Fotografi
Senin, 23 Maret 2015
Wajah Asih
Oleh: Thoni Mukarrom
Ia tak pulang-pulang. Padahal malam akan menelan
pagi. Lelaki itu tak mau pulang. Sudah dari jam tujuh tadi. Tubuhnya tegap,
kumis tipis dengan rambut cepak. Umurnya kira-kira 22 tahun lebih. Aku tak tahu
namanya. Lelaki itu sungguh menyebalkan. Karena ia, aku tak dapat tamu malam
ini. Ia menungguku terus, merayuku. Aku katakan, aku hanyalah perempuan
murahan. Ia tak peduli.
“Hai Sih!, siapa dia?” bentak salah seorang di
sampingku.
“Aku tak tau.”
Ia tetap saja tak mau pergi. Padahal sudah kuceritakan
darimana asal-usulku. Seperti apa pekerjaanku dan semua kejelekanku. Ia tetap
saja tidak mau pergi. Lelaki itu sudah dari kemarin kulihat duduk di sekitar
bangku teras. Kalau terus seperti ini, pelangganku akan lari. Kemana aku harus
cari makan esok hari. Lelaki kurang kerjaan itu sungguh menyebalkan. Ia mencuri
jatah makanku malam ini. Dari tadi kulihat lima pelangganku enggan masuk.
“He kamu, pergi sana! Ngapain menungguku di sini?”
Sekali lagi
kusuruh ia pergi, hasilnya sama, ia tetap berdiri di depan pintu. Ya Tuhan,
makhluk apakah ia? Apakah ia tak punya telinga. Ataukah ia memang makhluk tak
bertelinga. Suaraku dari tadi tidak dipedulikannya. Kucoba panggil petugas
keamanan. Malah petugas itu tak ada di tempat, mungkin sibuk melerai orang bertengkar.
Teman sampingku juga diam saja. Ia terlihat gembira karena pelangganku lari
padanya.
Pagi sudah mengintip malu di ujung sofa. Udara
dingin merasuk perlahan menusuk tubuh. Lelaki itu tetap menatap mataku, tanpa
peduli pagi siap menjelang. Kutanya apa maunya, ia tak menjawab. Kutanya
darimana ia datang, ia tetap diam. Ah, aku tak peduli. Kulangkahkah saja kakiku
keluar. Ia mengikuti. Biar, mungkin ia tak percaya dengan semua ceritaku tadi.
Senja datang lagi. Sinar keemasannya membawa
angin, membelaiku mesra. Kupu-kupu mulai datang berdandan. Sinar remang
menyelimuti penjuru kompleks. Bintang agak malu-malu menampakkan diri. Sejak
mahgrib tadi, aku telah menghias wajahku dengan berbagai merk make up.
Jarak kostku dengan kompleks tak begitu jauh, sepuluh
menit jalan kaki. Tapi itu terasa sangat jauh. Malam nanti akan kulalui—
seperti mendaki gunung tanpa peta dan bekal. Aku tak tahu ada apakah di atas
sana. Mungkin angin akan menghempaskanku, atau ada binatang liar menerkam dan
memakanku. Kalau nasibku sedang sedikit baik, aku akan menemukan
buah-buahan—setelah itu menunggu pertolongan dan kalau tidak ada, tinggal
menunggu ajal. Banyak orang berkata hidup adalah pilihan, tapi itu tak berlaku
bagiku. Aku tak punya pilihan. Sajak kecil aku sudah seperti ini. Melihat
hitamnya malam dengan cahaya warna-warni, padahal malam tetap hitam. Hmm, jika
mengingat itu aku tak mampu menangis lagi. Airmata telah habis kuperas setiap
malam. Tapi, selalu saja ada sisa
airmata yang harus kuperas. Hidup memang tak ada pilihan. Tak seperti banyak
orang katakan— itu tak berlaku bagiku.
Sejak kecil ibu telah membiarkanku di tempat ini.
Tempat penuh kebahagiaan semu. Terkadang kuberpikir memang lebih enak bekerja
seperti ini. Tidak bersusah payah seperti orang lain. Enak kan, kerja cuma
begitu saja sudah bisa dapat uang banyak. Zaman sekarang sulit cari kerja,
apalagi hanya berbekal ijasah SMP sepertiku. Lagi pula Ibu telah meninggalkan
sejak 5 tahun lalu, saatku berumur 15 tahun. Setelah pergi sampai sekarang, ibu
tak pernah memberi kabar padaku. Ya, beginilah hidupku, hidup tanpa pilihan.
Tanpa tahu ayah dan ditinggalkan ibu.
Ibu meninggalkanku saat aku belum mengerti tentang
kehidupan. Seingatku, ibu menitipkanku di tempat ini. Tempat penuh warna hitam
yang dinyalakan dengan warna-warni kehidupan. Hidup menyelusuri hitam tanpa
tahu jalan keluar. Masih adakah cahaya di seberang lorong sana. Sedang tubuhku
telah beradaptasi dengan berjuta warna hitam. Warna yang terlihat sebagian
orang sebagai warna penghuni neraka paling bawah. Sebagian lagi menganggap
warna kenikmatan— yang tak pernah dirasakan oleh orang yang menyebut dirinya
penghuni surga. Terkadang kuberpikir sebenarnya surga dan neraka diciptakan
untuk siapa? Biarlah, Tuhan sendiri yang menentukannya. Aku tak pantas mencampuri
urusan tersebut.
Ini kehidupanku, aku harus menjalaninya sekuat
hati. Tapi inilah hidupku, hidup tanpa pilihan. Aku tidak tahu, di jalan apa
sekarang. Kuharap Tuhan masih bisa mendengar dan melihatku. Aku hanya mengais rizki, meskipun rizki yang kudapat, mereka menyebutnya dosa.
Derap kakiku disambut dentuman musik disko.
Tiba-tiba lelaki brengsek itu datang lagi. Ia membawa sebuah senyum. Aku
berusaha tak melihatnya. Ia melirik. Aku langsung masuk kompleks. Tanpa
kuketahui ia telah di depan pintu kamarku. Ia seperti hantu, ia datang dengan
begitu cepat tanpa sepengetahuanku.
“Kenapa sih elo ngikutin gue mulu?”
“?”
“Kenapa diam saja? Punya telinga nggak sih!!”
Lelaki itu sungguh brengsek. Benar-benar brengsek
dari semua tamu yang pernah kulayani.
***
Ia diam saja melihatku. Padahal dari tadi aku
ingin ngomong sesuatu padanya. Wanita muda itu,
sungguh— ia mirip pacarku. Umurnya kira-kia 20 tahun. Sudah setahun aku mencari
keberadaannya. Di kota besar seperti ini, tak mudah mencari seorang manusia. Aku
sudah berpikir, mungkin ia telah diculik. Dikirim ke luar negeri. Dijadikan
pembantu rumah tangga tanpa bayaran, itu kalau nasibnya sedikit mujur. Kalau
nasibnya sial, ia mungkin dijadikan budak nafsu, atau paling tidak diperkosa oleh penculiknya. Ditinggal begitu saja.
Tidak!
Semua itu salah. Malam ini aku menemukan lagi pacarku yang menghilang setahun
lalu. Mungkin ia kaget dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Mungkin juga ia malu
dengan melihatku datang. Tapi aku tak peduli semua itu. Meskipun ia telah
menjadi—apapun itu. Aku tak peduli.
Aku tetap saja berdiri di depan pintu kamarnya.
Aku tak peduli dengan lelaki yang datang silih berganti. Aku tak peduli
teriakkannya ketika menyuruhku pergi.
“Asih, ini mas. Ayo ikut mas pulang. Emak
mencarimu. Apa kamu nggak kasihan melihat Emak sakit karena memikirkanmu? Ayo
ikut mas pulang..”
“Aku bukan Asih!!”
“Nggak usah malu, sih. Nanti aku akan menjelaskan
semuanya ke Emak. Kujamin Emak nggak akan marah.”
“Benar, aku bukan Asih. Sekarang cepat pergi,
nanti tamu-tamuku akan lari.”
“Sih...ini mas... mas sudah mencari kamu selama 6
bulan lalu. Mas sudah menanyakan ke berbagai orang di kota ini, tapi mereka
semua menjawab tidak tahu. Lalu kuputuskan untuk pergi kesini, siapa tahu ada
kamu. Ternyata benar, kamu ada di sini.”
“Aku tak peduli dengan ceritamu. Yang penting aku
bukan Asih yang kamu cari, titik!”
Aku tetap menunggunya. Siapa tahu nanti
malam dia mau mengaku saat sepi orang.
***
Orang ini benar-benar brengsek. Kemarin ia sudah
kumaafkan. Sekarang malah datang lagi. Aku harus bertindak tegas. Kusewa preman
yang biasa mangkal di depan. Kusuruh mengusirnya, kalau tetap tidak mau, biar
ia rasakan bogem mentah. Haha, sekali-kali aku harus sedikit keras. Kalau tidak
begini, bisa-bisa aku tak dapat uang lagi. Bolehlah melakukan sedikit kejahatan
asalkan demi kebaikan, bukan begitu?
Sebenarnya aku kasihan melihat lelaki kurus itu
diseret dan dipukuli preman. Biarlah, semua demi kebaikanku. Kudengar ia
memanggil— yang
menurutnya namaku, aku tak
peduli. Yang penting sekarang pengganggu itu sudah pergi.
Pelangganku sudah banyak mengantri. Malam ini akan
sangat melelahkan.
***
Aku rela. Aku sungguh rela. Demi dapat
menyenangkan hatinya. Mungkin ini sambutan yang bisa ia berikan padaku saat
ini. Tubuhku tergeletak lemah di ujung jalan. Meski banyak orang lewat, mereka
tak peduli denganku. Aku dianggap bangkai tikus.
Mengapa ia begitu tega padaku. Ataukah ia lupa
denganku. Mungkin saja ia habis tertabrak sepeda motor dan itu menimbulkan
amnesia. Biarlah, mungkin ia shock melihat kadatangnku. Padahal aku tak
akan menceritakan apapun yang terjadi di sini kepada keluarganya. Tentang
pekerjaanya. Tentang dandanannya. Tentang perlakuannya padaku.
Apakah ia ingin balas dendam padaku. Dulu memang
pernah kutinggalkannya. Padahal saat itu aku hanya ingin pergi sementara—
mencari pekerjaan. Setelah lulus SMA aku langsung pergi ke luar pulau. Menjadi
kuli bangunan. Setelah dua tahun berlalu, aku kembali ke kampung halaman. Aku
kaget setelah mendengar cerita dari Emaknya, bahwa Asih ingin pergi ke kota
untuk mencari pekerjaan. Beliau sudah melarangnya, tapi Asih tetap bersikeras.
Akhirnya beliau melepasnya dengan derai airmata.
“Nak, lekas temukan Asih.” Begitulah pesan terakhir
emaknya saat kuberpamitan mencarinya.
***
“Ayo, Sih, ikut mas pulang... Emak sakit lo...di
rumah tak ada siapa-siapa.” Ajaknya, sambil sangat memelas.
“Aku bukan Asih.”
“Kamu tak usah begitu, aku tak akan menceritakan
pada emak kamu, beneran..,”
“Sekali lagi ya! aku BUKAN ASIH!!!”
Mengapa lelaki itu begitu menginginkanku. Padahal
aku bukan orang yang dicarinya. Mungkin, ia frustasi, atau gila karena
ditinggal pacarnya yang kebetulan mirip wajahku. Dasar, dunia memang sudah
lebih gila dari yang kuduga.
***
Malam semakin kelam. Lelaki-perempuan pengunjung
pesta mulai pulang. Tinggal seorang pemuda dan seorang wanita muda. Mereka adu
mulut hebat sekali. Petugas keamanan tak peduli. Waktu sudah mendekati jam dua pagi. Mereka terlihat menyembunyikan sesuatu. Lelaki muda
dan wanita muda itu akhirnya pulang dengan jalan masing-masing. Tak ada salam,
tak ada kata- kata terakhir.
Tuban, 08-09 04 2011
Pernah dimuat Majalah Akbar
Ketika Cinta Memilih
Oleh: Thoni Mukarrom
Masa-masa indah jalinan cinta begitu indah, keindahan
itu lebih dari keindahan yang kubayangkan sebelumnya. Aku seakan melihat dunia
hanya sebagian kecil dari cinta itu sendiri. Melihat ayam-ayam yang setiap hari
kerjaannya hanya memberikan kotorannya di teras rumahku, seperti melihat
gumpalan “emas” yang tak ternilai harganya. Apalagi emas itu berada tepat di
depan pintu kamar tidurku. Bahkan aku mendengar omelan-omelan Ibuku seperti
suara nyanyian yang sangat merdu. Kalau boleh kukatakan suara itu seperti
Celine Dion sewaktu menyanyikan lagu “My
heart will go on”. Sangat romantis.
Hari ini adalah hari minggu hari yang aku tunggu-tunggu
dalam seminggu. Hari yang dinantikan para remaja
di kotaku untuk pergi bersama kekasihnya. Melepas penat.
Tuban, kota yang berada di pesisir pantai utara pulau
Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Persis di utara alun-alun kota terdapat bekas
pelabuhan yang jaman kerajaan dulu dipakai pusat perdagangan penting. Tapi
sekarang beralih fungsi menjadi tempat rekreasi para remaja. Terkenal dengan
sebutan pantai “Boom” Tuban. Di sebelah barat ada bangunan masjid, kalau
dilihat sekilas seperti istana di negeri dongeng. Di pelataran masjid terdapat
banyak sekali orang-orang peminta sedekah. Mulai dari anak kecil sampai orang
tua. Terkadang aku kasihan melihat mereka, seakan airmatanya sudah habis. Tapi
tetap saja orang yang lewat di depannya tak memberi perhatian. Barangkali sudah
suatu kebiasaan jadi tak perlu diperhatikan.
Banyak yang menyebut Kabupaten Tuban dengan julukan kota
“Tuak”. Walaupun memang benar di sini banyak sekali ditemui orang-orang—hampir
setiap hari “Tahlilan” di pinggir jalan sambil memegangang centak. Libur-libur kalau ada penertiban Satpol PP. Tapi setelah
itu mereka kembali lagi seperti biasa. Aku lebih setuju kalau kotaku dijuluki
sebagai kota Wali atau paling tidak kota Santri. Ini bukan tanpa alasan, sebab
di sini terdapat banyak sekali makam-makam wali yang tersebar mulai dari pusat
kota sampai pelosok desa. Termasuk juga makam salah satu wali Songo, yaitu
makam sunan Bonang. Julukan ini mungkin juga bisa membuat para penduduknya
lebih sadar dan tidak sering-sering berbuat maksiat.
Sejak Sabtu kemarin aku sudah membuat janji dengan
pacarku untuk pergi jalan-jalan di pantai Boom, kata pacarku sih kalau jalan-jalan
di pantai Boom itu enaknya waktu sore sambil melihat matahari terbenam. Aku
menurut saja apa yang dia katakan.. Aku semakin tidak sabar menunggu sore tiba,
ingin cepat-cepat kuputar jarum jam itu yang kelihatannya mulai malas bergerak.
Akhirnya senja tiba juga. Aku kaget ketika melihat
pacarku berdandan tidak seperti biasanya, dia memakai pakaian serba hitam lebih
tepatnya mamakai sandal hitam, celana pensil hitam, kemeja hitam dan
kerudungnya juga hitam.
“Eh kamu habis melayat siapa? Siapa to yang meninggal
dunia?” Tanyaku mengintrogasinya.
“Tidak kok Mas, aku pengen ae pake pakaian begini, apa
aku tidak cantik lagi ya kalau pake baju seperti ini?” Sambil tersenyum malu.
“Tidak kok dek, kamu malah semakin manis kok kalau pake
baju seperti itu, lihat aja tu banyak semut sudah mengantri mau ngerubutin
kamu. He..he..he… O ya, tadi katanya mau ngomong sesuatu, mau ngomong apa sih?
kelihatannya kok serius banget.” Kataku sambil menatap mata indahnya.
“Oh.. aku cuma mau pamit aja mas, kalau sebulan kedepan
aku mau pergi ke Malang di rumah mbahku, aku diajak liburan sama mak’e kesana.”
“Lho kok nggak ngajak-ngajak aku to dek?” Jawabku
menggoda.
“Nggak mas, aku cuma sama mak’e thok, bapak sama adek aja nggak diajak.”
“Kok lama banget sih?” Tanyaku lagi.
“Nggak tahu mas, aku cuma nurutin perintah mak’e.”
“Yo weslah kalo gitu, aku nggak bisa nglarang kamu.”
“Mas marah ya..”
“Nggak kok aku nggak marah, beneran.” Sambil kusedot
batang terakhir kretekku. Aku menatap matanya, mata yang sangat indah seperti
kilau permata.
Senja perlahan menutup siang menjadi malam, menutup
terang menjadi gelap. Barisan burung Kuntul beriringan menambah indahnya senja
sore ini. Lampu-lampu di pinggir pantai Boom mulai dinyalakan. Sinar matahari
berganti lampu-lampu oranye di pinggir jalan. Tak terasa malam telah tiba, kami
bergegas pulang.
Waktu aku jalan-jalan bersamanya di pantai Boom, tak
kulihat dia memberikan tanda-tanda kegelisahan, atau kegundahan hati yang
dipaksa disembunyikan. Dia hanya tersenyum meskipun terkadang kulihat senyuman
itu dipaksa-paksakan. Entah apa yang telah terjadi pada dirinya, aku sama
sekali tak tahu.
Setelah itu, ku selalu terpikirkan wajahnya dalam setiap
malam, di saat mata tak mampu lagi menahan kelopaknya yang semakin berat, di
saat mahkluk kecil penghisap darah yang selalu setia menemani tidur datang
mengerubuti tubuhku. Wajah yang indah itu selalu menempel lekat-lekat di
mataku, tak bisa kuhapus dengan memejamkannya apalagi hanya mengedipkannya.
Sungguh tak bisa. Entah apa yang kurasakan ini? Inikah cinta yang kata
orang-orang sungguh indah dan serasa dunia milik berdua. Tapi apa. Semua itu
tak lagi kurasakan.
Sungguh kutak berdaya dibuatnya. Hari-hari berlalu
begitu saja tanpa ada rasa bahagia, hanya rasa sedih yang selalu hadir
menemani. Tatapan mataku selalu kosong, otak juga tak mampu bekerja maksimal,
yang ada hanya lamunan.
*
Sebulan sudah virus
cinta ini melumpuhkanku, mengunci kaki, menutup mata dan yang terakhir
hampir membunuhku. Sampai saat ini akupun tidak tahu mengapa dia meninggalkanku
tanpa memberi alasan yang bisa membuat hati rela melepasnya. Kuhubungi nomer
HP-nya tidak pernah aktif, kudatangi rumahnya juga tidak pernah ada. Saat
kutanya orangtuanya, beliau tak pernah memberi jawaban yang memuaskan. Dan
seakan-akan mencari-cari alas an.
Siang yang panas ini serasa ada petir menyambar tepat di
depan rumahku. Dan memunculkan seorang gadis, gadis yang datang dengan membawa
secarik kertas bewarna merah dibungkus plastik murahan. Seorang gadis yang
pernah kulihat sebelumnya. Benar sekali, dia adalah wanita yang selama ini
menganggu tidurku, merusak mimpiku, menghancurkan semangatku. Kucoba menguatkan
hati di depan matanya, kutarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya
pelan-pelan.
“Assalamu`alaikum…”
Suaranya yang lembut tiba-tiba menghapus rasa rinduku selama ini.
”Wa`alaikumsalam…, kemarin-kemarin kemana aja, kok nggak
pernah ada kabarnya?” Tanyaku penasaran.
“Mau maen aja
kok, sekalian mau ngasih ini.” Sambil menyodorkan kertas yang ada di genggaman tangannya.
Ku langsung menyambarnya, seperti burung Elang menyambar
anak ayam yang sedang jalan-jalan sendirian. Ku buka pelan-pelan, ternyata ada
listrik 1000 watt masuk melalui
jari-jari tanganku langsung melesat memporak-porandakan semua isi di dalam
hati, lalu naik ke otak mengagetkan sel-sel otak yang dari kemarin tidak
bekerja.
“Undangan
pernikahan?” Kucoba menguatkan hati, agar airmataku tidak meledak tepat di
depan matanya.
“I, i, iya Mas,
itu surat undangan pernikahanku. Maaf ya, kalau selama ini aku tidak jujur
padamu, kutakut Mas, kalau aku langsung berterus-terang itu akan lebih
menyakitimu. Maaf ya Mas…” Bicaranya seperti ibu yang akan melepas anaknya
kerja ke luar negeri. “Terima kasih atas kebaikan Mas selama ini. Sebenarnya
aku sendiri tidak menginginkan pernikahan ini, tapi apa dayaku, aku tak bisa
berbuat apa-apa, orangtuaku menjodohkanku. Dan aku sadar selama ini aku tak
pernah membahagiakannya, mungkin dengan ini mereka bisa bahagia walaupun aku
tersiksa. Kuharap Mas bisa memahami posisiku sekarang ini.” Sambil mengusap airmata
yang dari tadi sudah tidak sabar mau
keluar.
Aku akan menerima kenyataan ini, menerima dengan
seikhlas-ikhlasnya. Meskipun sebenarnya aku tak rela dengan takdirku seperti
ini. Tapi apa mau dikata, Tuhan telah berkehendak lain, Tuhan sedang menjalankan
takdirnya—takdir yang tak bisa dirubah hambanya—takdir yang pasti dan aku harus
menjalaninya.
“Aku tahu, kamu
di posisi yang sangat sulit saat ini, dan aku juga bisa merasakannya bila aku
di posisimu sekarang, tapi inilah kenyataan yang harus kita jalani. Dan kita
harus ikhlas menerima semua kenyataan ini. Sebelum kamu pergi, apa aku boleh
meminta satu permintaan padamu?.
“Apa itu Mas..
Kalau aku bisa melakukannya pasti akan ku lakukan.?” Suaranya lembut sekali.
“Aku hanya minta kepadamu agar kamu bisa mencintai
dengan setulus cinta sejati kepada orang yang akan kamu nikahi, jangan
sekali-kali kamu mengkhianatinya. Karena cinta yang sesungguhnya adalah di saat
kamu bersumpah sehidup semati ketika akad nikah nanti. Apakah kamu bisa
melakukan itu?” Kucoba setegar-tegarnya mengucapkan kata-kata ajaib itu, dan
aku sendiri tak yakin bisa melaksanakan apa yang baru ku ucapkan.
“Ya Mas, doakan
saja aku bisa melewati bahtera rumah tangga nanti dengan selamat dan bisa
menjadi keluarga sakinah, mawadah dan warohmah. Ya sudah Mas, kalau gitu aku pamit pulang dulu ya.., itu
sudah ditunggu pamanku dari tadi.” Sambil mengusap pipinya yang basah dengan tisu.
“Jangan lupa
datang ya Mas, di pesta pernikahanku nanti.” Sambil melambaikan tangan.
Suaranya terasa lembut membelai telingaku.
“Iya.., Hati-hati
ya.” Jawabku sekenanya.
Itulah kata-kata terakhir yang diucapkannya kepadaku
sebelum kumelihatnya bersanding di pelaminan. Kata-kata itu seperti bunga
mawar. Sampai-sampai aku tidak tahu di balik keindahannya itu terdapat
duri-duri yang siap kapan saja menusuk-nusuk hati dan perasaanku.
Sambil menaiki sepedamotor dia melambaikan tangannya
dengan tersenyum manis. Manis sekali senyumnya, baru kali ini aku melihat
senyuman yang begitu manis yang terasa sampai ke dalam hati. Semoga kamu
bahagia bersama pilihanmu sekarang.
Sebenarnya hatiku tidak bisa menerima semua kenyataan
ini, tapi apa yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa menatapnya bahagia di atas remuknya
hatiku, biarlah semua kisah ini berakhir seperti ini, aku akan ihklas
menerimanya. Dan kuyakin suatu saat nanti akan ada seorang bidadari yang setia
menemaniku di akhir pencarian cinta sejati.
***
Malam tiba-tiba datang dengan membawa perhiasan beserta
pernak-perniknya. Sang rembulan tersenyum, bintang-bintang berkelap-kelip,
persis lampu ulang tahunku tahun lalu. Semilir angin menyapu kegelisahan hati.
Perpaduan suara mahkluk-mahkluk malam menyayikan lagu pengantar tidur. Kucoba
pejamkan mata sambil membaca lagi tanggal yang tertera di cover undangan tadi, di situ tertulis rabu, 28 September 2008. Aku
teringat, kalau tanggal itu mengigatkanku kembali pada saat pertama kali
kuucapkan cinta dengannya: 28 September2006. Dan mengingatkanku pada sebuah nama
yang terukir indah di dalam hati, nama yang tak pernah kuceritakan pada
siapapun, nama yang takkan hilang dan akan terus menjadi rahasia indah cintaku,
selamanya…
Tuban, Juni 2009
Pernah dimuat Surabaya Post
Tarian Naga
Oleh: Thoni Mukarrom
Tubuh naganya meliuk-liuk indah ke
angkasa. Menembus awan putih hingga melelapkan mentari. Siang begitu menggoda.
Tarian keindahan mementaskan harapan. Mencakar langit.
1.
Gadis itu sungguh memesona. Saat ia
menari, tariannya menjelma naga. Setiap kali aku melihatnya dari kampung satu
ke kampung lain, ia memanjakan setiap mata penonton. Menyihir mata orang-orang
yang butuh hiburan. Memang, tak mudah cari hiburan di desa. Mungkin TV, itu
kalau yang punya uang banyak. Kebanyakan orang di desaku hidup di bawah garis
kemiskinan. Benar, seperti orang-orang di desa lain.
Butuh kesabaran ekstra untuk mencintai
gadis seperti Ning. Bagaimana tidak, setiap hari aku harus menerima cacian dari
tetanggaku, dari kerabatku, dari teman-temanku. Apa tidak ada gadis lain saja
di desa ini? Kata bapakku suatu waktu.
Aku tak peduli kata-kata itu. Tak ada yang bisa memisahkan cinta kita. Tak ada.
Begitulah kira-kira rasa jatuh cinta pada
wanita yang kurasakan sekarang. Semuanya terasa indah. Setiap kali ia selesai
manggung, aku selalu menunggunya. Ia tak begitu peduli dengan apa yang kunaiki.
Ia tak menuntut banyak dariku. Mungkin aku lelaki beruntung di dunia. Hanya
sepeda jengki ini sudah membuat seorang gadis itu mau jadi pacarku. Kami selalu
menikmati hal-hal kecil yang ada. Aku pun juga tak menuntut banyak darinya.
Biar pun ia seorang ledek, aku tak
peduli.
Berhari kulewati dengannya. Memang,
terkadang semuanya berlalu begitu saja. Kadang cinta begitu rumit. Mungkin juga
banyaknya penderitaan yang telah kulewati bersamanya. Jurang pemisah dan status
sosial yang sering kali membuat kita selalu menikmati getir cinta. Bukankah
cinta selalu membahagiakan? Tuhan menciptakan cinta untuk menemani manusia agar
tidak bosan hidup di dunia. Tuhan menciptakan cinta agar membuat manusia saling
menghargai, saling menghormati, saling membutuhkan. Tapi, semua itu terkadang
kupertanyakan. Bukan kutakmengimani cinta yang telah diciptakan Tuhan. Bukan
pula aku tak pernah merasakan itu. Tapi saat kubersamanya, kau tahu, semua itu
telah membuatku tak tahu arti sebuah cinta. Penuh misteri, betul kata pujangga
terdahulu, cinta itu buta. Tak jarang kuberpikir mengapa banyak orang
berperang. Padahal mereka sendiri menyeru betapa indahnya perdamaian. Mungkin
mereka juga bingung atau tak mengerti arti cinta, seperti apa yang kurasakan
sekarang. Hmm.
2.
“Kenapa Kau masih berhubungan dengan gadis
murahan itu?” Kata bapakku di suatu malam, setelah aku mengantar pulang pujaan hatiku.
“Apa tidak ada gadis lain di desa ini,
Nak..” Sahut ibuku.
“Bu, biarkan aku pilih hidupku sendiri,
aku sudah besar, Bu..” Jawabku.
Kedua orangtuaku memang tak pernah tahu
apa yang kurasakan. Aku mencintainya, bukan karena ia mencintaiku. Aku
mencintainya, bukan karena ia cantik. Aku mencintainya karena aku memang
benar-benar cinta. Cuma itu. Benar sekali, jika ada orang yang menyebutku
munafik untuk mengakui bahwa ia cantik.
Aku tak menyalahkan bila orang-orang
mengira bahwa aku lelaki kotor yang mencintai wanita—yang mereka pikir juga
kotor. Yang penting aku bisa mencintainya seperti mencintai tubuhku sendiri.
Tak penting semuanya yang telah ia berikan padaku. Memang semuanya pantas
kudapatkan karena mencintainya.
Asal tahu saja, mereka juga suka menonton
Langen Tayub. Aku tahu itu, siapa kemarin yang mabuk dan tertidur di pinggir
jalan sampai pagi. Sekarang aku hanya bisa tertawa jika mereka mengejekku lagi.
Mereka memang hewan berwajah manusia. Jangan heran jika Darwin pernah menyebut
mereka bernenek moyang kera.
3.
Suatu malam saat ia selesai tanggapan
acara anak khitan. Aku menunggunya di balik pepohonan. Orang yang tak tahu
pasti mengiraku sedang mencari wangsit untuk nomor undian. Atau dikira penyair
yang sedang mencari imajinasi. Mungkin juga arwah penasaran. Biarlah, aku diam
saja.
“Mas, sudah dari tadi? ”
“Sekitar sejam, Dik.. ”
“Ayo, Mas pulang. Aku lelah sekali.”
Malam itu kami berdua menyusuri malam.
Menikmati hawa dingin yang menelisik di balik kaos oblong. Ning merasa
kedinginan. Ia memeluk erat perutku. Aku gemetar. Baru kali ini aku merasakan
sesuatu yang aneh. Sepanjang perjalanan pulang, aku dibuatnya merinding penuh
keanehan. Aku menyanyikan lagu kesukaannya. Lewat serak pita suara, aku mencoba
membuatnyua sedikit tersenyum. Ia terkekeh mendengar suaraku. Malam itu sangat
aneh, untuk sebuah cinta yang aneh. Rembulan pun sedang aneh—berbentuk hati.
4.
“Kalau kamu tak meninggalkannya, lebih
baik kamu pergi saja dan jangan pernah kembali!!” Suara bapakku seperti petir
di siang bolong.
“Pak, sabar Pak..meskipun begitu ia anak
kita sendiri, Pak..”
“Persetan!!! Ia sudah tak menghargai kita
sebagai orang tua, Bu.”
“Pak, jangan begitu…” Belum selesai ibu
bicara, bapak mengambil sebilah pisau yang tergeletak di atas meja. Lalu
mengacungkannya padaku.
“Pak, sabar, Pakkkk…”
Malam itu juga aku lari meninggalkan
rumah. Ibu mengejarku, ia memberi beberapa uang. Aku pamit dengan iringan
airmata. Ibu juga.
“Bu, maafkan aku, aku anak tak berbakti
pada orangtua…” Aku langsung lari sebelum ibu menyahut kata-kataku.
5.
“Mas, kenapa berbuat senekat itu?”
“Aku tak tahu, Dik”
“Kenapa sih, Mas? ”
“Aku tak bisa menjelaskan semuanya...”
Entah kenapa, aku selalu tak punya alasan
jika ia menanyakan tentang hal yang telah kulakukan. Sebelum itu, aku juga
pernah memukul tetanggaku, saat ia mengejekku. Aku juga tak punya alasan
mengapa aku melakukannya. Saat itu yang ada di pikiranku hanya ingin memukulnya
saja. Beberapa waktu sebelum itu, aku juga telah berani mengoboskan ban sepeda
motor Kepala Desa. Ia tak mengata-ngataiku seperti tetanggaku tadi. Ia hanya
melirikku sambil tersenyum. Entah, saat ia masuk ke Balai Desa, jemari
menuntunku untuk menancapkan jarum. Semua kejadian itu tak seberapa jika
dibandingkan dengan pengusiran bapak malam tadi. Dan lagi-lagi aku tak punya
alasan untuk kujelaskan padanya. Sudahlah, aku sudah cukup senang dengan
ketidakpahamanku tentang cinta. Tapi aku akan selalu menikmati ini walau sangat
rumit.
“ Ya udah Mas, o ya, besok aku ada
tanggapan di telaga lho, desa sebelah.”
“Jam berapa, Dik?”
“Jam satu siang, Mas…”
Sudah dua kali ini ia dan kelompok
tayubnya diundang untuk syukuran di telaga. Di sekitar desaku masih
mempertahankan tradisi nenek moyang. Salah satunya ya itu, menggelar
pertunjukkan langen tayub dan sesaji alam di sekitar telaga. Biasanya acara
seperti itu dilaksanakan setahun sekali, setelah panen raya. Terkadang juga ada
yang menggelar syukuran saat mendapat rezeki lebih. Semua mereka lakukan untuk
mensyukuri nikmat yang telah diberikan Sang pemberi hidup.
Beberapa warga menyumbangkan sebagian
harta untuk acara itu. Ada beras, ayam, dan berbagai macam makanan tradisional.
Mereka membagikan bancak’an kepada
seluruh warga yang hadir. Sebuah sarana untuk mempererat tali persaudaraan yang
efektif. Dan itu sudah berlaku ribuan tahun lalu, sebelum orang mengenal
nasionalisme. Aku bangga dengan apa yang mereka lakukan. Sayang acara seperti
ini kurang disukai para remaja. Mereka lebih suka dangdut koplo. Kau tahu,
goyangan biduan cantik itu mengebor hati mereka.
Dengan baju warna krim kekuning-kuningan,
Ning kuantar ke telaga. Siang yang panas, matahari mungkin sedang membuka
bajunya. Aku terseok-seok mengantar Ning ke telaga. Jalan ke telaga tak semulus
jalan raya. Banyak batu kecil, batu besar yang tertimbun tanah, juga tanaman
berduri di pingirnya. Akhirnya dengan perjuangan yang melelahkan, aku sampai
juga di telaga. Di sini sudah banyak sekali warga desa berkumpul. Di
masing-masing tangannya ada yang membawa bucu
lengkap dengan ayam panggang. Di antara mereka kulihat juga ada yang membawa
bunga-bungaan, aku tak tahu akan dibuat apa. Persis di samping bucu-bucu itu
ada peralatan gamelan lengkap. Telah sedari tadi pagi dipersiapkan.
Pertunjukkan akan segera
dimulai. Para panjak telah siap dengan alatnya masing-masing. Ning
satu-satunya ledek muda yang masih
bertahan. Teman-temannya banyak yang keluar karena tidak tahan omongan warga
yang tak suka. Tak heran jika ia kerap menjadi sasaran omongan tak sedap. Tapi
aku tak terlalu peduli dengan itu semua. Cintaku padanya tak ada yang
memisahkan. Biar anjing menggonggong kafilah berlalu. Apa urusan mereka.
Pertunjukkan kali ini sangat memukau. Ning
berubah jadi naga biru, meliuk-liukkan tubuhnya ke angkasa. Menyemburkan api.
Menari di antara awan yang beriringan. Sungguh pemandangan yang membuat mataku
enggan berkedip. Suaranya merayap senyap. Naga biru itu menyelaraskan gerakan
tari disisipi nyanyian duka. Aku terharu dengan semua itu. Ia mendendangkan dukanya
di angkasa. Api biru menjilat-jilat menyentuh tanah. Perlahan air bening
memaksa keluar. Pertunjukkan luar biasa!
“Ayo Mas, pulang..” Suaranya menghamburkan
imajiku. Aku tak bisa menyembunyikan airmata padanya.
“Mas kenapa?” Tanyanya pelan.
“Ehm, tadi mata mas kelilipan, Dik.”
Jawabku terbata.
“O, kirain kenapa. Ayo Mas pulang, acara
sudah selesai.”
“iya, Dik..” Saking terbawa suasana yang
luar biasa, aku tak sadar pertunjukkan telah selesai.
6.
Meskipun kadang aku berpikir, mengapa aku
begitu nurut padanya, padahal dalam hubungan ini tak ada yang merestui. Aku
benar-benar tak tahu alasannya. Semuanya kujalani dengan begitu ihklas, ihklas
mencintai apa adanya. Kalau ada orang bilang aku telah dibutakan cinta, mungkin
itu benar. Mungkin juga tidak. Ah, dari pada pusing memikirkan itu, lebih baik
aku jalani semua ini dengan tulus. Di zaman sekarang tak mudah menemukan gadis
seperti dia. Aku beruntung bisa berpacar dengannya. Setiap kali kucoba
menggungkapkan apa yang kurasakan, ia selalu tersenyum, tersenyum kecut.
Biarlah, memang beginilah cinta, indah dan misteri.
“Bu, ada apa dengan anak kita.
Mengapa anak kita bisa kepincut dengan
ledek sialan itu.”
“Ibu tidak tahu, Pak. Mengapa
Bapak tega mungusirnya. Dia kan anak kita satu-satunya. Penerus kita.”
“Bapak tak peduli Bu, anak itu
sekali-kali harus mendapat pelajaran, agar ia dapat merasakan susahnya
menjalani hidup. Biar ia tahu hidup yang singkat ini jangan dibuat main-main.
Ibu paham kan maksud bapak?”
“Paham, Pak.. tapi ibu khawatir
dengan apa yang terjadi pada anak kita sekarang..,”
“Ibu jangan terbawa perasaan. Ia
akan balik saat ia lapar dan membutuhkan uang. Tenang saja, Bu.”
“Bapak tidak boleh begitu, siapa
tahu Iwan benar-benar nekat dan tidak mau kembali lagi ke rumah ini”
“Ibu percaya bapak, dalam waktu
dekat Iwan pasti akan kembali.”
Mendengar pembicaraan kedua
orangtuaku itu, aku enggan masuk rumah. Kutulis sepucuk surat untuk ibu.
Kukabarkan keadaanku, bahwa aku baik-baik saja. Aku sudah dapat pekerjaan.
Walau sebagai penjaga warung makan lesehan. Aku sudah bersyukur. Kuharap ibu
tak terlalu mencemaskan keadaanku sekarang. Dan rencananya tahun depan aku akan
melamar Ning. Mungkin ibu merestui. Tapi bapak, aku kurang yakin pada beliau.
Semoga saja dengan ketidakpulanganku, bapak bisa luluh hatinya dan merestui
pernikahanku.
Aku tidak jadi masuk rumah.
Kuselipkan sepucuk surat di bawah pintu. Semoga besok saat ibu menyapu,
menemukan dan membacanya. Semoga bapak tak menemukannya lebih dulu, agar darah
tingginya tidak kumat. Aku mengayuh pelan sepeda jengkiku menuju warung lesehan
tempatku bekerja. Selain tempat kerja, di warung itu juga di sediakan kamar
buat karyawan. Aku tinggal sementara di situ, sambil mengumpulkan uang untuk
persiapan pernikahan.
7.
Rasanya sekarang aku
sudah menjadi mempelai pria. Menggunakan peci hitam dengan jas hitam. Rasanya
aku menjadi pangeran dari negeri dongeng yang tanpa sengaja menemukan putri
tidur, lalu membangunkannya dengan ciuman. Indah rasanya. Serasa aku tidak
hidup di dunia ini. Aku hidup di dunia
lain dengan suasana lain pula. Bak pangeran dari kerajaan Antah Berantah
menemukan putri pilihannya. Lalu mempersuntingnya dan hidup bahagia selamanya.
Sekarang kufokuskan untuk giat bekerja. Aku
tak ingin mengecewakan Ning saat pernikahan nanti. Aku ingin membahagiakannya.
Hanya itu, aku ingin menghapus airmatanya yang selalu ia keluarkan setiap
malam. Ketika ia mengingat kedua orangtuanya yang telah meninggal dunia. Aku
ingin menghapus keringatnya. Memerasnya lalu kalau ia mengijinkan, ingin
kuminum keringat itu. Ya, aku akan meminumnya. Terdengar gombal memang, tapi
biar ia tahu, aku juga merasakan apa yang sedang ia rasakan.
“Ning, tunggu mas...,” bisikku sebelum memejamkan mata.
***
Catatan:
Tanggapan :
pertunjukkan (tontonan)
Ledek : penari dalam pertunjukkan Langen Tayub
Panjak : penabuh gamelan dalam pertunjukkan Langen Tayub
Bucu (jawa): tumpeng, nasi yang dibentuk seperti kerucut. Biasanya disajikan saat ada acara penting
atau selamatan.
Tuban, mei 2011
Pemenang harapan lomba cipta cerpen remaja tingkat nasional, Lip ace golden award
Yang Datang Malam Itu…
Oleh: Thoni Mukarrom
Malam itu ada malaikat maut datang bertamu, lalu
menuangkan minuman, kau meminumnya. Setelah itu, kau mabuk dan dibawa ke
angkasa menyusuri dunia yang belum pernah kaulihat sebelumnya. Kaulihat berjuta
wajah manusia lelah.
Kau menunggu
datangnya kisah dengan derai airmata. Menunggu berbagai kisah dengan hijaunya
warna daun melati. Dan pada saat hitam datang lagi, kaulihat berbagai lentera
datang dengan warna indah, sangat indah. Kaunikmati malam itu dengan membacakan
sebuah puisi yang belum sempat kaubacakan. Lalu kau perlihatkan sebuah lukisan
untukku. Kau nyanyikan lagu untukku, sayang. Kalaupun aku tidak menyukainya,
kau akan menyimpannya pada hitam malam, biar tak ada yang melihatnya lagi.
Malaikat maut datang begitu tiba-tiba. Ia begitu saja
membuka pintu rumahmu tanpa permisi. Saat itu kau hanya memakai celana pendek,
tanpa baju. Malaikat maut langsung nyelonong
ke ruang tamu, memandangmu. Ia menawarimu segelas minuman, entah apa. Kau dipaksa
meminumnya. Setelah itu kau tak tahu lagi sekarang berada dimana. Sebelum kau
meminumnya, Pak Malaikat Maut menanyakan permintaan terakhir padamu. Kau tak
minta apa-apa. Pak Malaikat hanya senyum sedikit. Kau takut. Kau terpaksa
meminum minuman Pak Malaikat, karena dia memaksamu. Setelah itu sampailah kau
pada tempat ini. Tempat yang belum pernah kau lihat.
Kau tidak sempat mengucapkan selamat tinggal pada istri
dan anak-anakmu. Juga pada teman-teman akrab, pada saudaramu semua. Kau tak tahu apa di sini juga ada Hape misalnya,
atau paling tidak Tukang Pos. Kau tak tahu, di sini hanya ada hitam yang selalu
menghiasi setiap benda. Kau teringat dengan puisi yang belum sempat kaubacakan
kepadaku. Ya, puisi itu, puisi yang kaubuat saat kita menjalani kehidupan
remaja dengan kesenangan dan kesenangan. Aku teringat saat terakhir kita
bertemu, akan membaca puisi untukku. Tapi, sampai sekarang kau mengkhianati
semua itu, kau malah menikah dengan seorang yang belum kau kenal sebelumnya.
Kau merasa berdosa. Ah, di sini kau teringat janji-janjimu dulu— yang belum kau
lakukan, muncul satu persatu.
###
Setelah malaikat maut menuangkan minumannya di gelas
itu. Aku sedikit curiga dengan apa yang dituangkannya. Tidak seperti biasa.
Dengan ketidakberdayaan aku terpaksa meminumnya. Setelah itu sampailah aku di
sini di sebuah tempat dengan hitam dan hitam. Sebuah tempat yang—aku sendiri
tak bisa menceritakan padamu. Sayang, apakah kemarin malam kamu merasa
kehadiranku di mimpimu?
Kamu tak lagi menjawab pertanyaanku. Padahal aku datang
pada malam itu, aku datang membacakan sebuah puisi yang pernah aku janjikan
untukmu. Aku juga memperlihatkan sebuah lukisanku tentang wajahmu, yang dulu
pernah diledek adikku, karena jelek. Tapi aku hanya tersenyum saja, karena kamu
juga akan berkata sama seperti adikku. Di sini, di tempat ini, lukisan itu
sudah berubah jadi indah. Sangat indah. Jika kamu bisa melihatnya pastilah kamu
terkagum dan mengatakan: Lukisan siapa itu, mas? Aku belum pernah sekalipun
melihat lukisan seperti itu.., katamu sambil mengucek-ngucek mata.
Ketika malaikat maut ujug-ujug
datang ke rumahku saat itu. Aku berpikir ada apa gerangankah ia? Aku
menduga dia akan memberi kado kejutan saat usiaku mendekati 50 tahun. Aku tak
berpikir aneh-aneh saat itu.
Sebelum aku datang mengunjungi mimpimu. Aku dengan
semangat bertanya pada seorang tua di sebelahku, entah siapa namanya. Aku
bertanya tentang bagaimana cara lari dari tempat ini. Ia memberikan jawaban,
dan aku melaksanakannya. Sampailah aku di mimpimu. Aku melihat wajahmu sangat
indah. Sangat indah bahkan, ah, pokoknya sangat indah. Semua perempuan di dunia
kalah cantiknya, saat kulihat kecantikan wajahmu saat itu. Aku
memanggil-manggil namamu. Kau tuli rupanya. Bahkan saat kulihatkan lukisanku
pun kau seperti orang buta. Padahal matamu sangat indah, ah, sangat indah,
pokoknya sangat indah. Tapi kau tak bisa melihat lukisanku. Aku berusaha
memanggilmu dengan menyanyikan lagu ciptaanku sendiri. Berharap kau
mendengarnya.
Selalu di antara berjuta bintang di angkasa
Ada wajahmu, menggoda mataku
Sesekali mencubit khayalanku
Lalu kau tiba-tiba hadir dengan wajah penuh luka
Aku takut, sayang
Aku takut saat itu
Aku lupa kapan saat kita bermain rindu terakhir kali
Saat itu aku ingin membacakan puisi yang kubuatkan
khusus untukmu
Tapi aku takut, sayang
Aku takut….
Aku tak bisa melanjutkan lagu yang berantakan itu. Aku
harap kau, meskipun tak melihatku, kuharap telingamu masih berfungsi dengan
baik. Jika kau tak mampu lagi mendengarnya, biarlah semua kenangan ini kusimpan
rapat. Kutelan habis bersama hitamnya malam.
###
“Sudah tua masih saja kelayapan!! Ingat anak, ingat
istri di rumah!!!” Bentak istriku.
Aku tak akan peduli dengan nyanyian istriku. Aku hanya
ingin menemui dirimu, lalu membacakan puisi yang kuciptakan serta memperlihatkan
lukisan wajahmu, tentu lukisan yang kulukis sendiri.
“Iya, aku keluar sebentar, nanti kembali lagi.” Jawabku
tanpa beban.
Aku datang ke warung kopi pojok kota—dulu pernah kita
habiskan malam minggu bersama di situ. Saat anak muda lain dengan semangat membawa
pacarnya ke pantai, entah apa yang akan dilakukan. Justru saat itu aku hanya
membawamu ke warung kopi kecil di pojok kota. Aku teringat saat kamu memesan
teh hangat, dan memesankannya juga untukku. Kamu tak suka manis, sebab kutahu
wajahmu sudah cukup manis untuk memaniskan tehmu. Kamu tertawa saat
kumengatakannya. Kamu mencubitku lalu meminum teh yang masih panas itu, gantian
aku yang tertawa melihatmu kepanasan.
Tapi malam ini aku datang sendiri di warung itu. Aku
memesan wedang jahe. Aku hanya melihat beberapa orang dengan lahapnya menenggak
minuman. Aku menutup hidung. Aku harap malam ini kamu juga datang ke warung
ini. Aku akan menunggumu sampai dini hari nanti. Kuharap anakmu nangis dan
minta dibelikan makan, dan kamu membelikannya di warung ini—lalu kita akan
menikmati lagi saat bahagia dulu.
Harapan, tinggal harapan. Sampai jam menunjukkan pukul
24.00 aku tak melihat tanda-tanda kehadiranmu. Aku sudah menghabiskan tiga
gelas jahe dan satu cangkir kopi, dan satu bungkus kretek filter. Kamu tak hadir
sampai warung ini tutup. Aku pulang dengan harapan istri dan anak-anakku di
rumah tidak marah.
Malam esoknya aku datang lebih sore, mungkin saja kau
enggan keluar malam. Jadi sebelum matahari terbenam aku sudah berpakaian rapi
ke warung kopi. Mungkin sore ini kau akan membeli gorengan untuk acara arisan
teman-temanmu. Aku menunggumu dengan tenang. Senja menggelincir menjadi hitam
dan selalu kelam. Ya, memang benar-benar hitam. Senja menjadi kelam, seperti
hatiku saat menunggumu yang tidak datang-datang. Malam semakin malam. Bintang
tak satu pun hadir menerangi gelap. Begitu pula suara mahkluk malam. Yang ada
hanya suara guyonan orang-orang di pojok sana, sambil meminum minuman seperti
kemarin. Baunya sangat menyengat hidungku. Mereka menenggak dengan gelas yang
terbuat dari batang bambu.
Aku menunggumu di sini. Aku sungguh menunggumu. Dimana
kau sekarang, mengapa kau tak datang-datang. Aku takut, bukan takut pada
istriku yang nanti akan memarahiku lagi, tapi aku takut pada rasa takutku
sendiri. Mengapa kau tak datang, aku akan menerimamu apa adanya, meskipun
sekarang kau datang dengan tubuh keriput. Dengan rasa hormat aku akan
menerimamu, sayang. Aku merasa bersalah karena dulu pernah meninggalkanmu,
mengingkari janjiku, dan dosa lainnya yang tak bisa kuceritakan lagi. Aku takut
kamu semakin membenciku.
Ternyata kau tak datang lagi malam ini. Aku tak akan
menyerah. Setiap malam aku akan mengunjungi warung ini, menunggumu. Mungkin kau
sesungguhnya tahu aku berada di sini tapi kau tak berani muncul, hanya melihatku
dari jauh. Lalu dengan suara sangat pelan berusaha memanggilku. Tapi aku yang
duduk sendirian di warung tak mendengar kata apapun darimu. Mungkin juga kau
telah berubah jadi kupu-kupu yang selalu hinggap di pojok atap warung. Enggan
terbang, kerena kau malu dituduh kupu-kupu malam. Akhirnya kau hanya diam
sambil memandang wajahku dari kejauhan. Mungkin juga aku yang tak ingat lagi
sekarang seperti apa wajahmu. Apakah sekarang sudah menjadi nenek yang berwajah
keriput disana-sini. Rambut keperakan bercongkol tak beraturan. Sehingga aku
lupa sama sekali dengan wajahmu. Atau kau yang jualan di warung ini, karena
penjual warung memang seorang nenek. Bahkan mungkin aku sendiri telah lupa
dengan warung yang dulu selalu kita singgahi, sehingga aku tak pernah melihat
kau di sini. Atau mungkin kau yang malu datang kesini.
Kemungkinan demi
kemungkinan datang memberodong otakku. Hal pasti yang mungkin adalah jalan
menuju wajahmu sekarang sudah mulai tertutup rapat. Tapi entah kenapa aku masih
yakin kamu akan datang kesini malam ini. Aku tunggu saja sampai nanti.
Berharap bintang akan bersinar lebih terang malam ini.
Dan kamu datang dengan membawa seraut wajah paling manis di dunia. Seperti
ketika pertama bertemu di pantai itu. Saat aku pertama kali menginjakkan kaki
di tanah ini. Tanah yang membuat kita lebih menikmati kehidupan dengan
sederhana. Tanah yang semakin gersang karena pengeksploitasian yang serakah.
Aku bisa merasakan panasnya cintamu seperti panasnya mentari jam sepuluh siang.
Seperti panasnya udara yang semakin menyesakkan paru-paru. Cinta kadang begitu
sakit.
Tapi mengapa aku masih mencintaimu sampai sekarang.
Walau umurku saat ini sudah tak patut
mencintai lagi. Tapi, ah, cinta ini memaksuku selalu mengingat janji-janji dulu
yang sekarang menggerogoti hati. Saat kau dan aku membagi kehangatan bersama di
suatu malam dingin di warung kopi dan memesan dua gelas teh, rasanya nikmat
sekali. Mengapa sekarang kau datang lagi mengganggu mimpiku, padahal sudah
kuinjak-injak kenangan itu, sudah kuhapus semuanya. Kenangan pahit yang dulu
selalu membuat kita memaksa menikmati sunyi. Dulu memang belum ada yang membawa
kita menyaksikan gemerlapnya malam seperti saat ini. Belum ada hape, belum ada
alat yang membuat komunikasi kita lancar. Tapi dulu hati kita terasa lebih
dekat dari hape.
Kuputuskan kembali pulang dengan membawa sederet
kenangan yang semakin erat mencengkeram hati. Menusuknya dengan berbagai mimpi
yang tak terpenuhi. Pada lelahnya sepi yang hinggap tak kenal permisi,
mengundang kita membaca sepi dan mimpi. Aku langkahkan kaki menyusuri jalan
yang telah basah oleh hujan pertama di bulan September. Bau tanah menghapus
rinduku pada masa kanak-kanak. Masa yang menggambarkan serbuan kesenangan. Jadi
ingin kukembali pada masa kanak-kanak, aku ingin tetap menjadi anak-anak. Tanpa
beban, bermain di kala hujan. Waw, betapa kenangan adalah obat mujarab di malam
sepi. Aku terus melangkah menuju rumah. Istri dan anak-anakku sudah terlelap.
Kubuka pintu pelan-pelan. Aku duduk di ruang tamu sebentar. Memutar lagi
kenangan saat kau dan aku sedang asik-asiknya memadu asmara. Pahit, aku
meninggalkanmu demi menuruti kemauan ibu. Kau menangis, aku berjanji akan menulis puisi terakhir dan
melukis wajahmu untuk terakhir kali. Tapi sampai sekarang, aku tak pernah
menepati janji. Aku tak pernah teringat dengan janji itu. Aku terlalu sibuk
mengurus anak istri. Hingga kemarin malam aku tiba-tiba teringat dengan janji
yang menggumpal dalam hati dan menjadi kristal-kristal kenangan. Aku teringat
kau mengecup keningku terakhir kali. Ah, manis dan pahit berebutan tempat. Saat
itu, ah terlalu sedih.
Aku tak tahu, siapa yang mengetuk pintuku malam-malam.
Kuharap kau datang. Tanpa pikir panjang aku membuka pintu. Betapa terkejutnya
aku saat melihat wajahmu. Aih, aku tak peduli dengan wajahmu. Kau mengajakku
lari dari sini. Kau membawakan minuman seperti di warung kopi itu. Kau
menyuruhku lekas meminumnya. Aku meminumnya.
###
Malam batuk-batuk. Mendung kedinginan. Angin malas
berlari. Hujan memeras keringatnya. Seorang lelaki tua berjalan sendirian
menuju warung. Seperti menunggu seseorang. Menunggunya hingga malam larut
ditelan dingin pagi yang mengintip malu di ufuk timur.
Karena
yang ditunggu tak kunjung datang, dia memutuskan pulang. Kembalilah dia
menyusuri dingin malam. Dengan langkah gontai dia berharap bisa menemui
seseorang itu di dalam mimpinya—mimpi yang tak ingin dibangunkan.
Tuban, 111007062011
Pernah dimuat dalam antologi Cerpen My Chemical Romance, Diva Press
Kata yang Hilang
Oleh: Thoni Mukarrom
Suatu kata yang menusuk dada bila didiamkan.
Menggempur, menusuki hati bila tak berani mengurainya. Rangkaian kata
penyesalan jika tak sempat mengucapkannya. Ah, aku terlalu dini untuk bisa
berbicara tentang hati, menjadi cinta.
***
Semilir angin di pagi ini terasa sejuk membelai
kulit yang belum terbangun. Mentari mulai meninggi memancarkan sinarnya—terasa
begitu hangat, menghapus sejuknya embun yang meleleh perlahan.
Aku telah bosan dengan
kehidupan seperti ini, dari bangun sampai tidur lagi tak pernah berubah, selalu
begini dan begini. Kutengok bunga yang bersemayam dalam pot kecil hitam itu,
uhhh.. Aku semakin cemburu dengan bunga kecil itu, setiap hari kumelihatnya
dikelilingi kumbang-kumbang cantik, ada yang sekedar berputar-putar ada juga
yang menghisap madu. Ku lihat bunga itu hanya diam saja, sepertinya rela atau
memang tak punya daya untuk melawan kumbang-kumbang nakal itu. Aku mulai
kasihan melihatnya. Bunga itu semakin layu dan mengering, daunnya satu persatu
mulai berguguran.
***
Wajahnya, senyumnya, selalu membuat mataku enggan
cepat tidur. Kelebatan bayangnya rajin sekali menghiasi atap kamarku. Gadis itu
membuat hatiku luluh-lantah hanya dengan sedikit senyuman manisnya. Aku tak
peduli senyumnya itu palsu atau tidak, yang penting bisa membuatku merasa
terbang ke angkasa setiap malam.
Dia yang membuat hatiku terasa
penuh dengan ribuan bait puisi. Gadis itu memang tidak cantik, wajahnya tidak
seperti wajah-wajah artis yang biasa menghiasi layar Televisi. Tapi ia seperti
punya suatu magnet yang tersembunyi di balik manis senyumannya, perlahan
menarik paksa hati dan pikiranku untuk selalu memikirkannya. Dia adalah temanku
sewaktu SMP dulu. Sekarang ia sekolah di SMA favorit di kotaku. Aku sekolah di
SMK swasta. Sejak SMP, aku sudah terarik kepadanya. Tapi apa daya, mulutku tak
sanggup mengungkapkan apa yang aku rasakan. Semua itu membuatku menderita.
“Uhh.. penyakit apa ini.” Aku
frustasi dibuatnya.
Setiap detik, setiap menit,
setiap jam, bahkan setiap hari, otakku penuh dengan bayang-bayang wajahnya.
Sedang apakah ia disana, sudahkah ia makan, sudahkah ia mandi, menggosok gigi,
sholat, sekolah. Rasanya diriku telah dihinggapi suatu penyakit kronis stadium
akhir. Sehari tak menerima pesan singkat darinya, serasa dunia menghilang dari
kehidupanku. Mungkin aku sudah cukup disebut mengidap penyakit “gila”.
***
Cinta itu diam
Cinta itu buta
Cinta itu malu
Cinta itu aku tak tahu
Masihkah cinta itu
Adakah cinta itu
Banyakkah cinta itu
Satukah cinta itu
Itu cinta bisa membuat bahagia
Itu cinta bisa membuat
menangis
Itu cinta bisa membutakan mata
Itu cinta bisa membuat orang
gila
Tapi cintakah itu
Itukah cinta
Cinta itukah dia?
Sebuah puisi atau mungkin
tulisan tak berarti tentang galaunya hati, tercipta saat malam sepi ini. Saatku
telah muak untuk menelponnya, bagaimana tidak kalau jawabannya selalu begini.
“Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif
atau berada di luar jangkauan, mohon dicoba beberapa saat lagi,” selalu saja
suara seorang perempuan itu yang bicara. Ku coba alternative lain dengan
mengirim pesan singkat kepadanya. Tapi hasilnya juga sama, tak ada balasan.
***
Detik berganti menit, menit berganti jam, jam
berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tak terasa sudah
tiga bulan tak ada kabar darinya, sudah berbagai macam cara aku lakukan untuk
menghubunginya tapi hasilnya tetap nihil. Kucoba bertanya pada tetangganya,
katanya sudah pindah beberapa bulan yang lalu. Kucoba lagi tanya kepada teman sekolahnya, mungkin
saja dia tahu dimana Asih berada.
“Kamu itu siapa! Kok tanya-tanya Asih sekarang berada
dimana, kamu nggak perlu tahu dia ada dimana!” Bicaranya persis seperti burung
Kutilang sedang kelaparan.
“Kamu tahu nggak Asih dimana?
Aku ini temannya, dan aku sudah tiga bulan ini tidak tahu kabarnya…,” aku
memohon kepadanya seperti pengemis yang tidak makan dua hari.
“Aku tidak tahu.” Cetusnya.
“Sekali lagi aku mohon sama
kamu? Tolong beri tahu aku, dimana sekarang Asih tinggal? Kamu kan teman
dekatnya, pasti tahu dimana keberadaannya.” Kali ini aku memohon seperti
pengemis tidak makan tiga hari.
“Kamu ini punya telinga nggak
sih, dibilangin aku tidak tahu, ya tidak tahu! Kok maksa gitu!!!” Sambil pergi
begitu saja tanpa permisi.
***
Malam semakin larut, hujan
telah reda dan rembulan di atas sana perlahan muncul dari balik awan.
Suara-suara jangkrik dan burung malam melengkapi nyanyian sepi malam ini.
“Kenapa dulu kau tak
mengatakannya langsung, kenapa juga kau tak mau jujur dengan perasaanmu,
lihatlah sekarang! Kini cintamu telah jauh pergi meninggalkanmu, jauh dan
mungkin tak kembali lagi.” Ada suara yang menghujatku habis-habisan, entah
siapa.
“Hai! Siapakah engkau?”
“Ha.. Ha.. Ha.. Kau tak tahu
siapa aku, Kau memang benar-benar bodoh!”
“Siapa kau sebenarnya?”
Tanyaku penasaran.
“Aku adalah dirimu.”
“Apa!! Kau adalah diriku? Di mana wujudmu?” Aku semakin penasaran.
“Aku adalah bayanganmu. Dan
aku tak bisa melakukan apa-apa, ketika kau melakukan kesalahan, karena aku
memang tak punya kuasa untuk itu, karena aku hanyalah bayangan.”
“Pergi kau sekarang! Jangan
menggangguku.”
“Baiklah aku akan pergi. Tapi
ingat, aku adalah dirimu, meskipun aku pergi aku tetap bersamamu.”
“Persetan Kau!!!” Perlahan
suara itu lenyap.
Apakah aku sudah benar-benar
gila sekarang. Mungkin aku terlalu banyak melamun. Malam semakin larut, suara
makhluk- makhluk kecil itu semakin keras menyanyikan lagu dalam bahasanya
sendiri. Mataku sudah tak mampu menahan beban.
Kulihat Asih sedang tersenyum
manis, dengan rambut yang dibiarkan terurai begitu saja. Tapi aku kaget mengapa
ia menggendong seorang bayi. Setelahku perhatikan bayi itu berjenis kelamin
perempuan. Apa benar itu Asih, kusemakin mendekat. Ternyata benar itu dia. Dia
melihatku sambil tertawa terbahak-bahak. Perlahan dia membuka pakaiannya.
Lalu matanya mengeluarkan darah.
Perutnya membesar. Berubah menjadi monster.
“Astaghfirullah…,” aku
mendadak terjaga.
Gara-gara mimpi itu, aku tak
bisa tidur lagi. Mataku seolah ada lem yang membuatnya enggan terpejam. Jam
menunjukkan pukul 04:00, kucoba lagi memejamkannya. Tetap tidak bisa. Adzan
subuh berkumandang. Sehabis
sholat, mataku terasa berat sekali, beberapa saat kemudian aku tertidur.
“Bangun-bangun!! Sudah jam berapa
ini, nanti terlambat sekolah, dasar anak pemalas apa yang kau lakukan tadi
malam, makanya jangan suka lihat bola. Cepat bangun, kusiram dengan air lho…,”
suara ibuku seperti petir menyambar dan menghancurkan semua mimpi-mimpiku.
“I,,,iya bu…” Kubuka mataku
perlahan.
“Ayo cepat bangun.”
Perutku sakit sekali, aku
langsung bergegas masuk toilet. Tak lama kemudian suara ibu kembali memanggil.
“Hai apa yang kau lakukan,
lihat sudah jam tujuh.”
“Iya Buk, perutku sakit
sekali...,” entah apa yang ada di dalam perutku, apa seperti ini rasanya
seorang wanita melahirkan anak atau lebih sakit lagi. Sungguh, ini sakit
sekali. Aku termenung sejenak. Tuhan memang tidak pernah salah, Dia memberi
ganjaran surga bagi wanita yang meninggal dunia karena melahirkan anak. Dulu
guru ngajiku juga pernah bilang: salah satu ciri orang mati syahid adalah orang
yang mati karena sakit perut.
“Alasan saja kamu itu, cepetan
sudah siang.” Suara ibu membuyarkan lamunan.
“Beneran Buk, mungkin aku
masuk angin.”
“Ya sudah, ayo ke Rumah Sakit biar sembuh.”
“Nggak mau, entar dikasih
minyak kayu putih juga sembuh.”
Aku langsung melumuri perutku
dengan minyak kayu putih. Agak sedikit reda memang, tapi rasa sakit itu kembali
datang beberapa menit kemudian. Biasanya kalau aku sakit perut, sudah bisa
diatasi dengan minyak kayu putih. Tapi sekarang tidak mempan lagi,
jangan-jangan aku punya penyakit lain.
Sebenarnya aku malas sekali
pergi ke Rumah Sakit, maklum aku termasuk tipe cowok yang tidak suka disuntik,
lebih tepatnya tidak mau disuntik. Jangankan disuntik mencium bau obat-obatan
di Rumah Sakit saja, aku sudah ingin
muntah. Tapi aku tidak bisa menolak permintaan ibu, nanti aku dikira berbohong,
jadi terpaksa aku menuruti permintaan beliau.
“Ayo cepat ganti baju, jangan sampai
kesiangan, nanti banyak yang ngantri.
Malahan kamu tidak jadi diperiksa”
“Iya Buk, ini sudah ganti baju.”
***
Di Rumah Sakit ini banyak sekali bau obat-obatan
yang menyengat—seperti bau mayat. Aku sungguh tersiksa dengan semua ini.
Apalagi perawatnya terlihat seperti malaikat pencabut nyawa. Kelihatannya
penyakitku tambah parah. Aku berjalan perlahan menuju loket antrian, banyak
sekali orang-orang yang sedang mengantri untuk diobati atau mengantri dicabut
nyawanya karena keterlambatan penanganan.
No. 27 inilah nomor antrianku.
Giliranku masih lama, sekarang baru no. 11 yang dipanggil. Mataku seperti
menangkap sesuatu yang tak asing, tepat di depanku berjalan seorang wanita muda
memakai daster bersama dengan seorang wanita setengah baya, mungkin itu
ibunya—sedang antri tepat dibelakangku. Tidak salah lagi dia adalah Asih yang
selama ini kucari-cari, dia terlihat memegang perutnya, apa dia juga masuk
angin atau sakit perut. Kucoba memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.
“Assalamualaikum…Dik Asih, kamu sakit apa? Sekarang
kamu pindah kemana kok tidak ada kabarnya sama sekali?” Pertanyaanku
mengagetkannya.
“Eh mm..ka..kamu, nggak kok aku cuma sakit
biasa aja.” Berbicaranya seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
“Lho tadi kok pegang perut, apa kamu sakit perut ya?” Dia malah langsung
pergi ke toilet, kelihatannya mau muntah.
Setelah kudesak dengan
berbagai pertanyaan akhirnya dia mau menceritakan tentang keadaannya sekarang,
tentang kenapa dia pindah rumah dll. Betapa remuk dan hancur tercabik-cabik
seluruh isi dalam hati, ketika dia mengatakan kalau sekarang hamil dan sudah
empat bulan.
Bertambah hancur lagi hati
ini, seakan ada benda tumpul yang dipukulkan tepat di jantung hati, ketika dia
mengaku yang menyebabkan kehamilannya adalah pacarnya sendiri dan tidak mau bertanggungjawab
dengan perbuatanya itu. Ia hanya memberi uang beberapa juta untuk biaya
pengguguran dan uang tutup mulut. Asih diusir dari desanya, karena tetangganya tidak mau ada orang merusak
nama baik desa mereka. Sampai sekarang tetangga dan teman Asih masih
merahasiakan tentang tragedi yang menimpa Asih tersebut. Hingga Asih mau
menceritakannya sendiri kepadaku saat ini, ia juga memintaku untuk tidak
menceritakannya kepada orang lain. Asih tidak ingin aibnya menjadi bahan gosip
semua orang.
Perlahan ada bayangan hitam
menyekap separuh isi otakku, mengingatkan akan kebodohanku dulu, yang tak
pernah berani mengungkapkan cinta kepadanya. Sekarang semua sudah berlalu,
bunga yang dulu membawa harum mewangi kini tinggal seonggok tanaman kecil tak
berguna, kumbang telah menghisap seluruh madunya dan menyisakan duri yang
menusuk hati.
“Dimana kata-katamu dulu.
Kata-kata yang akan Kau ungkapkan kepadanya. Apakah Kau menyesal melihatnya
seperti ini? Dasar lelaki pengecut, tak berani mengungkapkan kata cintamu, dimana
bait-bait indah puisimu itu!! Apakah ikut hilang bersama kesuciannya? Dimana
kau letakkan kejantananmu sebagai lelaki? Apakah kelaminmu berubah menjadi
vagina?” Bayangan itu menghujaniku
pertanyaan, hingga membuat mulut tak punya kuasa lagi untuk bicara, membuat
jantung berdetak semakin keras. Semua saraf motorik terkejut hingga akhirnya
otakku berhenti bekerja. Dunia menjadi gelap.
Kubuka perlahan mataku, di
pergelangan tangan ada selang yang melingkarinya. Mulutku ada sesuatu,
sepertinya aku mau dibawa menyelam ke dasar laut. Terlihat ada beberapa
malaikat pencabut nyawa berbaju putih sedang lalu lalang tepat di depanku. Asih tertidur tepat di bahu kananku dan
ibuku dan ibunya tertidur tepat berada di bahu kiriku. Kucoba menggerakkan semua organ tubuhku, usahaku
sia-sia. Malaikat pencabut nyawa mendekatiku perlahan. Asih tiba-tiba
terbangun.
“Mas, bangun Mas, aku ingin
mengatakan sesuatu. Cepat
bangun Mas, aku menyesal selama ini tidak menghiraukan Mas. Benar Mas, sumpah!!
Aku sungguh menyesal. Puisi yang selalu Mas kirimkan kepadaku masih kusimpan.
Aku tahu Mas mencintaiku, maafkan aku yang telah termakan rayuan dari lelaki
brengsek itu. Mas, aku sungguh mencintaimu...,” suara Asih timbul tenggelam,
aku tidak begitu jelas mendengarnya, tapi kata-kata terakhirnya jelas sekali.
Pernah dimuat Majalah Akbar
Langganan:
Postingan (Atom)