Selasa, 28 Juli 2015

Tiga Puisi

Aku Berlari Sendiri

Kutemui kau malam itu
Dengan sedikit cerita
Dengan sedikit kabar derita
Aku menatap matamu yang mulai basah
Kau begitu resah
Entah kenapa, pucat wajahmu
Dingin kulitmu, gelombang rambutmu
Dan segala bau yang keluar dari tubuhmu
Seolah muncul dari ribuan keringat lelaki
Yang datang setiap malam
Termasuk aku

Aku ingin mengajakmu lari menembus malam
Seperti serigala berburu mangsa
Hingga ke sebuah bukit
Di mana rembulan tampak lebih besar
Dan kita mengaum bersama
Merayakan apa yang perlu dirayakan

Sebelum kulanjutkan cerita kau lebih dulu menangis
Meski tanpa suara dan airmata
Aku lihat wajahmu lebih pucat dari mayat
Namun aku tegar dan menatapnya lebih dalam
Aku berlari sendiri
Menembus malam
Melupakanmu
Membakar bayangmu dengan asap rokok

Aku terus berlari
Seperti serigala berburu mangsa
Terus berlari
Tanpa tujuan
Tanpa harapan
(Untuk perempuan yang rela duduk berjam-jam menunggu)

Tersesat di Tengah Malam

Malam-malam berlalu begitu saja
Bulan kembali mengecil dan tenggelam
Di manakah kamu cahaya hatiku
Sudah lama aku rindu ingin bertemu

Di simpang jalan itu aku telah keliru
Memilih jalan di mana semakin jauh dari rumahmu
Tersesat dan terpeleset
Hingga malam mengubah jalan semakin jauh

Hari hari berlalu seperti kereta kelas bisnis
Berjalan dan tak pernah berhenti di stasiun kecil
Namun aku selalu merasa sepi
Tak saling kenal dengan orang di sebelah yang tertidur pulas

Apakah aku masih bisa mencarimu di tumpukan kata
Yang selalu tampak lebih suci dari mulut pemiliknya
Ataukah kamu sekarang berada di rumah seorang pengemis tua
Yang tinggal sendiri dengan anjingnya

Malam semakin malam
Aku duduk sendiri di pinggir pasar
Setelah capek kesasar


Kopi dan Hujan


Matahari telah lebih dulu pergi
Ketika aku sampai di rumahmu
Lampu kota telah nyala
Dan warung kopi telah buka

Aku menunggu sedikit lama
Sambil sesekali melihat hape jadul
Yang mulai malas menangkap sinyal
Kamu akhirnya membalas smsku

Aku menunggumu di warung kopi dengan penjual seksi depan pasar baru
Ok, aku akan menyusulmu, jawabmu dengan banyak tanda seru
Aku menunggumu sambil menikmati kopi susu
Penjual itu melirikku, aku tertunduk malu

Kamu datang setelah setengah jam berlalu
Aku bayar kopi segelas dengan uang lima ribu
Kupikir itu dua kali lebih mahal dari kopi biasa
Mungkin kopi yang dijualnya lebih manis dari hidupnya, pikirku

Matahari lebih dulu pergi
Ketika aku sampai ke rumahmu
Namun gerahnya masih terasa
Menempel di kaos, jaket dan helmku

Aku berbegas ke kamar mandi
Membersihkan debu dan rindu
Selesai mandi hujan bulan juni turun lagi
Kali ini meneteskan kenangan
dan membasahi bunga bugenvil di pekarangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar