Selasa, 28 Juli 2015

Tiga Puisi

Aku Berlari Sendiri

Kutemui kau malam itu
Dengan sedikit cerita
Dengan sedikit kabar derita
Aku menatap matamu yang mulai basah
Kau begitu resah
Entah kenapa, pucat wajahmu
Dingin kulitmu, gelombang rambutmu
Dan segala bau yang keluar dari tubuhmu
Seolah muncul dari ribuan keringat lelaki
Yang datang setiap malam
Termasuk aku

Aku ingin mengajakmu lari menembus malam
Seperti serigala berburu mangsa
Hingga ke sebuah bukit
Di mana rembulan tampak lebih besar
Dan kita mengaum bersama
Merayakan apa yang perlu dirayakan

Sebelum kulanjutkan cerita kau lebih dulu menangis
Meski tanpa suara dan airmata
Aku lihat wajahmu lebih pucat dari mayat
Namun aku tegar dan menatapnya lebih dalam
Aku berlari sendiri
Menembus malam
Melupakanmu
Membakar bayangmu dengan asap rokok

Aku terus berlari
Seperti serigala berburu mangsa
Terus berlari
Tanpa tujuan
Tanpa harapan
(Untuk perempuan yang rela duduk berjam-jam menunggu)

Tersesat di Tengah Malam

Malam-malam berlalu begitu saja
Bulan kembali mengecil dan tenggelam
Di manakah kamu cahaya hatiku
Sudah lama aku rindu ingin bertemu

Di simpang jalan itu aku telah keliru
Memilih jalan di mana semakin jauh dari rumahmu
Tersesat dan terpeleset
Hingga malam mengubah jalan semakin jauh

Hari hari berlalu seperti kereta kelas bisnis
Berjalan dan tak pernah berhenti di stasiun kecil
Namun aku selalu merasa sepi
Tak saling kenal dengan orang di sebelah yang tertidur pulas

Apakah aku masih bisa mencarimu di tumpukan kata
Yang selalu tampak lebih suci dari mulut pemiliknya
Ataukah kamu sekarang berada di rumah seorang pengemis tua
Yang tinggal sendiri dengan anjingnya

Malam semakin malam
Aku duduk sendiri di pinggir pasar
Setelah capek kesasar


Kopi dan Hujan


Matahari telah lebih dulu pergi
Ketika aku sampai di rumahmu
Lampu kota telah nyala
Dan warung kopi telah buka

Aku menunggu sedikit lama
Sambil sesekali melihat hape jadul
Yang mulai malas menangkap sinyal
Kamu akhirnya membalas smsku

Aku menunggumu di warung kopi dengan penjual seksi depan pasar baru
Ok, aku akan menyusulmu, jawabmu dengan banyak tanda seru
Aku menunggumu sambil menikmati kopi susu
Penjual itu melirikku, aku tertunduk malu

Kamu datang setelah setengah jam berlalu
Aku bayar kopi segelas dengan uang lima ribu
Kupikir itu dua kali lebih mahal dari kopi biasa
Mungkin kopi yang dijualnya lebih manis dari hidupnya, pikirku

Matahari lebih dulu pergi
Ketika aku sampai ke rumahmu
Namun gerahnya masih terasa
Menempel di kaos, jaket dan helmku

Aku berbegas ke kamar mandi
Membersihkan debu dan rindu
Selesai mandi hujan bulan juni turun lagi
Kali ini meneteskan kenangan
dan membasahi bunga bugenvil di pekarangan

Minggu, 28 Juni 2015

Buku dan Rencana Masa Depan

Buku dan Rencana Masa Depan


Di kota T aku tidak menemukan toko buku yang menjual buku sastra. Ada satu dua toko yang menjual buku pelajaran sekolah yang setiap tahun berubah namun isinya itu-itu saja. Sepanjang jalan berjejer warung dengan aneka makanan. Selalu ramai, apalagi menjelang malam. Semua penjual dari delapan penjuru angin seperti datang ke kota itu. Memenuhi kota kecil yang semakin sesak dengan debu dan asap pabrik yang tumbuh dan beranak-pinak. Semua orang hanya tahu kerja dan makan. Menghabiskan sore dengan memandang pantai yang di jalannya penuh warung kopi. Senja di kota itu begitu indah.

Dulu memang ada toko buku, namun hanya bertahan dua tahun dan akhirnya tutup. Isi bukunya banyak, lengkap dan banyak menjual buku sastra. Mungkin harganya terlalu mahal bagi masyarakat yang belum memasukkan buku sebagai kebutuhan. Setelah tutup, toko itu berubah menjadi warung makan.

Di kota T, setiap siang dan malam banyak sekali tukang becak berlalu lalang menaik-turunkan peziarah yang datang dari berbagai kota. Mereka berdoa di makam orang suci di belakang masjid agung. Setiap kali mereka datang, senanglah hati para tukang becak itu. Sehari tak kurang uang lima puluh ribu mereka kantongi. Jumlah yang lumayan daripada gaji guru honorer. Selain tukang becak, pengemis juga memperoleh berkah. Sehari minimal mendapat delapan puluh ribu. Begitu mereka menukar kepada pedagang kakilima dengan wajah memelas dan berkata: hari ini sepi. Biasanya mereka mendapat paling tidak seratus ribu atau lebih dalam sehari.

Buku memang tidak terlalu penting kecuali bagi mahasiswa yang akan mengerjakan skripsi. Aku tidak pernah melihat orang dengan serius membaca buku entah itu di perpustakaan, di angkot, ataupun didiskusikan di kampus. Seolah buku adalah mahkluk langka dan hanya ditemui di forum khusus pecinta buku. Pernah suatu hari aku dapat undangan workshop cerpen koran K di kota B. Perjalanan pertamakali ke kota B. Aku beruntung bisa ikut workshop yang dihadiri sastrawan besar Indonesia yang namanya sudah seperti legenda bagi kalangan penyuka sastra. Di kota B banyak turis asing membaca, entah itu saat menunggu pesawat, di dalam pesawat, di pantai, di jalanan. Mereka selalu membaca buku. Sangat berbeda ketika melihat turis lokal di sekitarnya. 

Cerita lain yang agak mengerikan, di sebuah perpustakaan bukan digunakan sebagai tempat membaca tapi ada sebagian remaja yang nekat bermesraan di dalamnya. Untung ada cctv yang dipasang di pojok ruangan sehingga bisa langsung ditegur dan media dengan sigap memuatnya sebagai berita yang menarik dibaca.

Buku-buku di perpustakaan kota T terlihat jarang terjamah dan berjejer rapi di raknya. Orang yang datang kebanyakan hanya bermain game via internet gratis yang disediakan. Membuka media sosial atau malah mengunduh film, entah itu yang bewarna biru atau warna warni. Beberapa orang lain sibuk membuka-buka surat kabar mencari berita menarik yang hanya dibaca judulnya setelah itu ditinggalkan. Sementara di bagian rak buku untuk anak hanya beberapa ibu atau bapak yang mengajak anaknya untuk sekadar bermain atau membacakan cerita atau melihat gambar sampul buku yang menarik.

Aku ingat dulu ketika masuk TK, meski belum bisa membaca—bapak suka membawakan majalah anak-anak seperti Kuncung. Majalah itu disertai gambar-gambar lucu, kuminta ibu membacakan cerita di dalamnya. Ketika kelas dua SD dan sudah bisa membaca sendiri, majalah tersebut sudah tidak ada lagi. Entah dimakan tikus, rayap, atau berpindah tempat di pengepul rongsokan. Untung pada waktu itu pamanku berlangganan majalah Bobo dan Mentari. Cerita bersambung tentang gajah selalu membuat penasaran dan beberapa berita terkini tentang teknologi yang dikemas menarik. Alhamdulillah, majalah tersebut hingga kini masih terbit.

Ketika masuk SMA aku tak lagi membaca buku. Maksudnya buku bacaan seperti cerita bergambar, komik, atau apa saja selain buku pelajaran sekolah. Bapak kadang membawa majalah daerah yang beritanya membosankan. Aku masih membacanya karena ada rubrik humor, puisi, bahkan cerpen.
***
“Kalau pulang pasti bawa banyak buku.” Kata ibu seperti kasihan melihatku membawa beban berat atau kecewa karena aku tidak membawa buah tangan makanan. Aku hanya diam tersenyum sedikit lalu masuk kamar.

Memang kamarku sudah penuh dengan buku apa saja yang kuanggap penting. Mulai buku bagaimana cara menjadi guru yang baik sampai menjadi penulis cerpen yang dipercaya pembaca. Buku-buku tersebut kudapat dari bazar, toko buku bekas, pemberian teman dan beberapa hadiah lomba menulis. Rata-rata berbandrol Rp.10.000-25.000 harga yang masuk akal buat mahasiswa. Alhasil dari kegilaanku membeli buku membuat tidak sadar kalau almari kayu telah penuh buku bahkan menjadi tempat rayap membuat sarang.

Aku dan buku seperti punya ikatan batin. Sehari sebelum kubongkar buku-buku itu aku merasa ada yang mesti kubuca dari buku yang teronggok di almari kayu bekas tempat makan yang dicat ulang tersebut. Benar sekali, rayap-rayap itu telah  bersarang serta membuat jalan melewati buku. Untung tidak sampai ke dalam karena sebagian besar sudah kuberi sampul plastik mika.

Sampai sekarang aku masih gemar mengumpulkan buku apa saja. Rencana ke depan aku ingin membuat rumah baca dari hasil buku yang kukumpulkan. Aku tak ingin membuat lembaga swadaya atau meminta sumbangan pemerintah. Aku ingin melakukan hal kecil tapi berarti minimal buat keluarga, teman dekat, atau tetangga sebelah.
Sekarang sudah lebih dari dua almari besar buku-buku itu kusimpan. Kadang aku sendiri tak menamatkan buku-buku itu bahkan ada yang belum kubaca sama sekali— masih tersegel rapi.
***
Kota T telah digilas berbagai macam pabrik kelas nasional dan multinasional. Rumahku berada di antara dua pabrik besar. Dihimpit dua pelabuhan. Semakin terjepit di antara debu dan asap serta bising suara mesin yang bekerja dua puluh empat jam.
Menyikapi perubahan besar itu kusiapkan buku untuk membentengi dari kebodohan. Masa depan setidaknya bisa kupersiapkan dengan mengumpulkan buku-buku apa saja yang bermanfaat.

Selasa, 14 April 2015

Bangku Taman  

Bangku Taman

Oleh: Thoni Mukarrom

Di taman kota itu ada suatu benda keramat. Di sana ada bangku, hanya ada satu. Kau bisa merenung tentang apapun. Tak ada orang yang berani mengolokmu. Kau bebas berpikir apapun, tentang siapapun.
Hanya saja, kau perlu hati-hati jika malam telah merubung di taman itu. Tak ada alasan bagimu untuk bisa lari dari kenyataan. Bahwa kaulah satu-satunya yang ada di taman itu. Tak ada suara apapun. Dan lampu kuning mengamini kesendirianmu. Kau akan terkurung dalam kesunyian yang dalam. Jika terus merenung nasib yang menimpa dirimu, tak ada jalan lain kecuali lari dari kehidupan menuju kehidupan lain, mungkin kaulah orang yang akan tahu negeri hujan itu. Malam akan tiba, namun kau tetap merasa bahwa tak pernah ada perubahan. Mungkin hanya sedikit perubahan pencahayaan saja, hanya itu. Kau akan menjadi bayangan. Bayangan yang lari dari kehidupan nyata. Mencari kebahagiaan di dunia lain.
Ternyata kau berani duduk di bangku taman itu sendirian, sebab tak ada orang yang berani duduk di sana. Dan bangku itu sudah berada di sana sebelum taman di tengah kota itu dibangun. Entah siapa yang menaruh bangku kayu yang cukup diduduki dua orang. Tapi kau hanya sendiri duduk di sana. Kau berpikir dunia memang sesunyi ini. Jalan yang membentang, rintangan yang menghalang. Semua menjadi sangat sulit bagimu untuk melaluluinya, gelap matamu. Malam gelap. Dalam kesunyian kau sempat berpikir untuk bunuh diri. Mengakhiri segala penderitaan. Mengakhiri penantian. Menuju kebahagiaan baru. Mungkin saja.
Angin bergerak, menggerakkan daun beringin. Suara kelelawar sibuk mencari bebuah. Tak ada seorang pun lewat di depanmu. Kau benar-benar merasa dunia hanya ada kau dan bangku kayu rongsokan itu. Tapi, kau sempat berpikir kekasihmu akan datang. Kau tetap menantinya. Mungkin saja dia telah berubah pikiran dan menyusulmu.  Kau akan sangat senang dengan semua itu. Kau tetap berharap. Terus berharap hingga tak menyadari malam semakin pucat.
***
“Apa yang Kau inginkan dari seorang perempuan busuk sepertiku?”
“Aku mencintaimu.”
“Masih banyak perempuan lain yang lebih cantik dan suci. Aku perempuan kotor. Kau tak pantas mencintaiku.”
“Aku benar-benar mencintaimu.”
“Jangan memaksaku berteriak. Aku tak suka dipaksa.”
“Tapi aku sungguh mencintaimu.”
“Hahahaha. Sudah ratusan lelaki yang mengatakan itu. Sudah ratusan. Aku sudah muak dengan kata gombal semacam itu.”
“Aku lain. Aku bukan mereka.”
“Kau sama. Karena kau lelaki. Sama seperti mereka semua.”
“Kau sungguh tak pernah menghargai ketulusan.”
“Aku sudah muak. Tunggu saja, beberapa hari lagi kau akan bosan denganku.”
“Aku tak bosan, karena aku mencintaimu.”
“Apa matamu sudah buta. Aku ini kotor, lebih kotor dari mahkluk apapun di jagat raya ini.”
“Tapi aku mencintaimu. Apa jika mencintai itu harus sesuatu yang indah dan menentramkan mata. Menyejukkan jiwa. Suci tak pernah melakukan dosa apapun. Kukira hanya malaikat yang bisa melakukannya.”
“Tentu saja. Itu yang dicari manusia hidup di dunia.”
“Lantas, mengapa kau rela tubuhmu dihisap oleh setiap lelaki yang datang ke sini.”
“Aku hanya mencari nafkah.”
“Kenapa tak pilih jalan lain yang lebih baik?”
“Hidup adalah pilihan. Dan aku memilih ini sebagai hidupku. Aku sudah terlanjur kotor.”
“Mengapa kau tak mencoba mensucikan diri dan ikut denganku lari dari sini.”
“Tak semudah itu. Semua orang di kota ini sudah tahu siapa aku. Mereka menikmati dan juga membenciku.”
“Tapi aku bukan seperti itu. aku mencintaimu. Sungguh.”
“Simpan saja kata manis itu untuk perempaun baik-baik.”
“Kau juga perempuan baik.”
“Kelihatannya saja. Setelah uang kuterima semua akan kembali seperti semula. Mereka aku mengolokku. Seolah aku sampah.”
“Kecuali aku. Aku menganggapmu bintang yang berkelap-kelip di gelapnya malam.”
“Hahaha, kau pintar merayu juga.”
“Karena aku benar-benar mencintaimu. Ayo kita pergi dari sini.”
“Jangan memaksaku lagi. Aku cukup senang di sini. Aku tak ingin hidup dengan  orang munafik.”
“Kita akan lari dari kota ini.”
“Semua kota sama. Hanya kelihatannya saja baik. Bungkusnya saja yang baik. Isinya sama semua. Busuk.”
“Kenapa kau berkeras. Apa kau tak pernah berpikir kehidupanmu ini busuk?”
“Aku tidak munafik. Aku akui semua. Aku perempuan kotor. Busuk.”
“Apa kau akan terus seperti ini hingga tua nanti?”
“Mungkin, selama mereka masih berpikir aku bisa memuaskan.”
“Lalu setelah semua bosan?”
“Kupikir aku akan tetap saja di sini. Menunggu seseorang yang telah berjanji menjemputku.”
“Apakah seseorang itu aku?”
“Bukan. Dia tak sepertimu. Dia kekasihku yang setia.”
“Kau hanya mengarang alasan. Mana mungkin kekasih setia membiarkanmu terjebak di dunia hitam.”
“Kau jangan menghinanya! Tak ada lelaki yang lebih setia di dunia ini kecuali dia.”
“Siapa dia?!”
***
Di bangku itu hanya ada seorang lelaki. Mungkin itu kau. Ya, memang benar itu kau. Telah 10 tahun kamu duduk di sana. Kau menanti kekasih yang berjanji menjemputmu. Kau tak pernah lupa janjinya. Di malam minggu, tiga puluh tahun lalu. Saat semua masih dalam keadaan baik-baik saja.
Sementara kekasih yang kau nantikan kehadirannya itu juga menanti kehadiranmu. Dia duduk di sebuah kamar. Hanya ada dia. Rambutnya sudah mulai memutih. Kerut di pipinya sudah mulai tumbuh. Tapi sisa kencantikan masih terlihat jelas. Matanya tak pernah berhenti bercerita bagi siapa saja yang bisa memahaminya.
***

“Apa pentingnya bagimu?”
“Tentu saja sangat penting. Aku bisa tahu ciri-ciri lelaki yang setia sehingga aku bisa belajar darinya.”
“Semua orang berkata seperti itu. Kau sama saja dengan mereka.”
“Maksudmu? Ayo cepat katakan apa ciri-cirinya.”
“Aku tak mau. Aku hanya akan mengatakan sesuatu yang sia-sia belaka.”
“Kenapa?”
“Setiap lelaki akan berkata sepertimu. Dan mereka akan tetap seperti itu. Hanya dipakai untuk merayu perempuan saja.”
“Tapi aku lain.”
“Cukup! Aku sudah tahu semua akal busukmu. Lekas pergi dari sini.”
“Kau mengidap trauma berat.”
“Cukup!! Apa aku harus berteriak keras untuk mengusirmu.”
“Sekali lagi aku memohon padamu, ayo ikut denganku. Mari hidup normal, tenang dan nyaman.”
“Aku tak akan pernah percaya. Jadi lekas pergi. Tinggalkan aku.”
“Sekali lagi aku mohon. Ayo ikutlah denganku. Kita akan hidup bahagia.”
“Cukup! Tolongggggggg!!!!”
***
Pada malam bulan purnama. Bangku kosong itu seolah ada yang duduk berdua. Satu perempuan, satu lelaki. Mereka bercumbu mesra. Seolah dunia begitu mengasikkan. Tak ada yang mengganggunya. Tak ada. Angin pun berhenti. Lampu kuning di pinggir jalan perlahan redup. Malam kian pekat. Udara membeku.
Cerita seperti itu sudah cukup untuk menjadi legenda di kota itu. Hingga bertahun-tahun setelahnya. Seluruh lelaki di kota itu menjadi setia. Tak ada lagi perempuan yang tersakiti hatinya. Bangku di taman kota itu menjadi lambang kesetiaan.

Kd, 21092012


Pernah dimuat Bangka Pos 21 Desember 2014

Sebongkah Cinta dalam Bungkus Cerita

(Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di "Jurnal Nasional" edisi Minggu, 30 Desember 2012)

Judul: Kisah Seekor Kupu-kupu
Penulis: Thoni Mukarrom I.A.
Terbit: Oktober 2012
Penerbit: Shell — Jagat Tempurung, Padang
Tebal: xii + 94 halaman
Harga: Rp. 43.000,-

“Tuhan, ajari aku mengenal cinta sebagaimana orang-orang lain mengertikannya. Karena, kata orang, dia adalah sumber segala-galanya” (Pramoedya Ananta Toer dalam Jejak Langkah)


      Pada awal-awal kepenulisan, cinta menjadi tema menarik bagi mereka yang ingin meluapkan imajinasi dalam karya fiksi. Cinta menjadi pilihan utama guna menyumpal gairah beraksara dalam capaian estetika. Bukan hanya karena setiap orang dibekali rasa cinta, namun juga terdapat khasiat serta faedah bagi sesiapa yang berusaha mengabadikan cinta. Bagaimana tidak? Dengan menuangkan cinta dalam bentuk karya, niscaya seseorang dapat memungut remah-remah hakikat kehidupan. Pun, berbekal cinta, seseorang dapat mendayagunakannya dalam membangunkan jiwa yang sedang terkantuk. Maka tak heran, jika beberapa dasawarsa terakhir bertebaran buku puisi maupun prosa yang memanfaatkan cinta sebagai kekuatannya. Dalam kapasitasnya, cinta dipercaya sebagai nutrisi yang sanggup memupuk rasa kemanusiaan dalam diri manusia.
     Meskipun demikian, sebenarnya tidak mudah menggarap tulisan dengan tema cinta. Tak jarang, penulis merasa kesulitan membabibuta manakala ingin merampungkan karya beralur cinta. Seringkali ketika menambal-sulam anak ruhaninya—meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer—, seorang penulis harus berjibaku meredefinisikan cinta, supaya tidak terjebak dalam idiom klise, jangkat, dan serba banal. Selain itu, potongan-potongan metafora yang dihidangkan juga patut diperhatikan. Dalam hal cerita khususnya, ungkapan-ungkapan yang berbaur-berkelindan dalam balutan kisah tragis maupun melankolis, menjadi daya pemantik tersendiri dalam menggait pembaca. Kekurangwaspadaan terhadap hal ini mudah mengakibatkan seseorang tersingkir dari ‘arena persaingan’ karena mendapat stempel sebagai penulis abal-abal dengan kulitas yang dangkal.
      Akan tetapi, hal di atas mampu ditepis oleh Thoni Mukarrom (TM). Sebab menguasai bahasa sebagai media ungkap, TM leluasa menyajikan beberapa cerita syarat “pengalaman cinta” yang mengesankan sekaligus menggetarkan, baik berasal dari diri sendiri, orang lain, atau bahkan lingkungan—benda mati ataupun hewan. Juga yang dipetik dari pohon imajinasi belaka. Bagaimanapun ganjil dan absurd-nya, pengalaman cinta yang dibuhulkan dalam cerita tersebut merupakan gambaran dari kehidupan masyarakat. Tidak salah apabila Ignas Kleden (dalam An Ismanto, 2012) menyatakan bahwa karya sastra bisa mencerminkan realitas sosial di sekelilingnya. Meskipun demikian, karya sastra yang bisa dinikmati, tidak harus mencerminkan realitas sosial di sekitarnya, baik secara langsung maupun tidak.

Sebuah Ulasan Ringkas

     Di bawah ini disajikan ulasan ringkas atas buku kumpulan cerpen TM:
Cerpen “Yang Datang Malam Itu” menampakkan gejolak cinta terlarang. Seorang lelaki cukup umur berhasrat untuk kembali merajut ikatan dengan kekasihnya. Ingin sekali ia mengulangi kenangan indah pada saat remaja. Padahal, ia genap memiliki anak dan istri. Lelaki yang ditampilkan dengan sosok “aku” tersebut sangat menderita, sebab tidak mampu menghapus rasa cinta kepada sang pujaan hati. Cerpen ini menarik, karena dibuka dengan ungkapan yang tidak biasa, “malam itu ada malaikat maut datang bertamu, lalu menuangkan minuman, kau meminumnya.” (halaman 19)
      Adapun cerpen “Kisah Seekor Kupu-kupu”—yang dijadikan judul buku ini—, menampilkan kisah memukau dengan tokoh utama seorang pengamen. Ia mencintai seorang gadis dan berhasil menjalin hubungan asmara dengannya. Celakanya, ayah sang pacar terbelit utang, sehingga rela memberikan anaknya untuk diperistri orang lain. Gadis itu dijodohkan dengan pegawai pabrik. Akan tetapi, si gadis menolak, karena lebih memilih seseorang yang meskipun berkantong kering, namun mampu mengisi hatinya. Pasangan remaja yang memadu kasih tersebut nekat mempertahankan ikatan yang telah mereka bina. Suatu waktu, si gadis tiba-tiba menjelma kupu-kupu. Adapun pemetik gitar yang selalu direndahkan dan dihina orang itu berniat merubah dirinya menjadi kupu-kupu, agar cintanya selalu dapat bersatu dengan kekasihnya.
      Cerpen di atas merupakan dua di antara cerpen-cerpen yang disatukan dalam buku persembahan TM untuk Kostra (Komunitas Sanggar Sastra). Dari ke-17 cerpen TM, semuanya mengangkat cinta sebagai tema, kecuali cerpen bertajuk “Selamat Datang di Kota Kami” dan “Memanggil Bapak”. Akan tetapi, jika lebih teliti, cerpen-cerpen ini juga boleh dikategorikan sebagai cerita bertema cinta. Barang tentu dalam hal ini, yang dimaksud adalah cinta dalam pengertian yang luas.
Cerpen “Selamat Datang di Kota Kami” menceritakan tentang tersesatnya backpacker di kota antah berantah, yang tak pernah sekalipun disentuh hujan. Kota yang ditinggalkan oleh para pemuda untuk melancong ke kota lain demi berburu kehidupan yang lebih menjanjikan. Kota yang hanya dihuni oleh mereka yang ingin bertahan. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak dan perempuan. Cerpen ini mengajarkan bagaimana cara merawat cinta pada tempat tumbuh-berkembangnya seseorang. Dari sinilah, rasa cinta kepada tanah kelahiran ditularkan, semangat nasionalisme diperjuangkan.
      Begitu juga dengan cerpen “Memanggil Bapak”. Cerpen ini mengisahkan gadis kecil yang setengah mati merindukan sosok bapak dalam kehidupannya. Malangnya, ia merasa kebingungan karena hampir setiap hari ibunya menerima tamu laki-laki. Ia bingung, mana di antara mereka yang benar-benar bapaknya. Sebagaimana ibunya yang tunasusila, sering ia mengalami penderitaan batin karena menerima pelecehan seksual oleh teman-temannya sendiri. Suatu hari, ia mencuri foto lelaki tampan dari dompet sang ibu. Mengira foto itu adalah bapaknya, suka sekali ia memeluk dan berbicara dengannya. Anak perempuan itu nekat mempertahankan haknya, meskipun dicap durhaka oleh ibunya. Cerpen ini menunjukkan bahwa pada saat-saat tertentu, seorang anak memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan rasa cintanya dengan hal lain. Kedurhakaan terhadap perempuan yang melahirkan merupakan keteguhan pendiriannya dalam mempertahankan rasa cinta kepada bapak.

Tiga Ciri Penting

     Setelah mengamati karya TM, sedikitnya terdapat tiga ciri yang bisa digeneralisasikan sebagai berikut:
      Pertama, obsesi penulisan cerita TM tidak terlalu peduli pada lokasi cerita dan kapan terjadinya. Dari sini timbul kecurigaan bahwa cerita-cerita TM menunjuk lokasi antara ada dan tiada. Sebagai misal, cerpen-cerpen “Ketika Cinta Memilih”, “Makan Malam”, dan “SMS” dikerjakan dengan menggunakan Tuban sebagai setting-nya, walaupun tidak merujuk secara tersurat warna kongkrit Tuban sebagai ‘daerah bidikan’. TM mencoba menyiasati pembaca dengan cara mengganti pantai Boom dengan pantai Kenjeran di Surabaya atau Teleng Ria di Pacitan, dan jalur jalan raya Pantura diganti dengan jalur tengah Surabaya-Bojonegoro-Blora atau jalur selatan Surabaya-Madiun-Solo. (halaman vii)
      Kedua, Proses kreatif TM turut dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai penyair. Apa pasal? Cerita-cerita yang terlahir dari tangannya menghadirkan suasana puitik yang pekat. Hal ini ditandai dengan kerapnya TM menggunakan diksi ‘puisi’ dalam rangka menggenapi jalinan peristiwa dalam cerita. Misalnya pada cerpen “Kata yang Hilang” dan “Tiga Lelaki di Suatu Malam”.
Ketiga, dalam merangkai cerita, TM gemar menggunakan sudut pandang orang pertama. Sosok ‘aku’, ‘saya’, atau ‘kami’ begitu kerap muncul dalam sejumlah ceritanya. Sebagai contoh, ‘aku’ menjadi tokoh utama dalam cerpen “Tarian Naga”, “Lagu untuk Ibu”, serta “Cerita untuk Cinta”. Sosok ‘saya’ ditemukan dalam cerpen “Darah”. Sedangkan sosok ‘kami’ terdapat dalam cerpen “Nglindur Sandur”. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat usaha yang sungguh-sungguh dari TM untuk sebisanya mengakrabkan diri dengan cerita-ceritanya. Dengan menempatkan orang pertama selaku tokoh sentral dalam pengisahan, diharapkan timbul eratnya hubungan psikologis antara diri penulis dengan cerita yang dilahirkan.
      Buku kumpulan cerpen yang dihasilkan oleh TM dalam kurun waktu dua tahun (2009-2011) ini mengantongi dua kelemahan, yaitu: pertama, merujuk Beni Setia dalam kata pengantarnya, pilihan TM pada rujukan karakter guna menghidupkan tokoh cerita masih bersifat terbatas. Hal ini mengakibatkan proses pengayaan wacana tersendat-sendat. Mengingat, keterbatasan ragam karakter yang ditonjolkan dalam cerita menjadikan ‘proses bargaining’ antara penulis-pembaca semakin melemah. Kedua, kekurangtepatan dalam pemilihan font (bentuk huruf) dan ukuran, sehingga mengakibatkan kenyamanan pembaca sedikit terganggu. Seyogyanya, sebelum diluncurkan ke khalayak, penerbit berunding secara intens dengan penulis.               Meskipun bersifat teknis, hal ini menjadi salah satu di antara penentu sukses tidaknya peluncuran karya ke publik. Alangkah baiknya bagi penulis memeriksa terlebih dahulu apakah karyanya sudah benar-benar siap diterbitkan. Karena bagaimana pun juga, penyebarluasan buku selalu berhubungan dengan konsep marketing.

Yogyakarta, 2012

Mereka yang Berjarak dari Keriuhan Ibu Kota


-- Iwan Kurniawan

KISAH kehidupan pilu masih menjadi sebuah notasi bagi cerpenis Weni Suryandari. Ia mengkritik tradisi, perjodohan, dan tema klasik dalam susastra. Semuanya ia jadikan benang merah beberapa karyanya.

Lewat buku kumpulan cerpen terbaru Kabin Pateh, guru bahasa Inggris di sebuah SD di Bogor, Jawa Barat, itu menghadirkan cerpen Pelacur untuk Suamiku.

Weni menulis, 'Mulai kini, aku bukan lagi istri bagi suamiku. Aku, perempuan utuh yang menikmati kehidupan dan pengalaman yang harus kuciptakan senikmat mungkin bagi diriku sendiri.' Kendati berlarut-larut dalam isu perjodohan, Weni juga berhasil eksis sebagai salah satu cerpenis produktif. Meski sehari-hari bergelut dengan suami dan tiga putrinya, ia berhasil mempertahankan napas kreatifnya.

"Ada rasa yang mengganjal bila saya tak menuliskan apa yang saya temukan. Saya mau menulis hingga mati," ujar Weni dalam sebuah perbincangan.

Karya Weni, cerpenis yang bermukim di Bogor, menjadi penanda kiprah sastrawan daerah. Di kawasan yang berjarak dengan Ibu Kota, baik itu yang terpaut dekat maupun jauh, banyak penyair hingga cerpenis yang konsisten berkarya.

"Saya pernah hidup dan berkarya di Jakarta. Saya memilih untuk pulang kampung untuk mendirikan ruang berekspresi bagi sastrawan di daerah. Saya lebih enak berkarya di desa," ujar salah satu sastrawan di Makassar yang enggan namanya dikutip.

Komunitas sastra

Sebagian sastrawan di daerah bahkan berani menjadikan profesi penulis sebagai pekerjaan tetap. Mereka pun mendirikan komunitas-komunitas sastra buat menjaga semangat bersama rekan-rekan mereka.

Thoni Mukarrom salah satunya. Ia bergiat di Sanggar Sastra di Universitas Ronggolawe Tuban. Ia konsisten menjalankan fungsi sebagai pengamat, penggiat, kritikus, dan tentunya penulis.

Cerpen Di Bawah Cahaya Purnama merupakan salah satu karya terbarunya. Ia menuliskan, 'Bulan berwajah penuh. Angin berdesir menusukkan jarum ghaib. Perempuan itu datang lagi malam ini, di sebuah air terjun, menunggu di bawahnya sambil memandang bulan yang tersenyum sempurna.....' Thoni mengulas kisah percintaan, seseorang yang cemas menunggu, dan cinta platonik.

Bahasa daerah

Cerpenis Ngatini Rasdi, asal Desa Selo, Tawangharjo, Purwodadi, Jawa Tengah, menjaga betul ritme produktivitasnya.

Kantong-kantong budaya, geliat komunitas yang tersebar dari Aceh hingga Papua, serta koran-koran daerah menjadi pegangan seniman itu buat terus berkarya.

Di Lampung, sastrawan Udo Z Karzi bahkan memuliakan bahasa Lampung dengan puisi-puisinya. Ia juga rutin menghasilkan esai dan cerpen.

Kekayaan dan ketenangan di daerah merupakan surga kecil yang senantiasa mengalirkan energi buat mereka. (M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 5 Mei 2013

Senin, 23 Maret 2015

Senja di Pantai Boom Banyuwangi

Fotografi

Wajah Asih




Oleh: Thoni Mukarrom
Ia tak pulang-pulang. Padahal malam akan menelan pagi. Lelaki itu tak mau pulang. Sudah dari jam tujuh tadi. Tubuhnya tegap, kumis tipis dengan rambut cepak. Umurnya kira-kira 22 tahun lebih. Aku tak tahu namanya. Lelaki itu sungguh menyebalkan. Karena ia, aku tak dapat tamu malam ini. Ia menungguku terus, merayuku. Aku katakan, aku hanyalah perempuan murahan. Ia tak peduli.
“Hai Sih!, siapa dia?” bentak salah seorang di sampingku.
“Aku tak tau.”
Ia tetap saja tak mau pergi. Padahal sudah kuceritakan darimana asal-usulku. Seperti apa pekerjaanku dan semua kejelekanku. Ia tetap saja tidak mau pergi. Lelaki itu sudah dari kemarin kulihat duduk di sekitar bangku teras. Kalau terus seperti ini, pelangganku akan lari. Kemana aku harus cari makan esok hari. Lelaki kurang kerjaan itu sungguh menyebalkan. Ia mencuri jatah makanku malam ini. Dari tadi kulihat lima pelangganku enggan masuk.
“He kamu, pergi sana! Ngapain menungguku di sini?”
 Sekali lagi kusuruh ia pergi, hasilnya sama, ia tetap berdiri di depan pintu. Ya Tuhan, makhluk apakah ia? Apakah ia tak punya telinga. Ataukah ia memang makhluk tak bertelinga. Suaraku dari tadi tidak dipedulikannya. Kucoba panggil petugas keamanan. Malah petugas itu tak ada di tempat, mungkin sibuk melerai orang bertengkar. Teman sampingku juga diam saja. Ia terlihat gembira karena pelangganku lari padanya.
Pagi sudah mengintip malu di ujung sofa. Udara dingin merasuk perlahan menusuk tubuh. Lelaki itu tetap menatap mataku, tanpa peduli pagi siap menjelang. Kutanya apa maunya, ia tak menjawab. Kutanya darimana ia datang, ia tetap diam. Ah, aku tak peduli. Kulangkahkah saja kakiku keluar. Ia mengikuti. Biar, mungkin ia tak percaya dengan semua ceritaku tadi.
Senja datang lagi. Sinar keemasannya membawa angin, membelaiku mesra. Kupu-kupu mulai datang berdandan. Sinar remang menyelimuti penjuru kompleks. Bintang agak malu-malu menampakkan diri. Sejak mahgrib tadi, aku telah menghias wajahku dengan berbagai merk make up.
Jarak kostku dengan kompleks tak begitu jauh, sepuluh menit jalan kaki. Tapi itu terasa sangat jauh. Malam nanti akan kulalui— seperti mendaki gunung tanpa peta dan bekal. Aku tak tahu ada apakah di atas sana. Mungkin angin akan menghempaskanku, atau ada binatang liar menerkam dan memakanku. Kalau nasibku sedang sedikit baik, aku akan menemukan buah-buahan—setelah itu menunggu pertolongan dan kalau tidak ada, tinggal menunggu ajal. Banyak orang berkata hidup adalah pilihan, tapi itu tak berlaku bagiku. Aku tak punya pilihan. Sajak kecil aku sudah seperti ini. Melihat hitamnya malam dengan cahaya warna-warni, padahal malam tetap hitam. Hmm, jika mengingat itu aku tak mampu menangis lagi. Airmata telah habis kuperas setiap malam. Tapi, selalu saja  ada sisa airmata yang harus kuperas. Hidup memang tak ada pilihan. Tak seperti banyak orang katakan— itu tak berlaku bagiku.
Sejak kecil ibu telah membiarkanku di tempat ini. Tempat penuh kebahagiaan semu. Terkadang kuberpikir memang lebih enak bekerja seperti ini. Tidak bersusah payah seperti orang lain. Enak kan, kerja cuma begitu saja sudah bisa dapat uang banyak. Zaman sekarang sulit cari kerja, apalagi hanya berbekal ijasah SMP sepertiku. Lagi pula Ibu telah meninggalkan sejak 5 tahun lalu, saatku berumur 15 tahun. Setelah pergi sampai sekarang, ibu tak pernah memberi kabar padaku. Ya, beginilah hidupku, hidup tanpa pilihan. Tanpa tahu ayah dan ditinggalkan ibu.
Ibu meninggalkanku saat aku belum mengerti tentang kehidupan. Seingatku, ibu menitipkanku di tempat ini. Tempat penuh warna hitam yang dinyalakan dengan warna-warni kehidupan. Hidup menyelusuri hitam tanpa tahu jalan keluar. Masih adakah cahaya di seberang lorong sana. Sedang tubuhku telah beradaptasi dengan berjuta warna hitam. Warna yang terlihat sebagian orang sebagai warna penghuni neraka paling bawah. Sebagian lagi menganggap warna kenikmatan— yang tak pernah dirasakan oleh orang yang menyebut dirinya penghuni surga. Terkadang kuberpikir sebenarnya surga dan neraka diciptakan untuk siapa? Biarlah, Tuhan sendiri yang menentukannya. Aku tak pantas mencampuri urusan tersebut.
Ini kehidupanku, aku harus menjalaninya sekuat hati. Tapi inilah hidupku, hidup tanpa pilihan. Aku tidak tahu, di jalan apa sekarang. Kuharap Tuhan masih bisa mendengar dan melihatku. Aku hanya mengais rizki, meskipun rizki yang kudapat, mereka menyebutnya dosa.
Derap kakiku disambut dentuman musik disko. Tiba-tiba lelaki brengsek itu datang lagi. Ia membawa sebuah senyum. Aku berusaha tak melihatnya. Ia melirik. Aku langsung masuk kompleks. Tanpa kuketahui ia telah di depan pintu kamarku. Ia seperti hantu, ia datang dengan begitu cepat tanpa sepengetahuanku.
“Kenapa sih elo ngikutin gue mulu?”
“?”
“Kenapa diam saja? Punya telinga nggak sih!!”
Lelaki itu sungguh brengsek. Benar-benar brengsek dari semua tamu yang pernah kulayani.
***
Ia diam saja melihatku. Padahal dari tadi aku ingin ngomong sesuatu padanya. Wanita muda itu, sungguh— ia mirip pacarku. Umurnya kira-kia 20 tahun. Sudah setahun aku mencari keberadaannya. Di kota besar seperti ini, tak mudah mencari seorang manusia. Aku sudah berpikir, mungkin ia telah diculik. Dikirim ke luar negeri. Dijadikan pembantu rumah tangga tanpa bayaran, itu kalau nasibnya sedikit mujur. Kalau nasibnya sial, ia mungkin dijadikan budak nafsu, atau paling tidak diperkosa  oleh penculiknya. Ditinggal begitu saja.
 Tidak! Semua itu salah. Malam ini aku menemukan lagi pacarku yang menghilang setahun lalu. Mungkin ia kaget dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Mungkin juga ia malu dengan melihatku datang. Tapi aku tak peduli semua itu. Meskipun ia telah menjadi—apapun itu. Aku tak peduli.
Aku tetap saja berdiri di depan pintu kamarnya. Aku tak peduli dengan lelaki yang datang silih berganti. Aku tak peduli teriakkannya ketika menyuruhku pergi.
“Asih, ini mas. Ayo ikut mas pulang. Emak mencarimu. Apa kamu nggak kasihan melihat Emak sakit karena memikirkanmu? Ayo ikut mas pulang..”
“Aku bukan Asih!!”
“Nggak usah malu, sih. Nanti aku akan menjelaskan semuanya ke Emak. Kujamin Emak nggak akan marah.”
“Benar, aku bukan Asih. Sekarang cepat pergi, nanti tamu-tamuku akan lari.”
“Sih...ini mas... mas sudah mencari kamu selama 6 bulan lalu. Mas sudah menanyakan ke berbagai orang di kota ini, tapi mereka semua menjawab tidak tahu. Lalu kuputuskan untuk pergi kesini, siapa tahu ada kamu. Ternyata benar, kamu ada di sini.”
“Aku tak peduli dengan ceritamu. Yang penting aku bukan Asih yang kamu cari, titik!
Aku tetap menunggunya. Siapa tahu nanti malam dia mau mengaku saat sepi orang.
***
Orang ini benar-benar brengsek. Kemarin ia sudah kumaafkan. Sekarang malah datang lagi. Aku harus bertindak tegas. Kusewa preman yang biasa mangkal di depan. Kusuruh mengusirnya, kalau tetap tidak mau, biar ia rasakan bogem mentah. Haha, sekali-kali aku harus sedikit keras. Kalau tidak begini, bisa-bisa aku tak dapat uang lagi. Bolehlah melakukan sedikit kejahatan asalkan demi kebaikan, bukan begitu?
Sebenarnya aku kasihan melihat lelaki kurus itu diseret dan dipukuli preman. Biarlah, semua demi kebaikanku. Kudengar ia memanggil— yang menurutnya namaku, aku tak peduli. Yang penting sekarang pengganggu itu sudah pergi.
Pelangganku sudah banyak mengantri. Malam ini akan sangat melelahkan.
***
Aku rela. Aku sungguh rela. Demi dapat menyenangkan hatinya. Mungkin ini sambutan yang bisa ia berikan padaku saat ini. Tubuhku tergeletak lemah di ujung jalan. Meski banyak orang lewat, mereka tak peduli denganku. Aku dianggap bangkai tikus.
Mengapa ia begitu tega padaku. Ataukah ia lupa denganku. Mungkin saja ia habis tertabrak sepeda motor dan itu menimbulkan amnesia. Biarlah, mungkin ia shock melihat kadatangnku. Padahal aku tak akan menceritakan apapun yang terjadi di sini kepada keluarganya. Tentang pekerjaanya. Tentang dandanannya. Tentang perlakuannya padaku.
Apakah ia ingin balas dendam padaku. Dulu memang pernah kutinggalkannya. Padahal saat itu aku hanya ingin pergi sementara— mencari pekerjaan. Setelah lulus SMA aku langsung pergi ke luar pulau. Menjadi kuli bangunan. Setelah dua tahun berlalu, aku kembali ke kampung halaman. Aku kaget setelah mendengar cerita dari Emaknya, bahwa Asih ingin pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Beliau sudah melarangnya, tapi Asih tetap bersikeras. Akhirnya beliau melepasnya dengan derai airmata.
“Nak, lekas temukan Asih. Begitulah pesan terakhir emaknya saat kuberpamitan mencarinya.
***
“Ayo, Sih, ikut mas pulang... Emak sakit lo...di rumah tak ada siapa-siapa.” Ajaknya, sambil sangat memelas.
“Aku bukan Asih.”
“Kamu tak usah begitu, aku tak akan menceritakan pada emak kamu, beneran..,”
“Sekali lagi ya! aku BUKAN ASIH!!!”
Mengapa lelaki itu begitu menginginkanku. Padahal aku bukan orang yang dicarinya. Mungkin, ia frustasi, atau gila karena ditinggal pacarnya yang kebetulan mirip wajahku. Dasar, dunia memang sudah lebih gila dari yang kuduga.
***
Malam semakin kelam. Lelaki-perempuan pengunjung pesta mulai pulang. Tinggal seorang pemuda dan seorang wanita muda. Mereka adu mulut hebat sekali. Petugas keamanan tak peduli. Waktu sudah mendekati jam dua pagi. Mereka terlihat menyembunyikan sesuatu. Lelaki muda dan wanita muda itu akhirnya pulang dengan jalan masing-masing. Tak ada salam, tak ada kata- kata terakhir.
Tuban, 08-09 04 2011


 Pernah dimuat Majalah Akbar

Ketika Cinta Memilih




Oleh: Thoni Mukarrom

Masa-masa indah jalinan cinta begitu indah, keindahan itu lebih dari keindahan yang kubayangkan sebelumnya. Aku seakan melihat dunia hanya sebagian kecil dari cinta itu sendiri. Melihat ayam-ayam yang setiap hari kerjaannya hanya memberikan kotorannya di teras rumahku, seperti melihat gumpalan “emas” yang tak ternilai harganya. Apalagi emas itu berada tepat di depan pintu kamar tidurku. Bahkan aku mendengar omelan-omelan Ibuku seperti suara nyanyian yang sangat merdu. Kalau boleh kukatakan suara itu seperti Celine Dion sewaktu menyanyikan lagu “My heart will go on”. Sangat romantis.
Hari ini adalah hari minggu hari yang aku tunggu-tunggu dalam seminggu. Hari yang dinantikan para remaja di kotaku untuk pergi bersama kekasihnya. Melepas penat.
Tuban, kota yang berada di pesisir pantai utara pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Persis di utara alun-alun kota terdapat bekas pelabuhan yang jaman kerajaan dulu dipakai pusat perdagangan penting. Tapi sekarang beralih fungsi menjadi tempat rekreasi para remaja. Terkenal dengan sebutan pantai “Boom” Tuban. Di sebelah barat ada bangunan masjid, kalau dilihat sekilas seperti istana di negeri dongeng. Di pelataran masjid terdapat banyak sekali orang-orang peminta sedekah. Mulai dari anak kecil sampai orang tua. Terkadang aku kasihan melihat mereka, seakan airmatanya sudah habis. Tapi tetap saja orang yang lewat di depannya tak memberi perhatian. Barangkali sudah suatu kebiasaan jadi tak perlu diperhatikan.
Banyak yang menyebut Kabupaten Tuban dengan julukan kota “Tuak”. Walaupun memang benar di sini banyak sekali ditemui orang-orang—hampir setiap hari “Tahlilan” di pinggir jalan sambil memegangang centak. Libur-libur kalau ada penertiban Satpol PP. Tapi setelah itu mereka kembali lagi seperti biasa. Aku lebih setuju kalau kotaku dijuluki sebagai kota Wali atau paling tidak kota Santri. Ini bukan tanpa alasan, sebab di sini terdapat banyak sekali makam-makam wali yang tersebar mulai dari pusat kota sampai pelosok desa. Termasuk juga makam salah satu wali Songo, yaitu makam sunan Bonang. Julukan ini mungkin juga bisa membuat para penduduknya lebih sadar dan tidak sering-sering berbuat maksiat.
Sejak Sabtu kemarin aku sudah membuat janji dengan pacarku untuk pergi jalan-jalan di pantai Boom, kata pacarku sih kalau jalan-jalan di pantai Boom itu enaknya waktu sore sambil melihat matahari terbenam. Aku menurut saja apa yang dia katakan.. Aku semakin tidak sabar menunggu sore tiba, ingin cepat-cepat kuputar jarum jam itu yang kelihatannya mulai malas bergerak.
Akhirnya senja tiba juga. Aku kaget ketika melihat pacarku berdandan tidak seperti biasanya, dia memakai pakaian serba hitam lebih tepatnya mamakai sandal hitam, celana pensil hitam, kemeja hitam dan kerudungnya juga hitam.
“Eh kamu habis melayat siapa? Siapa to yang meninggal dunia?” Tanyaku mengintrogasinya.
“Tidak kok Mas, aku pengen ae pake pakaian begini, apa aku tidak cantik lagi ya kalau pake baju seperti ini?” Sambil tersenyum malu.
“Tidak kok dek, kamu malah semakin manis kok kalau pake baju seperti itu, lihat aja tu banyak semut sudah mengantri mau ngerubutin kamu. He..he..he… O ya, tadi katanya mau ngomong sesuatu, mau ngomong apa sih? kelihatannya kok serius banget.” Kataku sambil menatap mata indahnya.
“Oh.. aku cuma mau pamit aja mas, kalau sebulan kedepan aku mau pergi ke Malang di rumah mbahku, aku diajak liburan sama mak’e kesana.”
“Lho kok nggak ngajak-ngajak aku to dek?” Jawabku menggoda.
“Nggak mas, aku cuma sama mak’e thok, bapak sama adek aja nggak diajak.”
“Kok lama banget sih?” Tanyaku lagi.
“Nggak tahu mas, aku cuma nurutin perintah mak’e.”
“Yo weslah kalo gitu, aku nggak bisa nglarang kamu.”
“Mas marah ya..”
“Nggak kok aku nggak marah, beneran.” Sambil kusedot batang terakhir kretekku. Aku menatap matanya, mata yang sangat indah seperti kilau permata.
Senja perlahan menutup siang menjadi malam, menutup terang menjadi gelap. Barisan burung Kuntul beriringan menambah indahnya senja sore ini. Lampu-lampu di pinggir pantai Boom mulai dinyalakan. Sinar matahari berganti lampu-lampu oranye di pinggir jalan. Tak terasa malam telah tiba, kami bergegas pulang.
Waktu aku jalan-jalan bersamanya di pantai Boom, tak kulihat dia memberikan tanda-tanda kegelisahan, atau kegundahan hati yang dipaksa disembunyikan. Dia hanya tersenyum meskipun terkadang kulihat senyuman itu dipaksa-paksakan. Entah apa yang telah terjadi pada dirinya, aku sama sekali tak tahu.
Setelah itu, ku selalu terpikirkan wajahnya dalam setiap malam, di saat mata tak mampu lagi menahan kelopaknya yang semakin berat, di saat mahkluk kecil penghisap darah yang selalu setia menemani tidur datang mengerubuti tubuhku. Wajah yang indah itu selalu menempel lekat-lekat di mataku, tak bisa kuhapus dengan memejamkannya apalagi hanya mengedipkannya. Sungguh tak bisa. Entah apa yang kurasakan ini? Inikah cinta yang kata orang-orang sungguh indah dan serasa dunia milik berdua. Tapi apa. Semua itu tak lagi kurasakan.
Sungguh kutak berdaya dibuatnya. Hari-hari berlalu begitu saja tanpa ada rasa bahagia, hanya rasa sedih yang selalu hadir menemani. Tatapan mataku selalu kosong, otak juga tak mampu bekerja maksimal, yang ada hanya lamunan.
*
Sebulan sudah virus cinta ini melumpuhkanku, mengunci kaki, menutup mata dan yang terakhir hampir membunuhku. Sampai saat ini akupun tidak tahu mengapa dia meninggalkanku tanpa memberi alasan yang bisa membuat hati rela melepasnya. Kuhubungi nomer HP-nya tidak pernah aktif, kudatangi rumahnya juga tidak pernah ada. Saat kutanya orangtuanya, beliau tak pernah memberi jawaban yang memuaskan. Dan seakan-akan mencari-cari alas an.
Siang yang panas ini serasa ada petir menyambar tepat di depan rumahku. Dan memunculkan seorang gadis, gadis yang datang dengan membawa secarik kertas bewarna merah dibungkus plastik murahan. Seorang gadis yang pernah kulihat sebelumnya. Benar sekali, dia adalah wanita yang selama ini menganggu tidurku, merusak mimpiku, menghancurkan semangatku. Kucoba menguatkan hati di depan matanya, kutarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan. 
 “Assalamu`alaikum…” Suaranya yang lembut tiba-tiba menghapus rasa rinduku selama ini.
”Wa`alaikumsalam…, kemarin-kemarin kemana aja, kok nggak pernah ada kabarnya?” Tanyaku penasaran.
 “Mau maen aja kok, sekalian mau ngasih ini.” Sambil menyodorkan kertas yang ada di genggaman tangannya.  
Ku langsung menyambarnya, seperti burung Elang menyambar anak ayam yang sedang jalan-jalan sendirian. Ku buka pelan-pelan, ternyata ada listrik 1000 watt masuk melalui jari-jari tanganku langsung melesat memporak-porandakan semua isi di dalam hati, lalu naik ke otak mengagetkan sel-sel otak yang dari kemarin tidak bekerja.
 “Undangan pernikahan?” Kucoba menguatkan hati, agar airmataku tidak meledak tepat di depan matanya.
 “I, i, iya Mas, itu surat undangan pernikahanku. Maaf ya, kalau selama ini aku tidak jujur padamu, kutakut Mas, kalau aku langsung berterus-terang itu akan lebih menyakitimu. Maaf ya Mas…” Bicaranya seperti ibu yang akan melepas anaknya kerja ke luar negeri. “Terima kasih atas kebaikan Mas selama ini. Sebenarnya aku sendiri tidak menginginkan pernikahan ini, tapi apa dayaku, aku tak bisa berbuat apa-apa, orangtuaku menjodohkanku. Dan aku sadar selama ini aku tak pernah membahagiakannya, mungkin dengan ini mereka bisa bahagia walaupun aku tersiksa. Kuharap Mas bisa memahami posisiku sekarang ini.” Sambil mengusap airmata yang dari tadi sudah tidak sabar mau keluar.
Aku akan menerima kenyataan ini, menerima dengan seikhlas-ikhlasnya. Meskipun sebenarnya aku tak rela dengan takdirku seperti ini. Tapi apa mau dikata, Tuhan telah berkehendak lain, Tuhan sedang menjalankan takdirnya—takdir yang tak bisa dirubah hambanya—takdir yang pasti dan aku harus menjalaninya.
 “Aku tahu, kamu di posisi yang sangat sulit saat ini, dan aku juga bisa merasakannya bila aku di posisimu sekarang, tapi inilah kenyataan yang harus kita jalani. Dan kita harus ikhlas menerima semua kenyataan ini. Sebelum kamu pergi, apa aku boleh meminta satu permintaan padamu?.
 “Apa itu Mas.. Kalau aku bisa melakukannya pasti akan ku lakukan.?” Suaranya lembut sekali.
“Aku hanya minta kepadamu agar kamu bisa mencintai dengan setulus cinta sejati kepada orang yang akan kamu nikahi, jangan sekali-kali kamu mengkhianatinya. Karena cinta yang sesungguhnya adalah di saat kamu bersumpah sehidup semati ketika akad nikah nanti. Apakah kamu bisa melakukan itu?” Kucoba setegar-tegarnya mengucapkan kata-kata ajaib itu, dan aku sendiri tak yakin bisa melaksanakan apa yang baru ku ucapkan.
 “Ya Mas, doakan saja aku bisa melewati bahtera rumah tangga nanti dengan selamat dan bisa menjadi keluarga sakinah, mawadah dan warohmah. Ya sudah Mas, kalau gitu aku pamit pulang dulu ya.., itu sudah ditunggu pamanku dari tadi.” Sambil mengusap pipinya yang basah dengan tisu
 “Jangan lupa datang ya Mas, di pesta pernikahanku nanti.” Sambil melambaikan tangan. Suaranya terasa lembut membelai telingaku.                                                                     
 “Iya.., Hati-hati ya.” Jawabku sekenanya.
Itulah kata-kata terakhir yang diucapkannya kepadaku sebelum kumelihatnya bersanding di pelaminan. Kata-kata itu seperti bunga mawar. Sampai-sampai aku tidak tahu di balik keindahannya itu terdapat duri-duri yang siap kapan saja menusuk-nusuk hati dan perasaanku.
Sambil menaiki sepedamotor dia melambaikan tangannya dengan tersenyum manis. Manis sekali senyumnya, baru kali ini aku melihat senyuman yang begitu manis yang terasa sampai ke dalam hati. Semoga kamu bahagia bersama pilihanmu sekarang.
Sebenarnya hatiku tidak bisa menerima semua kenyataan ini, tapi apa yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa menatapnya bahagia di atas remuknya hatiku, biarlah semua kisah ini berakhir seperti ini, aku akan ihklas menerimanya. Dan kuyakin suatu saat nanti akan ada seorang bidadari yang setia menemaniku di akhir pencarian cinta sejati.
***
Malam tiba-tiba datang dengan membawa perhiasan beserta pernak-perniknya. Sang rembulan tersenyum, bintang-bintang berkelap-kelip, persis lampu ulang tahunku tahun lalu. Semilir angin menyapu kegelisahan hati. Perpaduan suara mahkluk-mahkluk malam menyayikan lagu pengantar tidur. Kucoba pejamkan mata sambil membaca lagi tanggal yang tertera di cover undangan tadi, di situ tertulis rabu, 28 September 2008. Aku teringat, kalau tanggal itu mengigatkanku kembali pada saat pertama kali kuucapkan cinta dengannya: 28 September2006. Dan mengingatkanku pada sebuah nama yang terukir indah di dalam hati, nama yang tak pernah kuceritakan pada siapapun, nama yang takkan hilang dan akan terus menjadi rahasia indah cintaku, selamanya…
 Tuban, Juni 2009
 Pernah dimuat Surabaya Post







Tarian Naga




Oleh: Thoni Mukarrom

Tubuh naganya meliuk-liuk indah ke angkasa. Menembus awan putih hingga melelapkan mentari. Siang begitu menggoda. Tarian keindahan mementaskan harapan. Mencakar langit.
1.
Gadis itu sungguh memesona. Saat ia menari, tariannya menjelma naga. Setiap kali aku melihatnya dari kampung satu ke kampung lain, ia memanjakan setiap mata penonton. Menyihir mata orang-orang yang butuh hiburan. Memang, tak mudah cari hiburan di desa. Mungkin TV, itu kalau yang punya uang banyak. Kebanyakan orang di desaku hidup di bawah garis kemiskinan. Benar, seperti orang-orang di desa lain.
Butuh kesabaran ekstra untuk mencintai gadis seperti Ning. Bagaimana tidak, setiap hari aku harus menerima cacian dari tetanggaku, dari kerabatku, dari teman-temanku. Apa tidak ada gadis lain saja di desa ini?  Kata bapakku suatu waktu. Aku tak peduli kata-kata itu. Tak ada yang bisa memisahkan cinta kita. Tak ada.
Begitulah kira-kira rasa jatuh cinta pada wanita yang kurasakan sekarang. Semuanya terasa indah. Setiap kali ia selesai manggung, aku selalu menunggunya. Ia tak begitu peduli dengan apa yang kunaiki. Ia tak menuntut banyak dariku. Mungkin aku lelaki beruntung di dunia. Hanya sepeda jengki ini sudah membuat seorang gadis itu mau jadi pacarku. Kami selalu menikmati hal-hal kecil yang ada. Aku pun juga tak menuntut banyak darinya. Biar pun ia seorang ledek, aku tak peduli.
Berhari kulewati dengannya. Memang, terkadang semuanya berlalu begitu saja. Kadang cinta begitu rumit. Mungkin juga banyaknya penderitaan yang telah kulewati bersamanya. Jurang pemisah dan status sosial yang sering kali membuat kita selalu menikmati getir cinta. Bukankah cinta selalu membahagiakan? Tuhan menciptakan cinta untuk menemani manusia agar tidak bosan hidup di dunia. Tuhan menciptakan cinta agar membuat manusia saling menghargai, saling menghormati, saling membutuhkan. Tapi, semua itu terkadang kupertanyakan. Bukan kutakmengimani cinta yang telah diciptakan Tuhan. Bukan pula aku tak pernah merasakan itu. Tapi saat kubersamanya, kau tahu, semua itu telah membuatku tak tahu arti sebuah cinta. Penuh misteri, betul kata pujangga terdahulu, cinta itu buta. Tak jarang kuberpikir mengapa banyak orang berperang. Padahal mereka sendiri menyeru betapa indahnya perdamaian. Mungkin mereka juga bingung atau tak mengerti arti cinta, seperti apa yang kurasakan sekarang. Hmm.
2.
 “Kenapa Kau masih berhubungan dengan gadis murahan itu?” Kata bapakku di suatu malam, setelah aku mengantar pulang  pujaan hatiku.
“Apa tidak ada gadis lain di desa ini, Nak..” Sahut ibuku.
“Bu, biarkan aku pilih hidupku sendiri, aku sudah besar, Bu..” Jawabku.
Kedua orangtuaku memang tak pernah tahu apa yang kurasakan. Aku mencintainya, bukan karena ia mencintaiku. Aku mencintainya, bukan karena ia cantik. Aku mencintainya karena aku memang benar-benar cinta. Cuma itu. Benar sekali, jika ada orang yang menyebutku munafik untuk mengakui bahwa ia cantik.
Aku tak menyalahkan bila orang-orang mengira bahwa aku lelaki kotor yang mencintai wanita—yang mereka pikir juga kotor. Yang penting aku bisa mencintainya seperti mencintai tubuhku sendiri. Tak penting semuanya yang telah ia berikan padaku. Memang semuanya pantas kudapatkan karena mencintainya.
Asal tahu saja, mereka juga suka menonton Langen Tayub. Aku tahu itu, siapa kemarin yang mabuk dan tertidur di pinggir jalan sampai pagi. Sekarang aku hanya bisa tertawa jika mereka mengejekku lagi. Mereka memang hewan berwajah manusia. Jangan heran jika Darwin pernah menyebut mereka bernenek moyang kera.
3.
Suatu malam saat ia selesai tanggapan acara anak khitan. Aku menunggunya di balik pepohonan. Orang yang tak tahu pasti mengiraku sedang mencari wangsit untuk nomor undian. Atau dikira penyair yang sedang mencari imajinasi. Mungkin juga arwah penasaran. Biarlah, aku diam saja.
“Mas, sudah dari tadi? ”
“Sekitar sejam, Dik.. ”
“Ayo, Mas pulang. Aku lelah sekali.”
Malam itu kami berdua menyusuri malam. Menikmati hawa dingin yang menelisik di balik kaos oblong. Ning merasa kedinginan. Ia memeluk erat perutku. Aku gemetar. Baru kali ini aku merasakan sesuatu yang aneh. Sepanjang perjalanan pulang, aku dibuatnya merinding penuh keanehan. Aku menyanyikan lagu kesukaannya. Lewat serak pita suara, aku mencoba membuatnyua sedikit tersenyum. Ia terkekeh mendengar suaraku. Malam itu sangat aneh, untuk sebuah cinta yang aneh. Rembulan pun sedang aneh—berbentuk hati.
4.
“Kalau kamu tak meninggalkannya, lebih baik kamu pergi saja dan jangan pernah kembali!!” Suara bapakku seperti petir di siang bolong.
“Pak, sabar Pak..meskipun begitu ia anak kita sendiri, Pak..”
“Persetan!!! Ia sudah tak menghargai kita sebagai orang tua, Bu.”
“Pak, jangan begitu…” Belum selesai ibu bicara, bapak mengambil sebilah pisau yang tergeletak di atas meja. Lalu mengacungkannya padaku.
“Pak, sabar, Pakkkk…”
Malam itu juga aku lari meninggalkan rumah. Ibu mengejarku, ia memberi beberapa uang. Aku pamit dengan iringan airmata. Ibu juga.
“Bu, maafkan aku, aku anak tak berbakti pada orangtua…” Aku langsung lari sebelum ibu menyahut kata-kataku.
5.
 “Mas, kenapa berbuat senekat itu?”
“Aku tak tahu, Dik”
“Kenapa sih, Mas? ”
“Aku tak bisa menjelaskan semuanya...”
Entah kenapa, aku selalu tak punya alasan jika ia menanyakan tentang hal yang telah kulakukan. Sebelum itu, aku juga pernah memukul tetanggaku, saat ia mengejekku. Aku juga tak punya alasan mengapa aku melakukannya. Saat itu yang ada di pikiranku hanya ingin memukulnya saja. Beberapa waktu sebelum itu, aku juga telah berani mengoboskan ban sepeda motor Kepala Desa. Ia tak mengata-ngataiku seperti tetanggaku tadi. Ia hanya melirikku sambil tersenyum. Entah, saat ia masuk ke Balai Desa, jemari menuntunku untuk menancapkan jarum. Semua kejadian itu tak seberapa jika dibandingkan dengan pengusiran bapak malam tadi. Dan lagi-lagi aku tak punya alasan untuk kujelaskan padanya. Sudahlah, aku sudah cukup senang dengan ketidakpahamanku tentang cinta. Tapi aku akan selalu menikmati ini walau sangat rumit.
“ Ya udah Mas, o ya, besok aku ada tanggapan di telaga lho, desa sebelah.”
“Jam berapa, Dik?”
“Jam satu siang, Mas…”
Sudah dua kali ini ia dan kelompok tayubnya diundang untuk syukuran di telaga. Di sekitar desaku masih mempertahankan tradisi nenek moyang. Salah satunya ya itu, menggelar pertunjukkan langen tayub dan sesaji alam di sekitar telaga. Biasanya acara seperti itu dilaksanakan setahun sekali, setelah panen raya. Terkadang juga ada yang menggelar syukuran saat mendapat rezeki lebih. Semua mereka lakukan untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan Sang pemberi hidup.
Beberapa warga menyumbangkan sebagian harta untuk acara itu. Ada beras, ayam, dan berbagai macam makanan tradisional. Mereka membagikan bancak’an kepada seluruh warga yang hadir. Sebuah sarana untuk mempererat tali persaudaraan yang efektif. Dan itu sudah berlaku ribuan tahun lalu, sebelum orang mengenal nasionalisme. Aku bangga dengan apa yang mereka lakukan. Sayang acara seperti ini kurang disukai para remaja. Mereka lebih suka dangdut koplo. Kau tahu, goyangan biduan cantik itu mengebor hati mereka.
Dengan baju warna krim kekuning-kuningan, Ning kuantar ke telaga. Siang yang panas, matahari mungkin sedang membuka bajunya. Aku terseok-seok mengantar Ning ke telaga. Jalan ke telaga tak semulus jalan raya. Banyak batu kecil, batu besar yang tertimbun tanah, juga tanaman berduri di pingirnya. Akhirnya dengan perjuangan yang melelahkan, aku sampai juga di telaga. Di sini sudah banyak sekali warga desa berkumpul. Di masing-masing tangannya ada yang membawa bucu lengkap dengan ayam panggang. Di antara mereka kulihat juga ada yang membawa bunga-bungaan, aku tak tahu akan dibuat apa. Persis di samping bucu-bucu itu ada peralatan gamelan lengkap. Telah sedari tadi pagi dipersiapkan. 
Pertunjukkan akan segera dimulai. Para panjak telah siap dengan alatnya masing-masing. Ning satu-satunya ledek muda yang masih bertahan. Teman-temannya banyak yang keluar karena tidak tahan omongan warga yang tak suka. Tak heran jika ia kerap menjadi sasaran omongan tak sedap. Tapi aku tak terlalu peduli dengan itu semua. Cintaku padanya tak ada yang memisahkan. Biar anjing menggonggong kafilah berlalu. Apa urusan mereka.
 Pertunjukkan kali ini sangat memukau. Ning berubah jadi naga biru, meliuk-liukkan tubuhnya ke angkasa. Menyemburkan api. Menari di antara awan yang beriringan. Sungguh pemandangan yang membuat mataku enggan berkedip. Suaranya merayap senyap. Naga biru itu menyelaraskan gerakan tari disisipi nyanyian duka. Aku terharu dengan semua itu. Ia mendendangkan dukanya di angkasa. Api biru menjilat-jilat menyentuh tanah. Perlahan air bening memaksa keluar. Pertunjukkan luar biasa!
“Ayo Mas, pulang..” Suaranya menghamburkan imajiku. Aku tak bisa menyembunyikan airmata padanya.
“Mas kenapa?” Tanyanya pelan.
“Ehm, tadi mata mas kelilipan, Dik.” Jawabku terbata.
“O, kirain kenapa. Ayo Mas pulang, acara sudah selesai.”
“iya, Dik..” Saking terbawa suasana yang luar biasa, aku tak sadar pertunjukkan telah selesai.
6.
Meskipun kadang aku berpikir, mengapa aku begitu nurut padanya, padahal dalam hubungan ini tak ada yang merestui. Aku benar-benar tak tahu alasannya. Semuanya kujalani dengan begitu ihklas, ihklas mencintai apa adanya. Kalau ada orang bilang aku telah dibutakan cinta, mungkin itu benar. Mungkin juga tidak. Ah, dari pada pusing memikirkan itu, lebih baik aku jalani semua ini dengan tulus. Di zaman sekarang tak mudah menemukan gadis seperti dia. Aku beruntung bisa berpacar dengannya. Setiap kali kucoba menggungkapkan apa yang kurasakan, ia selalu tersenyum, tersenyum kecut. Biarlah, memang beginilah cinta, indah dan misteri.
“Bu, ada apa dengan anak kita. Mengapa anak kita bisa  kepincut dengan ledek sialan itu.”
“Ibu tidak tahu, Pak. Mengapa Bapak tega mungusirnya. Dia kan anak kita satu-satunya. Penerus kita.”
“Bapak tak peduli Bu, anak itu sekali-kali harus mendapat pelajaran, agar ia dapat merasakan susahnya menjalani hidup. Biar ia tahu hidup yang singkat ini jangan dibuat main-main. Ibu paham kan maksud bapak?”
“Paham, Pak.. tapi ibu khawatir dengan apa yang terjadi pada anak kita sekarang..,”
“Ibu jangan terbawa perasaan. Ia akan balik saat ia lapar dan membutuhkan uang. Tenang saja, Bu.”
“Bapak tidak boleh begitu, siapa tahu Iwan benar-benar nekat dan tidak mau kembali lagi ke rumah ini”
“Ibu percaya bapak, dalam waktu dekat Iwan pasti akan kembali.”
Mendengar pembicaraan kedua orangtuaku itu, aku enggan masuk rumah. Kutulis sepucuk surat untuk ibu. Kukabarkan keadaanku, bahwa aku baik-baik saja. Aku sudah dapat pekerjaan. Walau sebagai penjaga warung makan lesehan. Aku sudah bersyukur. Kuharap ibu tak terlalu mencemaskan keadaanku sekarang. Dan rencananya tahun depan aku akan melamar Ning. Mungkin ibu merestui. Tapi bapak, aku kurang yakin pada beliau. Semoga saja dengan ketidakpulanganku, bapak bisa luluh hatinya dan merestui pernikahanku.
Aku tidak jadi masuk rumah. Kuselipkan sepucuk surat di bawah pintu. Semoga besok saat ibu menyapu, menemukan dan membacanya. Semoga bapak tak menemukannya lebih dulu, agar darah tingginya tidak kumat. Aku mengayuh pelan sepeda jengkiku menuju warung lesehan tempatku bekerja. Selain tempat kerja, di warung itu juga di sediakan kamar buat karyawan. Aku tinggal sementara di situ, sambil mengumpulkan uang untuk persiapan pernikahan.
7.
Rasanya sekarang aku sudah menjadi mempelai pria. Menggunakan peci hitam dengan jas hitam. Rasanya aku menjadi pangeran dari negeri dongeng yang tanpa sengaja menemukan putri tidur, lalu membangunkannya dengan ciuman. Indah rasanya. Serasa aku tidak hidup di dunia ini.  Aku hidup di dunia lain dengan suasana lain pula. Bak pangeran dari kerajaan Antah Berantah menemukan putri pilihannya. Lalu mempersuntingnya dan hidup bahagia selamanya.
 Sekarang kufokuskan untuk giat bekerja. Aku tak ingin mengecewakan Ning saat pernikahan nanti. Aku ingin membahagiakannya. Hanya itu, aku ingin menghapus airmatanya yang selalu ia keluarkan setiap malam. Ketika ia mengingat kedua orangtuanya yang telah meninggal dunia. Aku ingin menghapus keringatnya. Memerasnya lalu kalau ia mengijinkan, ingin kuminum keringat itu. Ya, aku akan meminumnya. Terdengar gombal memang, tapi biar ia tahu, aku juga merasakan apa yang sedang ia rasakan.
 “Ning, tunggu mas...,” bisikku  sebelum memejamkan mata.
***

Catatan:
Tanggapan   :  pertunjukkan (tontonan)
Ledek           :  penari dalam pertunjukkan Langen Tayub
Panjak         :  penabuh gamelan dalam pertunjukkan Langen Tayub
Bucu (jawa): tumpeng, nasi yang dibentuk seperti kerucut.      Biasanya disajikan saat ada acara penting atau selamatan.

Tuban, mei 2011

Pemenang harapan lomba cipta cerpen remaja tingkat nasional, Lip ace golden award