesuatu yang sia-sia belaka.”
“Kenapa?”
“Setiap lelaki akan berkata sepertimu. Dan mereka akan tetap seperti itu. Hanya dipakai untuk merayu perempuan saja.”
“Tapi aku lain.”
“Cukup! Aku sudah tahu semua akal busukmu. Lekas pergi dari sini.”
“Kau mengidap trauma berat.”
“Cukup!! Apa aku harus berteriak keras untuk mengusirmu.”
“Sekali lagi aku memohon padamu, ayo ikut denganku. Mari hidup normal, tenang dan nyaman.”
“Aku tak akan pernah percaya. Jadi lekas pergi. Tinggalkan aku.”
“Sekali lagi aku mohon. Ayo ikutlah denganku. Kita akan hidup bahagia.”
“Cukup! Tolongggggggg!!!!”
***
Pada malam bulan purnama. Bangku kosong itu seolah ada yang duduk berdua. Satu perempuan, satu lelaki. Mereka bercumbu mesra. Seolah dunia begitu mengasikkan. Tak ada yang mengganggunya. Tak ada. Angin pun berhenti. Lampu kuning di pinggir jalan perlahan redup. Malam kian pekat. Udara membeku.
Cerita seperti itu sudah cukup untuk menjadi legenda di kota itu. Hingga bertahun-tahun setelahnya. Seluruh lelaki di kota itu menjadi setia. Tak ada lagi perempuan yang tersakiti hatinya. Bangku di taman kota itu menjadi lambang kesetiaan.

Kd, 21092012


Pernah dimuat Bangka Pos 21 Desember 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar